(Business Lounge – Essay on Global) Sejak OpenAI merilis ChatGPT pada akhir 2022 dan memicu ledakan global dalam pengembangan kecerdasan buatan (AI), Uni Eropa perlahan menyadari ketertinggalannya dalam perlombaan teknologi paling strategis abad ini. Sementara Amerika Serikat terus memperkuat dominasinya lewat perusahaan seperti OpenAI, Google DeepMind, dan Anthropic—dan China membangun model-model besar berbasis sumber daya negara—blok Eropa terlihat masih tertatih-tatih mencari arah.
Kini, dengan strategi yang semakin konkret, Uni Eropa menaruh harapan pada gigafactory—fasilitas manufaktur besar-besaran untuk semikonduktor dan infrastruktur digital lainnya—sebagai salah satu pilar kebangkitan industri AI. Dalam laporan yang dikutip oleh The Wall Street Journal, para pemimpin industri dan kebijakan Eropa meyakini bahwa hanya dengan membangun kapasitas lokal untuk memproduksi chip, pusat data, dan server AI, kawasan ini bisa mulai mengejar ketertinggalannya dari Amerika Serikat dan China.
Rilis ChatGPT dari OpenAI menjadi titik balik dalam perhatian global terhadap kecerdasan buatan generatif. Dengan dukungan Microsoft, OpenAI berhasil mengintegrasikan model GPT ke dalam berbagai layanan komersial, mulai dari mesin pencari Bing hingga Office 365. Google dan Amazon pun tak tinggal diam, masing-masing meluncurkan Gemini dan Bedrock sebagai pesaing langsung.
Namun, di Eropa, tak ada satu pun perusahaan yang berhasil menandingi skala atau penetrasi komersial dari model-model buatan AS. Beberapa startup AI seperti Aleph Alpha di Jerman dan Mistral AI di Prancis memang muncul, tapi kemampuan komputasi mereka tertinggal jauh karena keterbatasan chip, infrastruktur cloud, dan investasi modal ventura.
Menurut laporan Bloomberg, hanya sekitar 4% dari investasi global di bidang AI pada 2023 mengalir ke perusahaan-perusahaan Eropa, dibandingkan dengan lebih dari 70% ke perusahaan berbasis di AS. China pun mengungguli Eropa dalam skala penggunaan model bahasa besar dan pengembangan GPU lokal, berkat dukungan besar-besaran dari negara.
Menanggapi tekanan ini, Komisi Eropa mendorong strategi baru yang menitikberatkan pada pembangunan “gigafactory” untuk chip AI dan pusat data bertenaga tinggi. Gigafactory, istilah yang dipopulerkan oleh Tesla dalam industri baterai kendaraan listrik, kini menjadi simbol ambisi Eropa untuk memproduksi secara lokal perangkat keras krusial yang selama ini bergantung pada luar negeri.
Perusahaan seperti Intel dan Taiwan Semiconductor Manufacturing Co. (TSMC) telah menandatangani kesepakatan dengan beberapa negara anggota, termasuk Jerman, Irlandia, dan Italia, untuk membangun pabrik chip skala besar. Intel, misalnya, berkomitmen menginvestasikan lebih dari €30 miliar di Magdeburg, Jerman, dalam proyek yang didukung dana publik Uni Eropa.
Menurut Financial Times, proyek-proyek ini bukan hanya tentang menciptakan lapangan kerja, tetapi tentang memulihkan kendali atas rantai pasok digital Eropa yang selama ini sangat tergantung pada Asia Timur dan Amerika Serikat. Uni Eropa juga mendorong pembangunan pusat data “hyperscale” yang sanggup menjalankan pelatihan model AI besar.
Komisioner Pasar Internal Thierry Breton menyebutkan bahwa “AI adalah medan tempur geopolitik baru, dan infrastruktur adalah senjatanya.” Oleh karena itu, Eropa tak punya pilihan selain berinvestasi besar dalam kapasitas produksi dan daya komputasi dalam negeri.
Meski ambisinya tinggi, proyek-proyek ini menghadapi tantangan berat. Pertama, persoalan perizinan dan birokrasi di negara-negara Eropa sering kali menghambat laju pembangunan. Proyek Intel di Jerman, misalnya, sempat tertunda berbulan-bulan akibat perdebatan soal subsidi, dampak lingkungan, dan regulasi perencanaan kota.
