(Vibiznews-Technology) Taiwan Semiconductor Manufacturing Company (TSMC), produsen chip terbesar di dunia, mengubah arah strategi globalnya secara signifikan. Perusahaan ini menunda ekspansi fasilitasnya di Jepang dan mempercepat penggelontoran dana untuk pabrik chip di Amerika Serikat. Langkah ini bukan semata persoalan bisnis, melainkan respon proaktif terhadap kemungkinan diberlakukannya kembali tarif perdagangan yang ketat oleh pemerintahan AS berikutnya terhadap impor dari luar negeri, termasuk produk teknologi bernilai tinggi seperti semikonduktor.
Dalam laporan eksklusif yang diterbitkan oleh The Wall Street Journal, para eksekutif TSMC mengindikasikan bahwa prioritas utama mereka saat ini adalah memastikan proyek-proyek manufaktur chip canggih di Arizona, Amerika Serikat, berjalan lebih cepat dari jadwal sebelumnya. Hal ini dilakukan sebagai antisipasi terhadap kemungkinan diberlakukannya tarif baru oleh mantan Presiden Donald Trump, yang saat ini kembali menjadi kandidat kuat dalam pemilu presiden 2024 dan telah menyatakan akan menerapkan tarif universal 10 persen atas semua impor jika terpilih kembali.
Menurut sumber internal yang dikutip WSJ, TSMC saat ini memfokuskan lebih banyak sumber daya—baik finansial maupun tenaga kerja teknik—untuk mempercepat penyelesaian pabrik chip senilai lebih dari 40 miliar dolar AS di Phoenix, Arizona. Ini termasuk fasilitas yang akan memproduksi chip 3-nanometer, teknologi tercanggih yang kini menjadi tulang punggung perangkat AI dan ponsel pintar generasi terbaru.
Sementara itu, pembangunan pabrik kedua di Jepang yang sebelumnya direncanakan bersama mitra lokal seperti Sony Group dan Denso, kini ditunda. Pabrik pertama di Kumamoto tetap berjalan sesuai jadwal dan dijadwalkan mulai berproduksi pada akhir 2024. Namun, rencana fasilitas kedua — yang semula akan fokus pada chip otomotif dan IoT — kini di-review ulang, baik dari sisi waktu maupun skala.
Langkah ini mengejutkan banyak pengamat, mengingat Jepang telah menjadi salah satu sekutu industri semikonduktor paling aktif di Asia Timur, terutama setelah Jepang mengucurkan insentif besar untuk menarik TSMC dan perusahaan teknologi lainnya dalam upaya membangkitkan kembali industri chip dalam negeri. Namun bagi TSMC, tekanan geopolitik global dan ancaman tarif AS tampaknya lebih berat bobotnya ketimbang komitmen regional jangka panjang.
Bloomberg melaporkan bahwa eksekutif TSMC secara intensif berdiskusi dengan pejabat di Washington, termasuk dari Departemen Perdagangan dan Kantor Perwakilan Dagang AS. Mereka ingin memastikan bahwa setiap ekspansi yang dilakukan di AS benar-benar mendapat perlindungan jangka panjang dari potensi kebijakan proteksionis yang bisa membahayakan operasi global mereka.
Kekhawatiran utama adalah kemungkinan Trump memberlakukan tarif atas produk semikonduktor yang diproduksi di luar AS, termasuk yang berasal dari pabrik TSMC di Taiwan dan Jepang, meskipun sebagian besar produksi tersebut ditujukan untuk pasar Amerika. Dalam skenario tersebut, hanya chip yang diproduksi secara domestik di AS yang bisa terhindar dari tarif tambahan.
Sebagai perusahaan yang memasok chip untuk hampir semua perusahaan teknologi besar, termasuk Apple, Nvidia, dan AMD, TSMC tidak punya pilihan selain mengantisipasi risiko ini secara strategis. Jika tarif diberlakukan dan TSMC tidak memiliki kapasitas produksi yang cukup di AS, maka rantai pasok global berpotensi terganggu, dan perusahaan-perusahaan klien besar pun bisa beralih ke alternatif lain, seperti Samsung Foundry atau Intel.
Selain kekhawatiran terhadap tarif, insentif domestik dari pemerintah AS juga menjadi faktor pendorong keputusan TSMC. Program CHIPS and Science Act yang ditandatangani Presiden Joe Biden memberikan subsidi hingga miliaran dolar bagi perusahaan yang membangun fasilitas manufaktur chip di wilayah AS. TSMC termasuk salah satu penerima insentif tersebut, dan penggelontoran dana publik ini menjadi katalis untuk mempercepat investasi mereka.
Perusahaan juga melihat semakin kuatnya dorongan politik di AS untuk mengembalikan rantai pasok teknologi kritis ke dalam negeri, terutama setelah pandemi COVID-19 dan meningkatnya ketegangan dengan Tiongkok. Dalam konteks ini, memperluas kehadiran manufaktur di AS menjadi bukan hanya keputusan bisnis, tetapi juga strategi bertahan dalam medan geopolitik yang semakin kompleks.
