Feeling Color: Aubrey Williams and Frank Bowling

Mengurai Warna dan Ketimpangan – Pameran Aubrey Williams dan Frank Bowling

(Business Lounge – Art) Di dunia seni kontemporer, warna sering kali dianggap sebagai bahasa universal yang melampaui kata-kata. Namun ketika warna ditempatkan dalam konteks sejarah kolonial, diaspora, dan ketidaksetaraan pengakuan budaya, ia menjadi lebih dari sekadar ekspresi visual—ia menjadi pernyataan eksistensial. Inilah yang ditawarkan oleh pameran Feeling Color: Aubrey Williams and Frank Bowling yang saat ini berlangsung di The Modern Art Museum of Fort Worth, Texas.

Pameran ini mempertemukan dua seniman Guyana yang lahir di era kolonial Inggris Aubrey Williams (1926–1990) dan Frank Bowling (lahir 1934). Meski memiliki latar belakang geografis, rasial, dan pengalaman migrasi yang serupa, perjalanan artistik dan tingkat pengakuan mereka berbeda jauh. Williams masih relatif kurang dikenal di kancah seni internasional, sedangkan Bowling saat ini disebut sebagai salah satu pelukis abstrak paling penting asal Inggris, dengan retrospektif besar di Tate Britain pada 2019.

Kurator pameran, Andrea Karnes, dalam wawancara dengan The Art Newspaper, mengatakan bahwa pameran ini bertujuan tidak hanya untuk memperlihatkan estetika keduanya, tetapi juga untuk mengangkat diskusi yang lebih luas tentang siapa yang diakui dalam sejarah seni dan mengapa. “Keduanya berbicara dalam bahasa abstraksi, tetapi konteks di mana mereka menciptakan—dan bagaimana dunia seni meresponsnya—menjadi bagian tak terpisahkan dari narasi,” ujar Karnes.

Sebagian besar karya dalam pameran ini berasal dari periode 1960-an hingga 1980-an, masa di mana kedua seniman aktif mengeksplorasi abstraksi sebagai medium ekspresi personal dan politik. Frank Bowling dikenal dengan pendekatan formalis yang kompleks: peta, tumpahan cat, dan lapisan resin yang menciptakan lanskap warna semi-geografis. Karyanya sering dianggap sebagai dialog antara abstraksi Amerika dan identitas diaspora Afro-Karibia.

Sementara itu, karya Aubrey Williams lebih kasar, lebih ekspresif, dan sering kali menyertakan bentuk-bentuk semi-figuratif yang terinspirasi oleh astronomi, mitologi Amerindian, dan pengalaman kolonial. Salah satu karya utamanya yang ditampilkan dalam pameran adalah bagian dari seri Shostakovich, yang terinspirasi oleh komposisi musik Dmitri Shostakovich. Di sini, Williams menggunakan ritme visual yang hampir musikal, dengan semburan warna dan tekstur yang tampaknya meledak dari kanvas.

Dalam ulasannya di The Wall Street Journal, kritikus seni Peter Plagens menekankan bahwa meski Bowling dan Williams sering disejajarkan karena latar belakang mereka yang serupa, gaya mereka sangat berbeda. Bowling bekerja dengan disiplin formal dan perenungan warna yang lambat, sementara Williams mengekspresikan kegelisahan dan gejolak internal melalui gestur yang lebih liar dan komposisi yang lebih emosional. Namun, keduanya sama-sama memosisikan warna sebagai bahasa utama dalam praktik mereka—warna yang tidak hanya indah, tetapi juga sarat makna.

Pameran ini juga menyentuh soal bagaimana sistem seni global menilai dan memberi tempat kepada seniman dari bekas koloni. Williams, yang sempat tinggal di Inggris dan aktif dalam komunitas seni London, tidak pernah benar-benar menembus pusat kekuasaan seni Eropa. Sebaliknya, Bowling—yang juga menghadapi marginalisasi awal dalam kariernya—pada akhirnya berhasil mendapatkan pengakuan institusional, sebagian berkat kerja keras selama puluhan tahun di New York dan relasi dengan dunia seni Amerika.