Kedua, kekurangan tenaga kerja terampil juga menjadi masalah. Industri semikonduktor dan AI membutuhkan ribuan insinyur, ilmuwan data, dan teknisi dengan keterampilan khusus, yang saat ini belum cukup tersedia di sebagian besar negara anggota.
Ketiga, fragmentasi pasar digital Eropa memperumit komersialisasi inovasi AI. Berbeda dengan Amerika Serikat yang memiliki satu pasar terpadu, Eropa masih menghadapi hambatan lintas batas dalam privasi data, perpajakan, dan kepemilikan intelektual. Ini menyebabkan banyak startup Eropa memilih mendirikan kantor pusat di AS atau Singapura demi efisiensi regulasi dan akses pasar.
Menurut CNBC, bahkan beberapa perusahaan AI terkemuka Eropa mempertimbangkan pindah ke Silicon Valley demi memperoleh chip dan dana ventura yang lebih mudah diakses.
Sebagai respons terhadap ketergantungan pada model dan infrastruktur dari AS, beberapa pemerintah Eropa kini mulai mengusung konsep “AI kedaulatan” atau sovereign AI. Gagasan ini mengacu pada kemampuan untuk membangun, melatih, dan menjalankan model kecerdasan buatan secara mandiri di dalam wilayah Eropa, tanpa bergantung pada sistem atau penyedia luar.
Prancis, misalnya, melalui dana publik dan Bpifrance, telah mendukung Mistral AI—startup yang mengembangkan model bahasa besar terbuka dengan fokus pada efisiensi. Pemerintah Jerman mendukung Aleph Alpha, sementara Uni Eropa meluncurkan proyek Gaia-X untuk membangun cloud dan infrastruktur data yang sesuai dengan standar dan nilai-nilai Eropa.
Namun, dibandingkan dengan Microsoft, Google, atau Amazon yang memiliki ribuan GPU dan superkomputer AI, sumber daya perusahaan Eropa masih sangat terbatas. Inilah sebabnya mengapa gigafactory untuk chip dan pusat data dianggap vital untuk mewujudkan visi sovereign AI.
Salah satu ironi dari strategi Eropa adalah ketergantungan pada teknologi Amerika, terutama Nvidia. Hampir semua pelatihan model AI skala besar saat ini dilakukan menggunakan GPU Nvidia, yang menguasai lebih dari 80% pasar akselerator AI global. Tanpa pasokan GPU dari Nvidia, pelatihan model besar seperti LLM (Large Language Models) nyaris mustahil dilakukan.
Eropa telah menyadari risiko ini dan mulai mengalokasikan dana riset untuk membangun akselerator lokal seperti proyek EPI (European Processor Initiative), tapi masih dalam tahap awal. Komisioner Breton juga menyatakan bahwa Eropa harus mengembangkan “GPU berdaulat” dalam dekade ini.
Sementara itu, Nvidia menjadi pemasok utama bagi proyek-proyek pusat data di Prancis, Jerman, dan Belanda. Dalam laporan Reuters, CEO Nvidia Jensen Huang menyambut baik kerja sama dengan Eropa, namun mengingatkan bahwa inovasi butuh kecepatan, bukan hanya subsidi.
Terlepas dari berbagai tantangan, strategi gigafactory Eropa menunjukkan pergeseran signifikan dari retorika ke aksi. Uni Eropa tidak lagi hanya fokus pada regulasi, tapi mulai aktif dalam pembangunan infrastruktur dan industri teknologi. Keputusan ini datang di saat tepat, mengingat AI telah menjadi medan pertarungan ekonomi, militer, dan budaya global.
Jika proyek-proyek seperti pabrik Intel di Jerman dan pusat data AI Prancis berjalan sesuai rencana, maka Eropa bisa mulai membangun kapasitas komputasi yang setara dengan Amerika dan China dalam lima hingga tujuh tahun ke depan. Tapi waktu terus berjalan, dan kompetisi AI adalah permainan eksponensial—kecepatan, bukan sekadar ketepatan, yang menjadi faktor penentu.
Pertanyaan besar yang tersisa adalah apakah Eropa bisa menjadi kekuatan ketiga dalam AI global, atau hanya menjadi penonton dari dua raksasa yang sudah berlari jauh di depan? Jawabannya sangat bergantung pada apakah strategi gigafactory ini benar-benar bisa diwujudkan, dan apakah visi sovereign AI dapat dilandaskan pada kekuatan nyata, bukan sekadar ambisi politik.