(Business Lounge Journal – Art)
BL: Business Lounge Journal
ND: Nin Djani
BL: Dapatkah Anda menceritakan sedikit tentang latar belakang Anda dan profesi yang sedang Anda jalani saat ini?*
ND: Saya bekerja sebagai kurator seni rupa dan kru film – kedua profesi ini sudah saya jalani selama kurang lebih lima tahun secara purna waktu (full time) walaupun sistem kerjanya cukup fleksibel.
Sebagai kurator, pekerjaan utama saya adalah melakukan riset dan presentasi seni (baik dalam bentuk pameran, workshop, atau program residensi). Jadi banyak berinteraksi dengan seniman, manajer seni/galeri, art handlers, dan publik. Untuk pekerjaan kuratorial ini, saya tergabung dalam sebuah inisiatif kuratorial bernama ARCOLABS yang berfokus pada seni kontemporer dan media baru di Asia Tenggara.
Lalu sebagai kru film, saya bekerja di HOWDIY, sebuah production house yang saya gagas bersama teman-teman pada 2017. Sejauh ini, dengan kapasitas tim kami, fokus usaha HOWDIY berada pada produksi konten digital/iklan meliputi kegiatan shooting dan pembuatan motion/animasi.
*profil profesional saya terlampir di akhir wawancara ini.
BL: Apa yang menjadi rencana Anda pada awal tahun ini, sebelum pandemi ini terjadi? Adakah schedule yang sudah Anda susun?
ND: Di luar proyek-proyek komisi, ARCOLABS memiliki beberapa kegiatan tahunan yaitu program inkubasi dan residensi seniman yang mengundang sejumlah seniman muda untuk melakukan riset dan eksperimen seni menggunakan media baru. Lalu ada juga program pertukaran residensi seniman yang mengirim seniman Indonesia ke Korea dan seniman Korea ke Indonesia untuk melakukan riset dan berkarya. Selain program-program ini, di akhir tahun biasanya kami menyelenggarakan satu pameran besar yang menampilkan hasil riset kuratorial kami selama satu tahun ke belakang.
Tahun ini rencananya kami akan melakukan program inkubasi ini pada Juni/Juli sedangkan untuk pamerannya akan diselenggarakan pada November 2020. Tetapi mengingat kondisi yang tidak memungkinkan untuk riset dan pameran, semuanya diundur hingga 2021.
Saya juga ada rencana riset ke Singapura pada bulan September, hingga saat ini (Mei 2020) rencana ini belum dibatalkan tetapi sejujurnya saya tidak yakin perjalanan bisa dilakukan karena sangat mungkin akan ada travel ban dari/ke Indonesia kalau situasi semakin tidak terkendali.
Selain itu, tentunya sudah ada jadwal kegiatan shooting yang akan dilakukan. Bahkan, sebelum PSBB ditetapkan di Jakarta pada pertengahan Maret, sebetulnya kami ada jadwal shooting – tetapi dua hari sebelum shooting akhirnya proyek ini dibatalkan mengingat shooting besar akan tetap melibatkan banyak kru dan pemain sehingga walaupun ada protokol kesehatan yang dilakukan, risiko persebaran virus tetap tinggi.
BL: Bagaimana pandemi ini memengaruhi rencana Anda?
ND: Hampir semua program pameran dan riset telah diundur hingga akhir 2021. Kegiatan meeting juga sudah diganti ke pertemuan-pertemuan virtual. Sebagai gantinya kami sekarang berusaha meramu konten-konten digital/program online – belum tahu programnya akan berbentuk apa, karena banyak sekali kegiatan online yang telah dilakukan institusi lain dan kami tidak bermaksud untuk membuat sebuah program yang overwhelming juga.
Berhubung kegiatan shooting dihentikan sampai waktu yang tidak ditentukan, jujur kondisi ini sangat memberatkan kami. Sejauh ini ada proyek kecil-kecilan untuk motion/animasi/post-pro tetapi tentunya tidak sebanyak yang diharapkan untuk bisa menghasilkan profit. Lalu, kami juga masih melakukan pitching proyek ke sana-sini sambil terus mengulik cara shooting virtual yang bisa dilakukan.
BL: Bagaimana Anda memenuhi kebutuhan Anda sehari-hari dalam situasi pandemi?
ND: Saya benar-benar menekan pengeluaran, jadi saat banyak orang jadi belanja online saya menahan diri untuk ‘kalap’ dan hanya membeli barang yang betul-betul diperlukan. Saya juga memasak sendiri, jadi menghemat biaya pesan-antar. Saya beruntung masih ada pemasukan dari pekerjaan sampingan sebagai social media admin/content creator, yang walau jumlahnya tidak besar tetapi di masa seperti ini sangat membantu untuk membayar tagihan dan memenuhi kebutuhan sehari-hari seperti belanja makanan dan sabun-sabun pembersih.
