Burberry

Burberry kembali ke akar Inggris bersama Joshua Schulman

(Business Lounge – Global News) Setelah melewati periode kebingungan identitas merek dan pertumbuhan yang stagnan, Burberry kini tengah mengupayakan kebangkitan. Di bawah kepemimpinan CEO barunya, Joshua Schulman, rumah mode warisan asal Inggris itu berusaha meninggalkan eksperimen yang terlalu eksentrik dan mewah, serta kembali merangkul DNA-nya yang paling otentik: gaya klasik, nuansa Inggris, dan warisan utilitarian.

Schulman, yang sebelumnya dikenal karena keberhasilannya di Coach dan Michael Kors, ditunjuk pada awal 2024 untuk membalikkan keadaan Burberry yang terus merosot di tengah ketatnya persaingan pasar mewah global. Ia masuk dengan pemahaman bahwa kekuatan Burberry bukan pada berlian atau logam mulia, melainkan pada parit-parit hujan Inggris, mantel trench, motif tartan, dan aksesori fungsional seperti syal wol dan payung.

Dalam wawancara dengan The Wall Street Journal, Schulman menyatakan bahwa Burberry telah “terlalu jauh dari akarnya” dan perlu menyatu kembali dengan citra yang membedakannya dari merek mewah lain. Ia ingin Burberry dikenali bukan karena mengejar mode runway yang ekstrem, melainkan karena kecanggihan klasik yang diwariskan dari sejarah panjang Inggris.

Langkah pertama yang diambil Schulman adalah mengevaluasi kembali seluruh lini produk. Ia mulai dengan memperkuat posisi trench coat sebagai jantung merek. Mantel ikonik ini tidak hanya dikembalikan ke desain aslinya yang lebih tradisional dan presisi secara teknis, tetapi juga diproduksi kembali di Inggris, tepatnya di pabrik Burberry di Castleford, Yorkshire. Produksi lokal ini menjadi bagian dari strategi untuk menegaskan kembali keaslian dan kualitas craftsmanship Inggris yang membedakan Burberry dari kompetitor globalnya.

Syal tartan khas Burberry yang sempat kehilangan sorotan juga menjadi fokus revitalisasi. Dengan material kasmir dari Skotlandia dan pola klasik yang dikaitkan dengan sejarah panjang merek ini, Schulman mendorong agar syal menjadi bagian utama dalam kampanye pemasaran global Burberry yang baru. Sementara itu, payung dan aksesori lainnya yang dulunya hanya dianggap pelengkap kini dikembalikan sebagai simbol gaya hidup Inggris yang otentik dan tahan cuaca.

Dalam laporan Financial Times, analis industri menyebut strategi Schulman sebagai “kembali ke dasar”, sebuah pendekatan yang dinilai tepat untuk merek yang selama ini berjuang mendefinisikan kembali dirinya di tengah gelombang streetwear dan logomania. Sebelumnya, di bawah arahan Riccardo Tisci dan kemudian Daniel Lee, Burberry sempat mencoba meniru strategi Gucci dengan tampilan runway yang lebih teatrikal dan edgy. Namun pendekatan itu tidak sepenuhnya berhasil di pasar.

Pada tahun keuangan yang berakhir Maret 2024, pendapatan Burberry turun 4 persen, dan pertumbuhan di pasar-pasar utama seperti China, AS, dan Eropa cenderung melambat. Penjualan produk ready-to-wear sempat meningkat selama periode pandemi, namun begitu tren pasca-pandemi berubah, produk-produk dengan desain eksperimental mengalami kesulitan mempertahankan minat konsumen.

Schulman melihat situasi ini sebagai peluang untuk menyederhanakan portofolio produk dan memperjelas proposisi nilai Burberry. Ia mulai mengurangi koleksi musiman yang terlalu avant-garde dan menggantinya dengan produk yang berumur panjang, konsisten, dan dapat dikenali dalam jangka waktu bertahun-tahun. Fokus utama adalah membangun kembali Burberry sebagai merek yang menjual kualitas, sejarah, dan gaya abadi—alih-alih sekadar tren sementara.

