Digital Campus to Digital Workplace

(Business Lounge Journal – Technology)

Baru-baru ini, Jisc (the Joint Information Systems Committee) yang berlokasi di Inggris merilis sebuah hasil survei yang menyatakan bahwa hanya 41% mahasiswa di Inggris yang siap untuk menghadapi tempat kerja yang serba digital (digital workplace). Survei yang diberikan kepada 37,000 mahasiswa dari 83 perguruan tinggi itu sebenarnya menunjukkan bahwa hampir 70% mahasiswa beranggapan bahwa keterampilan digital akan penting untuk karir pilihan mereka, namun tidak semua merasa siap untuk hal tersebut.

Ini memang gambaran mahasiswa di Inggris, lalu bagaimana dengan Indonesia? Saya belum menemukan adanya angka survei untuk mahasiswa di Indonesia, namun dapat dipastikan bahwa persentase kesiapan mahasiswa di Indonesia untuk menghadapi digital workplace, pastinya tidak lebih tinggi dari 41%. Namun seberapa pentingkah generasi saat ini harus dipersiapkan untuk menghadapi digital workplace? Serta seberapa mendesaknyakah kesiapan ini harus dipastikan? Dapatkah lembaga pendidikan tinggi mulai menerapkan digitalisasi dalam lingkungan perkuliahan?

Digitalisasi di lingkungan perkuliahan

Sebenarnya digitalisasi telah masuk dalam lembaga perkuliahan sejak beberapa tahun yang lalu, bahkan sejak pertengahan 2014, PT Telekomunikasi Indonesia Tbk telah meluncurkan Indonesia Digital Campus yang menyediakan akses broadband bagi mahasiswa serta pada tahun 2016 telah melakukan digitalisasi pada 2.266 kampus di Indonesia guna tercapainya prasyarat World Class Campus. Tetapi hal ini memang tidak semudah membalikkan telapak tangan. Membutuhkan sumber daya yang tidak sedikit untuk mulai melakukan digitalisasi dalam sebuah perguruan tinggi. Telkom salah satunya yang juga secara konsisten terus mendukung penguatan ekosistem digital yang dapat dimanfaatkan untuk dunia pendidikan.

Pada umumnya, kampus-kampus besar yang juga terletak di kota-kota besar telah banyak mengubah berbagai kegiatan administrasi serta kegiatan pendukung perkuliahan menjadi digital. Misalnya saja pengisian KRS, pengumpulan tugas, pengambilan buku referensi untuk mata kuliah, hingga mengakses jurnal, semua dapat dilakukan secara digital. Bahkan salah satu universitas Katolik di Jawa Tengah memiliki fasilitas untuk chat dengan asisten virtual melalui aplikasi pesan instant LINE yang dapat diakses secara umum. Belum lagi presensi perkuliahan hanya dengan memindai QR Code yang telah tertera saat perkuliahan berlangsung, adanya Cyber Learning, legalisir online, bahkan sampai fasilitas yang dapat menunjukkan status mahasiswa beserta tren prestasi dalam kuliah, hingga prediksi kelulusan masing-masing. Wah, zaman sudah semakin canggih. Tetapi apakah semua perguruan tinggi memiliki fokus yang sama?

Saya mencoba bertanya pada beberapa mahasiswa secara random di Manado, Pekan Baru, Jogjakarta, Toraja, dan Mamuju dan mendapati bahwa tidak semua perguruan tinggi mengalami perkembangan yang sama. Tetapi semua berupaya menuju ke sana, paling tidak cara pengisian KRS atau mengakses nilai perkuliahan sudah dapat dilakukan secara online.

Bukan hanya pihak management yang berpengaruh dalam penerapan digitalisasi ini, tetapi juga baik pengajar maupun mahasiswa serta budaya yang ada tentu memiliki peranan di dalamnya.

Sejak awal tahun ini, Menristekdikti Mohamad Nasir dalam sebuah pidatonya di salah satu perguruan tinggi telah mengatakan bahwa menghadapi era Revolusi Industri 4.0, pendidikan tinggi harus segera melakukan perubahan mendasar dan mengembangkan apa yang dibutuhkan pasar saat ini. Ada banyak hal yang dapat dikembangkan secara digital, salah satu yang terus dikembangkan adalah perkuliahan secara online. Setiap perguruan tinggi juga diharapkan dapat mengatisipasi pesatnya perubahan-perubahan dalam  teknologi dan informasi dengan melakukan berbagai lompatan.

Bersambung

ruth_revisiRuth Berliana/VMN/BL/Partner in Management and Technology Services, Vibiz Consulting Group