Google

Gelombang Baru Penemuan Online Menantang Google

(Business Lounge – Technology) Selama hampir dua dekade, Google menjadi pintu gerbang utama ketika orang ingin mencari jawaban di internet. Namun kini, sebuah gelombang teknologi baru mulai menantang dominasi tersebut. Perubahan ini muncul seiring berkembangnya kecerdasan buatan berbasis bahasa alami, yang memungkinkan pengguna bertanya langsung kepada chatbot dan mendapatkan jawaban instan tanpa harus menelusuri daftar tautan. Pergeseran ini menciptakan peluang besar bagi perusahaan-perusahaan baru yang yakin mereka dapat memanfaatkan perubahan ini sebelum Google berhasil beradaptasi.

Menurut laporan dari The Wall Street Journal, sejumlah perusahaan rintisan dan pemain digital mulai menciptakan sistem penemuan informasi dan produk yang tidak lagi mengandalkan halaman hasil pencarian tradisional. Startup seperti Perplexity, You.com, dan Phind kini mengembangkan model interaksi berbasis tanya jawab yang dirancang agar lebih cepat, lebih relevan, dan lebih intuitif. Di dalam model ini, pengguna tidak diarahkan ke berbagai situs web, melainkan langsung memperoleh penjelasan ringkas dengan referensi, ulasan produk, hingga opsi pembelian yang terintegrasi.

Perusahaan seperti Shopify dan Instacart juga melihat tren yang sama dalam perilaku konsumen. Klarna, misalnya, menyebut bahwa pengguna muda mereka semakin sering menggunakan antarmuka percakapan untuk membandingkan harga dan fitur barang. Hal ini menunjukkan bahwa mesin pencari tradisional mulai tergeser oleh pengalaman yang lebih ringkas dan personal melalui chatbot.

Google tentu menyadari pergeseran ini dan telah mulai bereksperimen dengan teknologi serupa melalui fitur bernama Search Generative Experience yang memadukan hasil pencarian konvensional dengan jawaban dari model AI. Namun, Google menghadapi kendala struktural dalam melakukan transformasi total. Ketergantungan besar terhadap pendapatan iklan dari pencarian membuat mereka sulit melepaskan format lama secara menyeluruh.

Sementara itu, para pendatang baru bergerak lebih leluasa. Mereka membangun model bisnis yang tidak perlu menampilkan iklan dalam hasil pencarian, melainkan menjalin kemitraan langsung dengan penyedia produk atau mengenakan biaya langganan. Perplexity, misalnya, memperoleh dukungan dana besar dari investor dan kini digunakan oleh jutaan orang sebagai alternatif mesin pencarian untuk mencari pengetahuan dan referensi tanpa kebisingan iklan.

Platform lain seperti You.com memberikan opsi personalisasi kepada pengguna yang ingin hasil pencarian disesuaikan dengan gaya mereka. Ini termasuk konten akademik, sosial, hingga belanja. Dengan model ini, merek dagang dan toko online bisa muncul di hasil pencarian berdasarkan konteks dan preferensi pengguna, bukan sekadar karena membayar iklan.

Untuk sektor e-commerce, ini berarti perubahan mendasar dalam cara barang ditemukan dan dibeli. Semakin banyak brand mempertimbangkan untuk membangun kehadiran di dalam ekosistem chatbot, bukan hanya pada mesin pencari seperti Google. Bahkan muncul layanan baru yang menawarkan optimalisasi konten agar dapat dibaca dan direkomendasikan oleh AI generatif, menggantikan praktik optimasi mesin pencari yang selama ini dikenal dengan istilah SEO.

Meskipun banyak yang optimistis, tidak sedikit pula yang memperingatkan bahwa pencarian berbasis chatbot masih memiliki keterbatasan. Beberapa ahli menyebut bahwa sistem ini belum sepenuhnya dapat diandalkan untuk topik-topik yang memerlukan presisi tinggi, seperti kesehatan atau keuangan. Selain itu, tantangan dalam menjaga keberagaman sumber dan akurasi data juga terus menjadi perhatian utama.

Kendati demikian, preferensi pengguna mulai menunjukkan pergeseran nyata. Generasi muda lebih terbiasa menggunakan sistem pencarian berbasis suara, visual, dan interaksi instan ketimbang mengetik kata kunci dan menyaring hasil. TikTok dan Instagram bahkan menjadi sumber utama pencarian gaya hidup, kuliner, dan hiburan di kalangan konsumen usia muda.

Amazon dan Meta pun mulai berinovasi di ranah yang sama. Amazon, misalnya, sedang mengembangkan fitur AI yang memungkinkan pembeli mengajukan pertanyaan seperti layaknya berdiskusi dengan pramuniaga toko. Jika fitur ini berhasil diadopsi luas, maka siklus pencarian hingga pembelian bisa seluruhnya terjadi dalam satu platform saja, tanpa melibatkan Google sama sekali.

Dalam jangka waktu dekat, model pencarian kemungkinan akan menjadi lebih terfragmentasi. Tidak akan ada lagi satu gerbang utama menuju informasi, melainkan beragam pintu masuk tergantung pada kebutuhan dan kebiasaan pengguna. Beberapa akan memilih AI seperti ChatGPT atau Claude untuk mencari pengetahuan, sementara yang lain akan langsung membuka Amazon, TikTok, atau asisten belanja berbasis AI di perangkat mereka.

Hal ini membuka peluang besar bagi pengembang produk dan platform teknologi baru. Investor mulai melirik perusahaan yang bisa membangun sistem pencarian AI yang relevan, dapat dipercaya, dan mudah diintegrasikan dengan kebutuhan bisnis. Tidak hanya mesin pencari baru, tetapi juga API, plugin, dan model monetisasi untuk membantu brand menempatkan produknya di tempat yang tepat, pada waktu yang tepat, di dalam ekosistem AI percakapan.

Meski Google masih berada di posisi dominan, tantangan-tantangan ini menggerogoti fondasi yang selama ini terlihat kokoh. Dalam waktu dekat, kemungkinan besar Google harus memilih antara mempertahankan struktur pendapatan saat ini atau mengambil risiko besar dengan merevolusi cara kerja produknya secara fundamental.

Pendiri Perplexity, Aravind Srinivas, mengatakan bahwa tujuan mereka bukanlah meniru Google, melainkan membangun ulang cara orang menemukan informasi di internet. Tanpa iklan, tanpa gangguan, dan tanpa perlu klik yang tak perlu. Jika pola pencarian seperti ini terus berkembang, maka lanskap pencarian digital akan mengalami transformasi paling besar sejak Google pertama kali muncul.