Saya juga perlu mengakui, saya punya privilege dengan masih tinggal bersama orangtua sehingga saya tidak perlu mengkhawatirkan soal biaya sewa rumah dan pengeluaran-pengeluaran lain. Tetapi saya tahu, banyak rekan-rekan di industri kreatif yang tidak memiliki keistimewaan ini.
BL: Dapatkah Anda jelaskan, bagaimana pandemi ini memengaruhi kehidupan sehari-hari Anda?
ND: Pendapatan sebagai kurator dan kru film banyak yang sifatnya adalah project fee – jadi besaran dan frekuensinya memang tidak menentu, tetapi dalam kondisi ‘normal’ sebelum pandemi dengan proyek yang rutin, saya bisa hidup layak (memenuhi pembayaran tagihan, ada alokasi untuk hal-hal tersier/entertainment, ada yang bisa ditabung).
Dalam kondisi pandemi, praktis pendapatan saya menurun drastis dan ini berarti gaya hidup harus langsung disesuaikan (tidak bisa terlalu sering belanja online/pesan gofood) karena walau ada beberapa biaya yang tentunya akan berkurang – seperti biaya transportasi – tetapi biaya pulsa/kuota/listrik sudah pasti akan naik. Sampai dengan saat ini, dengan pendapatan dari pekerjaan sampingan dan tabungan dana darurat, saya masih bisa hidup nyaman tetapi saya sangat khawatir kalau kondisi pandemi benar-benar memburuk dan semua proyek ditunda/batal. Dengan dana darurat yang saya miliki, saya masih bisa bertahan hingga kira-kira 5-6 bulan ke depan (ini lagi-lagi, adalah sebuah privilege yang tidak dimiliki oleh banyak orang di industri seni), tetapi tentu kalau pandemi ini tidak berakhir dan frekuensi proyek tidak bertambah ya berarti bisa sekali saya akan benar-benar bangkrut.
On a lighter note, sejak di rumah saja, saya bisa lebih santai dan banyak istirahat. Ada sebuah anggapan yang keliru kalau pekerja kreatif/seni itu “santai” dan bisa “malas-malasan” karena sebenarnya seperti banyak pekerjaan lainnya, kami juga bisa mengerjakan beberapa proyek sekaligus, dikejar deadline dan revisi, dan berhadapan dengan klien/pihak-pihak yang demanding dan challenging. Sekarang berhubung semua hal cenderung berjalan lebih lambat karena sekarang semua orang (berusaha) bekerja dari rumah, saya menemukan lagi waktu untuk membaca buku, memasak, nonton film, dan belajar hal-hal baru. Saya jadi lebih sering berbagi di media sosial dan lagi senang-senangnya membuat video memasak hahaha!
Di awal karantina, saya merasa perlu untuk menjalani karantina ini secara ambisius. Saya pikir, inilah saatnya saya menulis buku, mengerjakan proyek personal yang sempat terbengkalai, belajar bahasa asing, menonton film-film berkualitas… the list goes on. Toh, saya sudah biasa kerja dari rumah dan sebagai introvert, jadi harusnya ini bisa menjadi waktu saya untuk berkembang. Tetapi rupanya, ya berbeda sekali ya bekerja di rumah dalam kondisi normal dan berusaha produktif di tengah pandemi. Saya menyadari, mungkin saat ini prioritas yang jauh lebih penting dari menjadi produktif adalah menjadi sehat baik secara fisik dan mental. Jadi, saya berusaha untuk lebih gentle/sabar menghadapi diri sendiri dan orang-orang saja untuk menerima bahwa tidak semua hari harus diisi dengan hal-hal produktif dan ambisius.
BL: Bagaimana juga pandemi ini memengaruhi pekerja seni seperti Anda?
ND: Penundaan dan pembatalan sejumlah proyek sudah tentu membuat stress. Setiap pekerja seni merespon pandemi ini dengan cara-cara yang berbeda, yang menurut saya semuanya juga valid. Secara umum, saya yakin banyak pekerja seni yang terpengaruh secara finansial dan mental akibat pandemi ini. Saya melihat ada yang jadi buka usaha sampingan (biasanya katering/masak, ada juga yang jadi jualan hand sanitizer/aromatherapy, dll), ada juga yang bikin sesi-sesi sharing di media sosial masing-masing atau menulis dan menyebarkan newsletter berisi catatan personal sebagai upaya agar tetap ‘waras’.
