(Business Lounge-Marketing) Dulu, kupon belanja bukan sekadar alat penghemat. Ia adalah bagian dari budaya konsumen yang penuh strategi, semangat kompetitif, dan bahkan hiburan tersendiri. Di tahun 2000-an hingga awal 2010-an, extreme couponing—belanja menggunakan tumpukan kupon hingga hanya membayar sebagian kecil dari total harga—merajai televisi, media sosial, dan komunitas daring. Namun kini, di tengah lonjakan harga barang dan inflasi yang belum sepenuhnya reda, kupon justru kehilangan pesonanya.
Menurut laporan terbaru dari The Wall Street Journal, sebagian besar konsumen Amerika, termasuk para mantan ekstremis kupon, menyatakan bahwa berburu potongan harga lewat kupon tidak lagi sepadan dengan waktu dan tenaga. Beberapa menyebut bahwa kupon makin jarang tersedia, aturannya semakin rumit, dan nilai diskonnya tidak sebanding dengan usaha yang diperlukan.
Kondisi ini cukup ironis. Ketika harga kebutuhan pokok seperti makanan, perawatan rumah tangga, dan barang sehari-hari terus meningkat, banyak yang memperkirakan kupon akan kembali menjadi alat vital penghematan. Namun kenyataan justru menunjukkan sebaliknya. Data dari Inmar Intelligence, perusahaan analitik perilaku konsumen, menunjukkan bahwa jumlah kupon yang ditebus oleh konsumen di AS menurun lebih dari 50 persen dalam satu dekade terakhir, bahkan pada tahun 2024 yang ditandai oleh tekanan harga tinggi.
Dulu, lembaran kupon kertas tersebar di surat kabar akhir pekan, kotak produk, atau selebaran toko. Para pemburu diskon sejati akan menyusun strategi berdasarkan kombinasi kupon produsen, kupon toko, dan penawaran beli satu gratis satu. Dalam kasus ekstrem, mereka bisa membawa pulang ratusan dolar barang hanya dengan membayar beberapa sen.
Namun kini, lanskap ritel berubah drastis. Kupon kertas semakin langka. Banyak merek beralih ke program loyalitas digital, sistem harga dinamis, dan diskon personal melalui aplikasi. Proses penebusan kupon menjadi lebih kompleks, membutuhkan aplikasi terpisah, akun online, bahkan kadang lokasi atau syarat pembelian minimum tertentu. Hal ini menghilangkan elemen “langsung” dan serba praktis yang dulu membuat kupon begitu menarik.
Beberapa mantan pengguna kupon yang diwawancarai oleh Bloomberg mengaku bahwa waktu yang mereka habiskan untuk melacak, memotong, dan mengatur kupon kini tidak lagi sebanding dengan hasilnya. Salah satu dari mereka menyebut, “Saya dulu bisa menghemat 80 dolar dalam satu belanjaan. Sekarang, kalau beruntung, saya menghemat lima dolar. Tidak sebanding dengan tiga jam persiapan.”
Selain soal efektivitas, pergeseran nilai konsumen juga berperan. Generasi muda seperti milenial dan Gen Z, yang kini menjadi kekuatan belanja utama, cenderung menghindari metode diskon tradisional seperti kupon. Mereka lebih tertarik pada harga transparan, program cashback, diskon instan, atau langganan yang menawarkan kemudahan dan pengalaman.
Platform seperti Honey, Rakuten, atau fitur diskon otomatis dari Chrome Extension menggantikan peran kupon fisik. Dalam budaya digital yang serba cepat dan intuitif, kupon tradisional dinilai terlalu “repot” dan kuno. Pengguna ingin sistem yang bekerja otomatis di latar belakang, tanpa harus mencetak, mengisi, atau mengingat kode khusus.
Ritel besar seperti Target, Kroger, dan Walmart juga mengubah strategi promosi mereka. Alih-alih kupon yang berlaku umum, mereka menerapkan personalisasi harga berdasarkan data pelanggan, histori belanja, atau lokasi geografis. Diskon yang ditawarkan tidak bisa lagi ditransfer atau disatukan dengan kupon dari pihak ketiga. Ini menurunkan potensi “stacking”, teknik lama para pemburu diskon untuk menggabungkan potongan sebanyak mungkin dalam satu transaksi.
