Gajah Gallery: “Nature, Everyday Life, and Glimpses of the Past”

(Business Lounge Journal – Event)

Hari ini Gajah Gallery Singapura memulai pameran kelompok “Nature, Everyday Life, and Glimpses of the Past” yang menampilkan dinamika perkembangan karya para seniman Minangkabau. Digelar mulai 10 April hingga 4 Mei 2025, pameran ini turut dilengkapi dengan esai reflektif karya Eka Novrian, yang mengangkat perspektif segar tentang keterkaitan antara alam, budaya, dan sejarah dalam konteks seni Sumatera Barat.

Selama ini, perbincangan tentang seniman Minang kerap berputar pada dua poros utama: pengaruh gaya Mooi Indie yang dikenalkan oleh Wakidi, dan kuatnya nilai-nilai filosofis adat Minangkabau dalam karya mereka. Meskipun kedua hal ini penting secara historis, pameran ini menawarkan pembacaan baru dengan membuka wawasan terhadap pengaruh yang lebih luas dan kompleks dalam perjalanan seni Minangkabau kontemporer.

Pameran ini mengambil pendekatan kritis dalam menelusuri jejak perkembangan seni rupa Sumatera Barat, melampaui batas konvensional dan menyoroti pergeseran besar yang dimulai dari kemunculan Jendela Art Group di awal tahun 2000-an. Tokoh-tokoh seperti Handiwirman Saputra, Yusra Martunus, dan Rudi Mantofani muncul dengan pendekatan yang membongkar pakem representasi, serta memperluas pemaknaan bentuk dan medium. Mereka menghindari keterikatan ideologi dan politik, dan justru mengeksplorasi ruang ambiguitas, abstraksi, serta eksperimentasi material.

“Nature, Everyday Life, and Glimpses of the Past” mempertemukan seniman lintas generasi—dari nama-nama mapan hingga talenta baru, termasuk yang tergabung dalam Komunitas Seni Sakato. Seniman seperti Fika Ria Santika, Erizal As, dan Ibrahim membawa pendekatan baru terhadap seni objek dan abstraksi, menafsirkan ulang lanskap alam serta memori sejarah melalui cara pandang masa kini.

Aspek sejarah juga menjadi poros penting dalam pameran ini. Masa lalu Minangkabau dipenuhi oleh dinamika konflik dan pergolakan—dari Perang Padri (1803–1838) hingga pemberontakan PRRI (1958–1961)—yang membentuk kondisi sosial-politik daerah tersebut dan turut memengaruhi ekspresi para senimannya. Dalam pameran ini, para seniman mengeksplorasi sejarah tersebut secara kritis, menggugat narasi arus utama serta memori kolektif. Karya AISENODNI #1 (2017) oleh Rudi Mantofani—yang menampilkan peta Indonesia dalam posisi terbalik berwarna perak—menguji ulang identitas nasional, sementara karya-karya satir Jumaldi Alfi mempertanyakan paradoks sejarah dan representasi.

Lewat medium lukisan, patung, dan instalasi, pameran ini merayakan keberagaman pendekatan artistik yang muncul dari budaya Minang saat ini. Ia mengajak pengunjung untuk merenungkan ulang hubungan antara alam, tradisi, serta realitas yang terus berubah dalam kehidupan para seniman.

Sebagai bagian dari komitmennya dalam mendukung seni rupa kontemporer Asia Tenggara, Gajah Gallery terus menjadi ruang yang membuka peluang bagi diskursus kritis dan eksplorasi kreatif. Kami mengundang Anda untuk turut menyimak pameran yang istimewa ini—sebuah penelusuran ulang terhadap narasi seni Minangkabau dan transformasi hubungan mereka dengan sejarah dan identitas.