Secara personal, saya merasakan ada sebuah ‘intimacy’ yang diperlihatkan para pekerja seni lewat media sosial mereka. Dengan banyaknya live-session Instagram, misalnya saya/kita audiens bisa melihat ruang-ruang personal para seniman, mendengar proses berkarya mereka, melihat respon mereka terhadap pandemi. Saya tentu mengagumi mereka yang masih produktif tetap berkarya, menyiapkan pameran dan mendokumentasikan proses ini di media sosial mereka. Tetapi saya juga menghargai, ‘menikmati’, dan merasa relate mendengar curhatan-curhatan para pekerja seni yang mengaku tidak bisa ngapa-ngapain karena pandemi, merasa bosan di rumah, dan kebingungan harus cari uang dari mana.
Saya juga sangat mengapresiasi kreativitas dan generosity dari para pekerja seni yang berinisiatif untuk berkontribusi menyumbangkan APD (beberapa seniman di Jakarta dan Bandung membuat face shield yang kemudian dikirim ke rumah sakit-rumah sakit); merancang dan menjual masker kain sendiri (tentu ada unsur ekonomi juga di sini, tetapi kerelaan mereka untuk meluangkan waktu merancang dan menjahit masker-masker perlu dihargai); membagikan konten gratis dan berbagi ilmu di kanal-kanal online lewat virtual seminar dan workshop; bahkan mengorganisir platform untuk berbagi dengan sesama pekerja industri yang kurang beruntung karena pandemi. Menurut saya, ini menunjukkan solidaritas dan independensi dari para pekerja seni kepada sesama dan sebagai anggota masyarakat secara luas. Kontribusi pekerja seni dalam pandemi ini memang tidak akan sebesar para tenaga medis, tetapi sungguh melegakan melihat para pekerja seni/kreatif bisa tetap membantu dalam kapasitas yang kami miliki dalam menghadapi situasi ini. Sungguh melegakan melihat masih ada lebih banyak pekerja seni yang berusaha berkontribusi daripada segelintir figur industri seni yang justru menyepelekan kondisi.
Tetapi jujur saya tidak tahu seberapa lama ini bisa bertahan. Saya rasa dalam jangka panjang, kalau kondisi memburuk, krisis ekonomi akibat pandemi ini bisa betul-betul mempengaruhi para pekerja seni dan industri kreatif yang sayangnya, secara umum tidak termasuk ke dalam industri esensial.
BL: Apa proyek yang Anda persiapkan setelah pandemi ini?
ND: Bersama dengan ARCOLABS, saya tengah mempersiapkan sebuah riset dan pameran seni media yang berkaitan dengan instalasi multi-sensori sehingga bisa dinikmati oleh semua kalangan termasuk orang-orang dengan disabilitas. Ini adalah proyek yang tadinya kami rencanakan untuk akhir tahun 2020, tetapi dengan diundurnya proyek ini, sepertinya kami jadi punya lebih banyak waktu untuk mempersiapkan pameran ini supaya lebih maksimal dan inklusif lagi.
Selain itu saya juga sedang membantu seorang seniman untuk melakukan pameran tunggal di akhir tahun 2021.


BL: Apa yang paling Anda rindukan selama periode #stayathome ini?
ND: Jujur saya kangen sekali dengan tukang pijat hahahaha! Setelah umur 25, bekerja di industri seni yang tidak pernah tidur ini membuat badan rentan sekali kena masuk angin jadi saya sering panggil tukang pijat untuk mengeluarkan angin. Selain itu saya juga rindu dengan dokter gigi – karena kebiasaan sejak kecil, saya termasuk orang-orang yang rutin ke dokter gigi untuk cek dan cleaning (yang tentunya tidak termasuk ke dalam daftar pasien emergency yang diperbolehkan menemui dokter gigi).
Di luar dua sosok esensial itu, saya rindu sekali jalan-jalan tanpa tujuan naik MRT/busway ke tempat-tempat di daerah pusat/Kota untuk makan-makan. Mudah-mudahan setelah pandemi berakhir dan keadaan lebih kondusif, kegiatan rekreasional ini bisa dilakukan kembali.
Nin Djani (b. 1992) is a Jakarta-based Indonesian curator, writer, and editor. She entered the art scene in 2015 when she worked as a communications manager at Suar Artspace, an alternative art space dedicated to Indonesian young, emerging artists. Since then she has worked as an independent curator in numerous art projects relating to interdisciplinary subjects, cultural exchange, science and technology. She holds an MA in Southeast Asian Studies from Universiteit Leiden and a BA in Media and Communications from Goldsmiths, University of London. Nin joins ARCOLABS in 2017 as a curator while maintaining her position at HOWDIY, a production company focusing on digital content, as a Creative Development Director where she helps develop narrative and visual storytelling for digital commercials.
Michael Judah Sumbayak adalah pengajar di Vibiz LearningCenter (VbLC) untuk entrepreneurship dan branding. Seorang penggemar jas dan kopi hitam. Follow instagram nya di @michaeljudahsumbek