(Business Lounge – Technology) Dalam peta teknologi global saat ini, hanya ada dua perusahaan yang berdiri berdampingan di puncak revolusi kecerdasan buatan, Microsoft dan Nvidia. Keduanya kini menjadi anggota eksklusif klub perusahaan bernilai lebih dari $4 triliun, bersama Apple. Namun di balik kesuksesan itu, terdapat dinamika yang tidak biasa—dan bahkan, bagi sebagian analis, paradoksal.
Laporan The Wall Street Journal baru-baru ini menggambarkan Microsoft dan Nvidia sebagai “power couple” teknologi yang aneh. Keduanya berada dalam simbiosis yang saling memperkuat, namun juga memiliki potensi ketegangan yang melekat. Nvidia menyediakan perangkat keras paling penting dalam revolusi AI—unit pemrosesan grafis (GPU)—sementara Microsoft adalah pengguna dan distributor utama kekuatan komputasi tersebut lewat layanan cloud Azure, produk konsumen, dan investasi strategis seperti OpenAI.
Kebangkitan Nvidia dari perusahaan spesialis kartu grafis game menjadi tulang punggung infrastruktur AI dunia tidak lepas dari naiknya permintaan akan pelatihan dan inferensi model bahasa besar (LLM) seperti GPT-4, Claude, dan Gemini. Dan hampir seluruh pelatihan itu menggunakan GPU Nvidia, terutama H100 dan sekarang B200. Di sisi lain, Microsoft bukan hanya pengguna chip Nvidia—mereka juga menjadi perantara utama yang menjual atau menyewakan kekuatan AI ini ke perusahaan-perusahaan lain lewat Azure AI, Copilot, dan berbagai API berbasis model OpenAI.
Namun, seiring kapitalisasi pasar keduanya menembus angka $4 triliun, para analis mulai mempertanyakan: siapa sebenarnya yang memiliki posisi lebih kuat ke depan? Nvidia dengan keunggulan hardwarenya yang masih tak tertandingi? Atau Microsoft dengan posisinya yang dominan di cloud dan integrasi produk enterprise?
Menurut WSJ, Nvidia kini tampak sebagai pihak yang berada di kursi pengemudi. Margin keuntungan perusahaan chip ini terus meningkat, dengan pertumbuhan pendapatan kuartalan mencapai tiga digit berkat pesanan yang membludak dari semua pemain AI, termasuk Microsoft, Amazon, Google, Meta, dan startup seperti OpenAI atau xAI milik Elon Musk.
Sebaliknya, Microsoft, meskipun pendapatannya dari cloud AI juga meningkat, harus menghadapi tekanan biaya tinggi untuk membangun dan mengoperasikan pusat data. Tak hanya itu, Microsoft juga mengambil risiko yang jauh lebih besar dengan menanamkan AI ke dalam semua produk konsumen dan korporatnya, dari Windows hingga Office, yang belum semuanya menunjukkan monetisasi langsung.
Di mata investor, relasi ini menghasilkan kontras yang mencolok. Nvidia menjual alat pancing, Microsoft berharap menangkap ikan. Nvidia menerima pembayaran di muka dalam bentuk pembelian GPU. Microsoft mengandalkan skema langganan jangka panjang dan peningkatan produktivitas untuk mendapat imbal hasil.
Sejumlah analis yang dikutip Bloomberg menyebut Microsoft sebagai “pendukung utama” revolusi AI, tetapi Nvidia adalah “penjual senjata” dalam perang AI. Dengan metafora itu, posisi Nvidia lebih aman secara finansial. Mereka tidak bertaruh pada hasil akhir dari model tertentu—selama semua pihak terus membangun dan melatih AI, mereka akan terus mendapat untung.
Namun, bukan berarti Microsoft dalam posisi lemah. Justru karena mereka adalah salah satu pembeli GPU terbesar di dunia, mereka punya pengaruh besar dalam menentukan arah inovasi dan pengembangan perangkat keras. Lebih dari itu, hubungan Microsoft dengan OpenAI memberi mereka akses eksklusif terhadap teknologi frontier yang sulit ditandingi oleh pesaing cloud lainnya.
Tetapi ada paradoks yang tidak bisa diabaikan. Microsoft telah menghabiskan miliaran dolar untuk mendanai OpenAI dan memperluas pusat data Azure yang dilengkapi dengan GPU Nvidia. Namun, OpenAI—yang teknologinya mereka bantu kembangkan—belakangan mulai menjual produknya secara langsung ke konsumen dan perusahaan, kadang lewat platform yang tidak sepenuhnya menguntungkan Microsoft.
