Inovasi Berbasis Kemanusiaan Ala Danone

(The Manager’s Lounge – Strategic), Umumnya, perusahaan melakukan strategi inovasi dalam rangka meningkatkan keunggulan kompetitif di pasar. Namun, inovasi yang dilakukan oleh Danone berbeda. Bekerjasama dengan Grameen Group dan pemenang Nobel Muhammad Yunus, mereka melakukan inovasi dengan tujuan untuk membantu memberi makan kepada masyarakat miskin.

Danone, grup produsen makanan asal Prancis, pertama kali memperoleh tantangan untuk mengembangkan inovasi yang berbeda ketika pada 2005 mereka bekerjasama dengan Grameen Group Bangladesh untuk mengembangkan yogurt bagi beberapa konsumen termiskin di dunia. Tujuannya adalah menjual produk yang bisa dijual seharga kurang dari 10 sen namun mencakup 30 persen dari persyaratan minimum zat besi dan nutrisi penting lainnya tiap hari.

Produk hasil inovasi tersebut juga harus diproduksi di pabrik yang kecil dan ramah lingkungan, dengan teknologi rendah, dan padat karya, seperti layaknya usaha skala kecil yang dikembangkan oleh pendiri Grameen Bank yakni Muhammad Yunus.

Strategi Manufaktur
Strategi yang digunakan oleh Danone disini berbeda dengan di negara berkembang seperti Indonesia dan Afrika Selatan. Disini, mereka harus menciptakan model produksi yang sesuai dengan populasi orang miskin. Pendapatan per kapita Bangladesh hanya sebanyak $4 per hari, lebih kecil dari setengah di Indonesia. Sehingga, supaya beroperasi secara menguntungkan, maka joint venture Grameen Danone Foods harus memangkas biaya manufaktur menjadi sepertiga dari rata-rata biaya per ton di negara lain.

Pada akhirnya, mereka berhasil menjawab tantangan ini. Tahun lalu, mereka membuka pabrik pertamanya di kota Bogra, bagian selatan Bangladesh. Pabrik tersebut kini memproduksi lebih dari 10,000 container yogurt tiap harinya. Meskipun belum menguntungkan, namun diperkirakan dalam dua tahun akan menemui break event (titik impas).

Strategi Produk dan Pemasaran
Yogurt Shoktidoi, begitu sebutannya, berasal dari susu hasil produksi petani lokal. Formulanya tidak mudah, karena para ilmuwan Danone berusaha untuk menemukan resep yang tidak mahal dan menemui persyaratan nutrisi, namun memiliki rasa dan tekstur yang enak. Hasil akhir yang dieproleh, rasa yogurt tersebut mendekati yogurt Danone lainnya yang dijual di seluruh dunia dan dipermanis dengan gula dan sirup dari pohon kurma local.

Produk ini dijual di toko-toko dengan radius sekitar 20 mil dari pabrik, atau melalui penjualan door-to-door oleh wanita lokal yang disebut ¡®Grameen Ladies¡¯, yang menerima komisi untuk setiap kontainer yang terjual. Merekrut mereka juga bukan hal yang mudah, karena orang Bangladesh berasumsi bahwa orang yang melakukan penjualan door-to-door adalah pengemis. Untuk menanganinya, maka perusahaan menyebarkan informasi tersebut secara terbuka ke publik.

Teknologi Ramah Lingkungan
Guy Gavelle adalah orang yang mendesain pabrik Bogra, dan seorang spesialis dalam produksi. Selain harus menekan biaya, ia juga harus mengembangkan teknologi yang tidak menghasilkan polusi. Misalnya, pabrik mengembangkan sistem bio-gas yang mengubah sampah manufaktur menjadi gas yang mendukung beberapa sistem cahaya dan pemanas. Menurut Gavelle, meskipun ukuran pabrik tersebut hanya sekitar 1% dari kebanyakan pabrik Danone lainnya, namun fasilitas Bogra lebih canggih daripada pabrik yang ia desain di Brazil, Indonesia, Cina dan India.

Meskipun ia puas dengan proyek saat ini, namun masih banyak tantangan lain yang dihadapi di masa depan, yaitu mambangun pabrik yang serupa di komunitas miskin lainnya. Selain itu, meroketnya harga barang agrikultur memaksa Danone untuk meningkatkan harga jual Shoktidoi sekitar sepertiganya

Langkah yang diambil Danone termasuk luar biasa, karena mereka melakukan inovasi berbasis kemanusiaan. Inilah yang perlu diikuti oleh perusahaan-perusahaan lainnya. Dengan begitu, terjadi simbiosis mutualisme antara perusahaan dan masyarakat.

(Sumber: BusinessWeek)

Pic: danone.gif

(Rinella Putri/RF/TML)