(The Manager’s Lounge – Sales & Marketing) – Daya beli konsumen kini telah mempengaruhi industri ritel, baik local maupun global di negara-negara berkembang. Kini, para peritel multinasinal mencari sumber growth baru dengan mengincar mass market di Brazil, Cina, dan India, dimana terdapat populasi yang besar dan pertumbuhan perekonomian yang tinggi. Semakin besar pendapatan konsumen, maka pengeluarannya untuk barang-barang pokok jg semakin besar. Salah satu kategorinya adalah apparel.
Untuk memahami kunci sukses para peritel pada pasar-pasar tersebut, maka McKinsey melakukan riset mengenai perilaku berbelanja pakaian di Brazil, Cina dan India. Sampelnya adalah para wanita, yang tidak hanya membeli pakaian untuk dirinya sendiri, melainkan juga mempengaruhi pembelian bagi anak-anak dan suami.
Meskipun Cina mempunyai pertumbuhan ekonomi yang tinggi, namun ternyata peritel global menghadapi tantangan besar disana. Mereka menghadapi kesulitan dalam mendiferensiasikan produk serta mereknya, dan disarankan untuk mengadopsi pendekatan baru. Survei ini juga menekankan perbedaan penting antara rata-rata responden dan kaum muda di Cina.
Riset menunjukkan bahwa konsumen mass-market di Cina mempunyai pakaian yang sedikit dan tidak terdiferensiasi. 40% responden Cina, misalnya menyatakan bahwa mereka menggunakan pakaian yang sama untuk bekerja, acara formal, dan pergi bersama teman/keluarga, dibandingkan dengan 8,13 dan 11 persen konsumen di Brazil, India dan Russia. Konsumen pakaian di Cina juga tidak menganggap merek asing senagai premium. Hanya sekitar 25% responden yang menyatakan bahwa merek asing lebih memberi nilai dibandingkan dengan merek local. Selain itu, konsumen Cina juga lebih mengandalkan harga untuk membentuk persepsi mengenai kualitas produk dibandingkan konsumen manapun.
Sementara itu, terdapat kecenderungan berbeda bagi kaum muda urban di Cina, yang berusia antara 18-25 tahun. Banyak konsumen muda yang menyukai merek internasional. Setengahnya setuju bahwa merek asing lebih berkualitas daripada lokal. 36 persen konsumen muda Cina juga menyatakan bahwa mereka seringkali mencoba produk dan merek asing, dibandingkan dengan rata-rata responden lain hanya 13 persen. Konsumen muda Cina juga berbelanja pakaian lebih sering daripada konsumen usia lainnya, mereka juga menghabiskan uang lebih untuk berbelanja pakaian, dan akan menyediakan porsi lebih jika pendapatan mereka juga meningkat.
Temuan ini menghasilkam beberapa implikasi bagi para peritel global. Mereka bisa menargetkan konsumen muda yang cukup menjanjikan. Namun, untuk mendekati mereka butuh perubahan dalam pendekatan pemasaran. Untuk meraih segmen ini, maka peritel perlu menciptakan merek baru yang menyampaikan pribadi tertentu, misalnya kreativitas.
Peritel global juga harus menyadari bahwa pada mass market, mereka menghadapi pesaing local yang lebih kuat dibandingkan pada high end market. Selain Itu, cost advantage dari pemain lokal dan kemampuan mereka mempelajari layout dan praktik promosi dari peritel global juga salah satu tantangan tersendiri. Alternatif pendekatan yang dilakukan peritel multinasional seperti Zara, yang berusaha mengidentifikasi konsumen yang bersedia membayar lebih untuk fashion terbaru. Dengan menciptakan outlet yang berbiaya rendah namun trendy di mall maupun pusat perbelanjaan, maka peritel dapat menarik baik konsumen mass market dengan taste premium maupun pasar high end yang suka bargain. Strategi ini sangat menjanjikan seiring dengan berkembangnya mass market di Cina.
(Rinella Putri/AA/TML)