Namun, perubahan prioritas ini tidak datang tanpa risiko. Menurut analis dari Nikkei Asia, mempercepat ekspansi di AS berarti menunda alokasi sumber daya untuk wilayah lain seperti Jepang dan bahkan Taiwan sendiri. Ini bisa menciptakan ketidakseimbangan dalam strategi global TSMC, yang selama ini dikenal sangat berhati-hati dalam membagi kapabilitas produksinya agar tidak tergantung pada satu wilayah.
Khusus untuk Jepang, penundaan fasilitas kedua bisa menimbulkan ketegangan diplomatik. Pemerintah Jepang telah menjanjikan dukungan finansial hingga miliaran yen untuk proyek TSMC, termasuk insentif pajak dan pembangunan infrastruktur pendukung. Jika proyek kedua ditunda atau dibatalkan, Tokyo bisa kehilangan momentum dalam ambisinya menjadi pusat regional industri semikonduktor.
Pemerintah Jepang, menurut laporan Kyodo News, masih berharap TSMC melanjutkan proyek jangka panjang di wilayah Kumamoto, tetapi juga memahami bahwa dinamika global saat ini sangat tidak stabil. Beberapa pejabat bahkan menyatakan bahwa mereka siap merevisi skema insentif agar tetap menarik bagi TSMC untuk melanjutkan ekspansi.
Sementara itu, dari sisi domestik AS, akselerasi pembangunan pabrik TSMC di Arizona menghadapi tantangan tersendiri. Masalah utama adalah ketersediaan tenaga kerja teknis lokal yang mampu menangani teknologi manufaktur canggih seperti EUV lithography untuk chip 3nm. Pada tahun 2023, proyek sempat tertunda karena kekurangan teknisi berpengalaman. Namun kini, TSMC berupaya mengatasi hal itu dengan melatih insinyur lokal dan mendatangkan tim Taiwan ke AS untuk mempercepat alih teknologi.
CEO TSMC, C.C. Wei, dalam pernyataan resminya pada Juni lalu, mengatakan bahwa meskipun proyek Arizona adalah salah satu investasi paling ambisius TSMC, mereka tetap berkomitmen menjaga kelangsungan operasional di Taiwan sebagai basis utama teknologi. Namun, ia juga menegaskan bahwa kapasitas global akan disesuaikan dengan kondisi politik dan ekonomi dunia yang terus berubah.
Pergeseran arah TSMC ini mencerminkan pola baru dalam geopolitik semikonduktor: alih-alih menyebarkan fasilitas secara merata untuk efisiensi biaya dan mitigasi risiko lokal, kini perusahaan chip harus lebih responsif terhadap tekanan proteksionis, nasionalisme teknologi, dan permainan kekuasaan antara blok ekonomi besar seperti AS, Tiongkok, Jepang, dan Uni Eropa.
Sejumlah analis teknologi menyebut langkah TSMC sebagai “asuransi politik.” Dengan mempercepat investasi di AS, perusahaan menunjukkan niat baik kepada pembuat kebijakan Washington bahwa mereka siap menjadi bagian dari strategi industrialisasi kembali AS. Ini juga merupakan sinyal kepada para klien utama mereka—seperti Apple—bahwa TSMC siap mengamankan pasokan chip tanpa terganggu urusan tarif atau embargo.
Namun yang belum jelas adalah seberapa jauh strategi ini akan memengaruhi profitabilitas TSMC. Pabrik di AS dikenal lebih mahal dari sisi operasional dibanding Taiwan atau Jepang. Gaji teknisi lebih tinggi, biaya energi dan logistik pun lebih besar. Jika tidak diimbangi dengan efisiensi dan insentif fiskal yang cukup, ekspansi di AS bisa menjadi beban margin jangka panjang.
Saat ini, TSMC mempertahankan sikap berhati-hati namun proaktif. Mereka tidak menyatakan secara resmi bahwa penundaan pabrik Jepang adalah akibat dari kampanye Trump, namun fakta bahwa pernyataan tersebut muncul dalam periode spekulasi intensif terhadap arah kebijakan dagang AS menunjukkan bahwa perusahaan tidak bisa lagi memisahkan strategi manufakturnya dari pertimbangan politik global.
Pada akhirnya, keputusan TSMC mencerminkan realitas baru dalam industri semikonduktor: bahwa inovasi teknologi kini tidak cukup. Yang dibutuhkan adalah kelincahan geopolitik, kemampuan membaca arah kebijakan negara-negara besar, dan kemauan untuk berinvestasi di tempat yang secara politis aman, bahkan jika dari sisi bisnis tidak selalu ideal.
Dengan potensi Trump kembali berkuasa dan membawa gelombang tarif baru, perusahaan-perusahaan global kini harus siap mengubah strategi mereka bukan berdasarkan pasar atau teknologi, tetapi berdasarkan peta kekuasaan.