Pertanyaan pun mengemuka: mengapa satu diakui, yang lain tidak? Dalam esai pendamping katalog pameran, ditulis oleh sejarawan seni Kobena Mercer, dikemukakan bahwa pengakuan dalam seni bukanlah hasil murni dari kualitas, tetapi juga dari jaringan, institusi, dan bahkan keberuntungan. “Williams meninggal lebih awal, tanpa sempat menyaksikan lonjakan ketertarikan pada seni diaspora. Bowling hidup cukup lama untuk mengalami perubahan paradigma,” tulis Mercer.

Melalui pengaturan ruang yang apik dan pemilihan karya yang cermat, The Modern Art Museum of Fort Worth berhasil menunjukkan bahwa karya Williams dan Bowling bukan hanya berdialog satu sama lain, tetapi juga berdialog dengan sejarah seni yang lebih luas—termasuk abstraksi Amerika, modernisme Eropa, dan spiritualisme non-Barat. Keduanya membuktikan bahwa abstraksi bukanlah eksklusif milik Barat, tetapi medan universal yang bisa diisi dengan narasi identitas, trauma kolonial, dan pencarian makna.

Pameran ini juga membawa dampak ke komunitas seni lokal. Di Texas, yang selama ini lebih dikenal dengan seni realis atau kontemporer Amerika, kehadiran dua seniman diaspora Karibia memberikan perspektif baru. Dalam sebuah diskusi publik yang diadakan bersamaan dengan pameran, seniman dan akademisi membahas bagaimana abstraksi bisa menjadi ruang politik, terutama ketika seniman non-Barat mengambilnya sebagai bahasa visual untuk mengekspresikan pengalaman yang tak terwakili.

Salah satu pengunjung, seorang mahasiswa seni di Texas Christian University, mengatakan bahwa ini adalah pertama kalinya ia melihat karya seni yang membahas Guyana dalam konteks global. “Saya tidak tahu apa-apa tentang negara itu sebelumnya. Sekarang saya ingin tahu lebih banyak. Saya melihat bahwa seni bisa menjadi pintu untuk memahami sejarah dan tempat yang jauh,” katanya kepada Fort Worth Weekly.

Dalam konteks yang lebih luas, pameran Feeling Color memperlihatkan bahwa seni modern tidak pernah bisa dipisahkan dari politik pengakuan. Ketika dua seniman yang secara teknis sama-sama kuat mendapat sambutan yang berbeda dari dunia seni, itu mencerminkan struktur kekuasaan dan historiografi yang bias. Pameran ini menjadi semacam koreksi terhadap sejarah seni arus utama yang terlalu lama mengabaikan suara dari pinggiran.

Pentingnya pameran ini juga terletak pada pendekatannya yang tidak didaktik. Ia tidak memaksakan narasi tunggal, tetapi membuka ruang bagi pengunjung untuk mengalami warna sebagai pengalaman sensorik dan intelektual. Dalam banyak karya, warna bukan hanya tentang keindahan, tetapi tentang ingatan, ketegangan, dan perlawanan.

Frank Bowling, dalam wawancara sebelumnya dengan Artforum, mengatakan bahwa ia tidak pernah percaya bahwa warna itu netral. “Warna membawa beban sejarah, beban psikologis, dan beban geografi. Warna bisa menenangkan, bisa mengganggu, bisa menyembuhkan.” Pandangan inilah yang menjadikan pameran Feeling Color begitu relevan hari ini—di tengah perdebatan tentang representasi, warisan kolonial, dan posisi seni non-Barat dalam narasi global.

Melalui karya mereka, Williams dan Bowling menyampaikan bahwa menjadi seniman diaspora bukan berarti sekadar membuat karya tentang identitas. Justru, mereka mengklaim ruang universal seperti abstraksi sebagai milik mereka juga. Mereka menolak dibatasi oleh ekspektasi eksotis, dan sebaliknya mengajukan pertanyaan mendasar: siapa yang memiliki hak untuk bicara dalam bahasa warna?