(Business Lounge – Empower People) Dalam beberapa kesempatan mengikuti sebuah pelatihan ataupun meeting, kerapkali saya menemukan ketika dilontarkan pertanyaan apabila ada yang hendak ditanyakan, maka lebih banyak yang memilih sikap diam sehingga suasana menjadi hening sejenak. Lalu kemudian hanya beberapa orang saja yang mengacungkan tangan untuk bertanya. Benarkah tidak adanya pertanyaan ini di latarbelakangi oleh budaya malu? Atau mungkin sudah berkembang kebiasaan lain? Kadangkala peserta meeting atau pelatihan memasang ekspresi “cape deh” atau “emang gue pikirin”. Namun anehnya lagi, pada waktu salah satu di antara peserta tersebut mengajukan pertanyaan atau terlihat sedikit “proaktif”, maka serta merta ia mendapat penialian “over deh” atau “wah, rajin banget” dan sebagainya.

Sangat berbeda sekali dengan dunia pendidikan kemiliteran yang terkenal sangat instruksional dan otoriter, para tentara justru dilatih dan diarahkan untuk mengajukan pertanyaan. Lalu apa yang harus dilakukan?

Kondisi ini tentu penting untuk diperhatikan supaya budaya bertanya dapat bertumbuh, termasuk di lingkungan masyarakat dalam scope yang lebih luas. Tidak dapat dipungkiri bahwa hal ini akan mendorong kita semua untuk semakin berkembang, kreatif, dan membuka peluang untuk ide-ide baru atau inovasi. Matinya kebiasaan bertanya ini, bisa tidak disadari sebagai matinya inisiatif kita. Bayangkan saja bila dalam suatu rapat tidak ada pertanyaan: ”Apakah itu?”, “Mengapa terjadi…?”, “Apa yang melatarbelakangi gejala itu…?”, “Bagaimana rencana selanjutnya?” dan sebagainya, maka akan sulit untuk mencapai suatu gagasan atau tujuan.

Pertanyaan adalah sebuah Kontribusi
Apapun bentuknya, Anda dapat menganggap bahwa setiap pertanyaan adalah sebuah kontribusi atau masukan yang penting. Misalnya saja hal yang paling sering menjadi pertanyaan di lingkungan karyawan adalah masalah kenaikan gaji. Mengapa gaji tidak sesuai harapan, hal ini memberi indikasi ketidakpuasan, ketimpangan penilaian, kurangnya informasi, dan masih banyak hal lain yang mungkin dapat dikembangkan.

Tony Hsieh, CEO Zappos, sebuah perusahaan sepatu online yang sangat sukses, berpendapat bahwa kelompok pada perusahaan perlu memformulasikan pertanyaan secara berkala. Menurut Tony, pertanyaan menimbulkan komunikasi, ketika ada komunikasi atau pembicaraan, maka itu akan membangun semangat memikirkan masa depan dan perbaikan bersama. Bahkan Zappos mengemukakan: “true feelings, thoughts, and opinions of the employees,” yaitu membawa karyawan dapat merasa sebagai ‘pemilik’ perusahaan yang bertanggung jawab.

Budaya bertanya sebetulnya dapat membantu Anda untuk tidak selamanya melihat masalah sebagai sebuah kegagalan. Dengan mempertanyakan tindakan yang hampir menetap sebagai habit, kita pun dapat lepas dari belenggu rutinitas.

Eric Schmidt, CEO perusahaan Google, mengatakan: “We run the company by questions, not by answers”. Banyak hal yang harus dipertanyakan oleh Google sebagai perusahaan yang sudah sukses itu. Misalnya saja: Apa yang harus kita lakukan dengan uang ‘cash’ yang ada? Upaya apa yang paling efektif?

JaneHarper, tokoh pengembangan SDM di IBM yang sudah bekerja selama 30 tahun, saat angka ‘turnover’ melonjak setinggi-tingginya, mempertanyakan kembali, mengapa dulu orang enjoy bekerja di IBM? Ternyata hasil survei kecilnya mengatakan bahwa orang menikmati bekerja dalam tim kecil, dengan tantangan yang jelas, komunikasi yang intensif, dan impact-nya pun terasa kuat. Karena itu, kita perlu berlatih lebih lagi dan mulai mengembangkan budaya bertanya. Namun mohon digaris bawahi, bahwa pertanyaan yang kita diajukan bukanlah pertanyaan asal bunyi alias “asbun”,tetapi pertanyaan yang berbobot.

Pertanyaan-pertanyaan harus diperhatikan dan disimak baik-baik. Pertanyaan itu dianalisa dan bahkan dapat diendapkan dulu sebelum dijawab. Hal ini untuk menghindari memberikan jawaban atau komentar yang tidak jelas atau asal-asalan, atau bahkan jawaban yang salah. Bila kita masih mengalami rapat-rapat yang “garing”, kita bisa melihat betapa kita masih jauh dari kondisi ketika orang sudah menerapkan ‘question storming’.

Kita masing-masing bertanggung jawab mengisi setiap pertemuan dengan sebanyak mungkin pertanyaan agar ide ataupun praktik yang sedang berlangsung dapat dikembangkan lebih lanjut. Tentunya kekuatan bertanya ini perlu dilengkapi dengan kekuatan observasi, bergaul, bereksperimen dan berbicara. Memang perlu dilatih dan terus di coba.

Ria Felisha/VMN/BL/Contributor
Editor: Ruth Berliana

0
Would love your thoughts, please comment.x
()
x