Bagi merek, penurunan penggunaan kupon bukan hal yang mengejutkan. Banyak dari mereka menganggap kupon sebagai strategi usang yang hanya mengandalkan volume, bukan loyalitas. Kini, dengan data perilaku pelanggan yang lebih canggih, merek lebih tertarik menciptakan program eksklusif yang menargetkan segmen tertentu, daripada memberikan diskon massal yang mungkin tidak efisien dari sisi margin.
Namun di sisi konsumen, perubahan ini menciptakan semacam kehilangan. Kupon dulu memberi rasa kontrol dan kemenangan. Saat seseorang membawa pulang keranjang penuh belanja dengan separuh harga, ada rasa pencapaian yang nyata. Kini, dengan sistem diskon yang tersembunyi dalam algoritma atau dibatasi oleh platform tertentu, rasa itu hilang. Konsumen menjadi pasif, bukan lagi aktor utama dalam strategi penghematan mereka.
Beberapa komunitas penghemat masih bertahan, terutama di media sosial seperti Reddit dan Facebook. Namun diskusi kini lebih banyak berfokus pada penawaran digital, flash sale, atau cara memaksimalkan reward points—bukan lagi kupon fisik yang bisa ditukar di kasir. Dalam konteks ini, kupon telah berubah dari budaya ke nostalgia.
Yang menarik, di tengah kebangkitan e-commerce, bahkan platform digital sekalipun mulai meninggalkan sistem kupon dalam bentuk tradisional. Amazon, misalnya, lebih sering menggunakan sistem diskon langsung atau promosi waktu terbatas daripada kode kupon. Ini mencerminkan tren global di mana konsumen tidak lagi mau mencari, mengetik, atau mengatur kupon—mereka ingin diskon otomatis dan transparan.
Di sisi lain, kupon belum sepenuhnya punah. Beberapa segmen konsumen, terutama kelompok berpenghasilan rendah, lansia, atau mereka yang tinggal di daerah pedesaan, masih mengandalkan kupon fisik dalam keseharian. Namun pangsa ini terus menyusut, dan kebanyakan perusahaan tidak lagi memprioritaskan mereka dalam strategi distribusi kupon.
Akibatnya, ada jurang yang makin lebar dalam akses terhadap diskon. Mereka yang melek teknologi, punya ponsel pintar, dan terhubung dengan aplikasi digital, bisa mengakses promosi eksklusif. Sementara yang tidak, berisiko membayar lebih untuk barang yang sama. Ini menciptakan dimensi baru dalam ketimpangan harga—bukan berdasarkan pendapatan, tapi berdasarkan kemampuan digital.
Di tengah semua perubahan ini, pertanyaan muncul: apakah kupon akan sepenuhnya menghilang, atau hanya berevolusi? Pakar perilaku konsumen dari University of Michigan menyebut bahwa kupon sebagai konsep tidak akan punah. Namun bentuk dan fungsinya akan berubah mengikuti perilaku konsumen yang makin cepat, digital, dan personal.
Ke depan, potongan harga mungkin lebih sering datang dalam bentuk reward otomatis, langganan berbayar dengan manfaat eksklusif, atau bahkan diskon dinamis yang hanya muncul berdasarkan waktu dan lokasi. Kupon fisik akan menjadi artefak sejarah belanja, bukan alat sehari-hari.
Bagi sebagian orang, ini adalah penyederhanaan. Tidak perlu lagi menyusun lembaran kupon, menghitung diskon silang, atau memindai barcode secara manual. Namun bagi yang lain, hilangnya kupon berarti hilangnya kendali, hilangnya tradisi keluarga (banyak ibu rumah tangga mengajarkan anak mereka cara menggunakan kupon), dan hilangnya rasa kemenangan kecil dalam belanja harian.
Dalam dunia belanja yang makin digerakkan oleh algoritma dan personalisasi, mungkin yang hilang bukan hanya potongan harga, tapi juga sensasi manusiawi dari menemukan dan memanfaatkan peluang. Kupon adalah bentuk sederhana dari kecerdikan dan strategi domestik. Dan meskipun efisiensinya bisa digantikan, makna emosionalnya mungkin tidak.