(Business Lounge Journal – News and Insight)
Banyak orang tua mengklaim bahwa “semua bukti menunjukkan media sosial merusak anak-anak kita.” Sebagai seseorang yang sudah lama meneliti kesehatan mental, benarkah itu?
Menyebarkan ketakutan seperti ini justru membuat orang tua panik dan mengambil langkah ekstrem yang tidak efektif, seperti larangan media sosial untuk anak di bawah 16 tahun di Australia. Ratusan peneliti di seluruh dunia sedang berusaha memahami dampak media sosial terhadap remaja, dan kenyataannya lebih rumit dari sekadar “media sosial itu berbahaya!”
Jonathan Haidt, seorang psikolog sosial, menulis buku populer The Anxious Generation, yang menyoroti bagaimana smartphone dan kurangnya interaksi langsung berperan dalam meningkatnya kecemasan dan depresi remaja. Tapi, banyak akademisi lain yang berpendapat bahwa bukti yang ia gunakan tidak cukup kuat untuk menyimpulkan hal itu.
Faktanya, para ahli kini memiliki kesimpulan yang mengejutkan: hubungan antara penggunaan media sosial dan kesehatan mental remaja ternyata lemah—dan kadang-kadang bahkan tidak ada!
Media Sosial: Baik, Buruk, atau Biasa Saja?
Pengaruh media sosial pada remaja bergantung pada banyak faktor—kepribadian, lingkungan sosial, mood, pengalaman di dunia nyata, dan bahkan bagaimana mereka menggunakan teknologi itu sendiri.
Penelitian menunjukkan bahwa media sosial bisa berdampak negatif bagi beberapa anak, tapi bisa juga tidak berpengaruh atau malah membawa manfaat bagi yang lain.
Sebuah studi di Belanda (2021) menemukan bahwa setelah menggunakan media sosial:
o 45% remaja merasa tidak ada perubahan dalam suasana hati mereka
o 28% merasa lebih buruk
o 26% merasa lebih baik
Penelitian lain menunjukkan bahwa media sosial bisa membuat sebagian remaja merasa cemas atau terasing, tetapi juga bisa membantu mereka merasa lebih terhubung dengan teman-teman, menemukan kreativitas, dan mengurangi kesepian.
Sebuah ulasan terhadap 36 studi di Adolescent Research Review (2017) menemukan bahwa persahabatan online bisa memiliki manfaat yang sama seperti interaksi tatap muka, termasuk saling mendukung secara emosional dan bersenang-senang.
Studi terbaru (2024) menemukan bahwa remaja menggunakan media sosial untuk mencari koneksi, hiburan, inspirasi, dan informasi. Efeknya beragam: ada yang merasa lebih dekat dengan teman, ada yang merasa lebih kesepian, ada yang merasa terinspirasi sekaligus iri saat melihat orang lain jalan-jalan ke luar negeri.
Dengan efek yang begitu beragam, solusi ekstrem seperti larangan total media sosial jelas bukan jawabannya. Bahkan jika pemerintah berhasil menegakkan larangan itu (yang sejauh ini belum ada yang tahu bagaimana caranya), hasilnya akan campur aduk—beberapa anak mungkin merasa lebih baik, tetapi banyak yang justru merasa lebih buruk.
Jadi, Apa Solusi yang Lebih Masuk Akal?
Bukan berarti kita harus membiarkan anak-anak bebas menjelajahi dunia digital tanpa pengawasan, yang harus dilakukan adalah:
• Teknologi yang lebih aman – Platform media sosial harus lebih bertanggung jawab, misalnya dengan membatasi akses ke konten berbahaya atau eksplisit.
• Orang tua yang lebih terlibat – Gunakan fitur kontrol orang tua untuk membatasi waktu penggunaan dan mengawasi konten yang diakses anak-anak.
• Aturan yang fleksibel – Alih-alih larangan ketat dari pemerintah, aturan penggunaan media sosial sebaiknya disesuaikan dengan kondisi masing-masing keluarga dan sekolah.
Realitanya, kehidupan modern tidak bisa dipisahkan dari dunia digital. Menjadi orang dewasa saat ini berarti hidup dengan teknologi—termasuk dalam hal hubungan sosial. Jika tugas orang tua adalah membimbing anak-anak agar siap menghadapi dunia nyata, maka itu berarti membimbing mereka untuk mengelola kehidupan digital juga.
Melarang total media sosial justru bisa berujung pada masalah lain. Saat China memberlakukan aturan ketat pada game online, anak-anak langsung mencari cara untuk mengakalinya—menggunakan akun orang lain, menipu sistem pengenalan wajah, atau membeli akun di pasar gelap (yang malah membuat mereka rentan terkena penipuan). Jika media sosial dilarang, anak-anak bisa saja mencari platform alternatif yang kurang aman atau menggunakan ponsel rahasia tanpa sepengetahuan orang tua.
Media sosial memang membawa tantangan bagi sebagian remaja, terutama dengan fitur-fitur seperti filter wajah atau scrolling tanpa henti. Namun, melarangnya untuk semua orang di bawah 16 tahun bukanlah solusi yang tepat. Sebaliknya, yang perlu kita lakukan adalah:
• Mendorong platform digital untuk lebih bertanggung jawab
• Membantu remaja memahami dan mengelola kehidupan online mereka dengan bijak
• Menyediakan panduan, bukan larangan Seperti risiko lain dalam perjalanan menuju kedewasaan, peran orang dewasa adalah mendampingi dan membimbing—bukan sekadar melarang dan berharap semuanya akan baik-baik saja.