Misalnya, jika sebuah perusahaan menggunakan ChatGPT Enterprise dari OpenAI langsung, bukan melalui Azure, maka Microsoft tidak mendapat margin cloud, walaupun mungkin tetap mendapat manfaat dari peningkatan permintaan GPU.
Hubungan ini menempatkan Microsoft dalam posisi yang semakin kompleks. Di satu sisi, mereka harus terus membeli chip dari Nvidia agar tidak tertinggal dari Google Cloud dan AWS. Di sisi lain, mereka harus bersaing dengan mitra strategis sendiri dalam menawarkan layanan AI. Bahkan produk internal mereka seperti Copilot harus bersaing dengan Claude atau Perplexity di pasar pengguna bisnis.
Sebaliknya, Nvidia bisa menikmati posisi netral yang menguntungkan. Mereka menjual chip ke semua pihak, tanpa harus mengambil risiko menciptakan layanan konsumen atau bisnis sendiri. CEO Nvidia Jensen Huang bahkan menegaskan bahwa perusahaannya tidak berniat menjadi penyedia layanan cloud atau model AI langsung, melainkan fokus sebagai penyedia platform.
Namun, ketergantungan Nvidia pada segelintir pembeli besar juga menjadi risiko. Sekitar 40 persen pendapatan Nvidia berasal dari lima pelanggan terbesar, termasuk Microsoft. Jika suatu saat Microsoft memutuskan untuk membangun chip AI sendiri—seperti proyek Athena yang mereka kembangkan secara internal—ketergantungan Nvidia bisa mulai terancam.
Microsoft memang tengah mengembangkan chip AI custom sebagai bagian dari strategi jangka panjang mengurangi ketergantungan pada Nvidia. Namun, sejauh ini, belum ada indikasi bahwa mereka bisa menyaingi performa GPU Nvidia di bidang pelatihan model skala besar.
Bagi investor, pasangan senilai $4 triliun ini menawarkan dua pendekatan yang sangat berbeda terhadap pasar AI. Nvidia menjanjikan pertumbuhan jangka pendek yang luar biasa, dengan profitabilitas tinggi dan jalur pendapatan yang jelas. Microsoft menjanjikan ekosistem jangka panjang, dengan monetisasi yang lebih lambat, tetapi potensi jaringan produk yang sangat luas dan melekat di kehidupan kerja sehari-hari.
Pertanyaannya adalah: siapa yang akan lebih dominan dalam lima tahun ke depan?
Sebagian pengamat, seperti yang dikutip oleh The Information, percaya bahwa dominasi Nvidia saat ini bisa melemah jika pasar mulai jenuh dengan hardware dan perusahaan mulai mencari efisiensi dari apa yang telah dibeli. Ketika banyak model AI sudah cukup kuat dan tidak lagi memerlukan pelatihan besar, permintaan GPU bisa menurun, dan Nvidia perlu mencari pasar baru seperti inferensi edge, kendaraan otonom, atau robotik.
Microsoft, sebaliknya, bisa mendapat keuntungan jangka panjang dari integrasi AI ke dalam Office, Teams, Dynamics, dan layanan enterprise lainnya. Namun hanya jika mereka bisa meyakinkan perusahaan bahwa produktivitas yang dijanjikan oleh Copilot benar-benar terwujud dalam bentuk penghematan atau pendapatan baru.
Saat ini, pasar tampaknya percaya pada keduanya. Kapitalisasi pasar Microsoft dan Nvidia terus menanjak, mencerminkan optimisme terhadap masa depan AI. Tetapi jika satu pihak tersandung—misalnya jika adopsi produk AI Microsoft melambat atau margin Nvidia turun drastis karena kompetisi—maka hubungan simbiosis ini bisa berubah menjadi dilema strategis.
Sebagai “power couple” teknologi, Microsoft dan Nvidia menunjukkan bahwa kekuatan AI bukan hanya soal inovasi teknis, tetapi juga tentang siapa mengendalikan rantai pasok, siapa punya akses ke pelanggan, dan siapa yang mampu mengubah investasi besar menjadi keunggulan struktural.
Di era ketika chip dan model AI menjadi sumber daya paling bernilai di dunia teknologi, pasangan ini akan terus menjadi pusat gravitasi. Tetapi seperti banyak pasangan kuat lainnya, kekuatan mereka juga menyimpan potensi konflik.
Dan dalam dunia bisnis senilai triliunan dolar, konflik kecil bisa berarti pergeseran besar.