Sebagai bagian dari upaya repositioning ini, Schulman juga menata ulang pendekatan pemasaran Burberry. Ia menghentikan kampanye digital yang terlalu eksperimental dan mulai membangun narasi yang lebih kuat seputar Inggris. Iklan terbaru Burberry memperlihatkan lanskap pedesaan Inggris yang berkabut, stasiun kereta tua, dan jalan-jalan berpayung—semuanya dibalut dalam trench coat yang tak lekang oleh waktu. Pesan yang dibawa bukan tentang kemewahan mencolok, melainkan ketenangan, keteguhan, dan identitas.

Kampanye tersebut juga menyertakan wajah-wajah baru dari Inggris, termasuk aktor, seniman, dan musisi muda yang merepresentasikan identitas budaya lokal yang kontemporer. Tujuannya adalah memperluas audiens merek tanpa kehilangan jati dirinya sebagai ikon Inggris.

Schulman juga mereformasi kanal ritel dan digital Burberry. Toko-toko flagship kini ditata ulang agar mencerminkan suasana butik Inggris klasik, dengan nuansa kayu tua, pencahayaan hangat, dan pelayanan personal. Di e-commerce, Burberry berfokus pada penjualan produk inti yang ditampilkan dalam gaya yang elegan dan informatif, berbeda dari pendekatan sebelumnya yang cenderung menonjolkan gimmick visual.

Langkah-langkah ini mendapat respons positif dari investor. Saham Burberry sempat naik lebih dari 8 persen sejak awal tahun 2025, dan beberapa analis seperti dari Morgan Stanley dan Bernstein mulai mengubah pandangan mereka terhadap prospek jangka menengah perusahaan. Mereka menilai bahwa strategi yang lebih fokus pada heritage justru memberi Burberry keunggulan diferensial di tengah persaingan global yang semakin homogen.

Namun tantangan tetap besar. Burberry masih harus membangun kembali koneksi emosional dengan konsumen muda yang mungkin lebih tertarik pada Louis Vuitton, Balenciaga, atau merek streetwear Jepang dan Korea. Di saat yang sama, perusahaan harus menjaga eksklusivitas merek sambil meningkatkan volume penjualan—a balancing act yang sulit dilakukan dalam dunia mode mewah.

Schulman tampaknya menyadari tantangan ini. Ia menekankan pentingnya storytelling dan konsistensi dalam membangun kembali kepercayaan terhadap merek. Menurutnya, konsumen saat ini tidak hanya mencari status atau desain mencolok, tetapi juga makna dan keaslian. Oleh karena itu, ia lebih memilih menceritakan kisah tentang Inggris dan warisan Burberry dibanding mencoba meniru kesuksesan visual pesaing.

Dalam strategi jangka panjang, Burberry juga akan mengembangkan lini produk khusus untuk musim dan iklim Inggris, memperluas koleksi outerwear, dan memperkuat posisi di segmen mid-luxury yang sering diabaikan oleh merek-merek besar. Ini termasuk menghadirkan produk dengan harga terjangkau yang tetap membawa kualitas dan ciri khas Burberry, tanpa mengorbankan nilai eksklusif.

Upaya untuk kembali ke akar Inggris ini pada akhirnya bukan hanya tentang desain produk, tetapi juga tentang filosofi merek. Schulman percaya bahwa Burberry tidak perlu mengikuti semua tren industri untuk tetap relevan. Sebaliknya, dengan menjadi merek yang jujur terhadap asal-usulnya, Burberry bisa membangun posisi unik yang tak bisa ditiru oleh siapa pun.

Ketika dunia mode mewah semakin terfragmentasi antara ultra-high fashion dan fast luxury, strategi Burberry di bawah Schulman menjadi eksperimen menarik tentang bagaimana warisan, kesederhanaan, dan keaslian bisa kembali menjadi nilai jual utama. Dan dalam dunia yang semakin dipenuhi noise visual dan ekspektasi instan, mungkin yang dibutuhkan adalah mantel klasik, syal tartan, dan semangat Inggris yang tak berubah oleh waktu.