ChatGPT

Clorox Temukan Inspirasi Baru Lewat ChatGPT

(Business Lounge – Technology) Di tengah ledakan penggunaan teknologi kecerdasan buatan generatif di sektor korporasi, raksasa barang konsumsi Clorox Co. justru menemukan peluang tak terduga dari rasa saus baru Hidden Valley Ranch hingga ide-ide riset dan pengembangan (R&D) yang sempat terabaikan. Dalam laporan eksklusif yang diterbitkan oleh The Wall Street Journal, Clorox mengungkap bagaimana eksperimen internal dengan teknologi AI seperti ChatGPT membuka ruang kolaborasi kreatif antar karyawan, sekaligus mempercepat siklus inovasi produk.

Clorox, perusahaan yang dikenal luas karena merek-merek seperti Clorox bleach, Pine-Sol, Burt’s Bees, dan Hidden Valley Ranch, awalnya mendekati AI generatif dengan hati-hati. Namun dalam setahun terakhir, terjadi perubahan paradigma di dalam perusahaan. Teknologi seperti ChatGPT mulai digunakan oleh tim riset, pemasaran, dan bahkan customer insight untuk mempercepat brainstorming, menulis konten, dan menghasilkan prediksi pasar berbasis data historis dan sintesis semantik.

Menurut laporan The Wall Street Journal, Clorox membentuk “AI community of practice” yang melibatkan sekitar 250 karyawan dari berbagai divisi untuk bereksperimen menggunakan AI generatif secara sukarela. Mereka diberi kebebasan mencoba ChatGPT, Claude, dan berbagai model AI lainnya dalam pekerjaan harian mereka — dengan pengawasan etis dan protokol keamanan data yang ketat.

Dari inisiatif ini, Clorox menemukan bahwa alat AI bukan hanya mempercepat pekerjaan, tetapi juga membuka pintu bagi eksplorasi yang sebelumnya tertahan oleh batasan birokrasi atau ide konvensional. Salah satu contohnya muncul ketika tim Hidden Valley Ranch — merek saus salad ikonik milik Clorox — menggunakan ChatGPT untuk mengeksplorasi profil rasa dan skenario konsumen baru. AI memberikan saran yang tidak biasa namun menarik, seperti “rasa ranch dengan infusi jalapeño dan madu untuk generasi Z.”

“AI membuka cara berpikir yang benar-benar berbeda,” kata Josh Green, VP bidang teknologi digital Clorox, sebagaimana dikutip The Wall Street Journal. “Kami tidak menganggapnya sebagai pengganti kreativitas manusia, melainkan sebagai amplifier-nya.”

Namun, eksperimen dengan AI tentu tidak lepas dari kekonyolan. Beberapa ide yang dihasilkan ChatGPT terbukti kurang masuk akal atau menyesatkan, termasuk ketika sistem menyarankan produk “bleachless bleach” — sebuah paradoks yang tentu saja bertentangan dengan esensi produk Clorox. Meski ide tersebut tidak diambil serius, Clorox menganggapnya sebagai bagian dari proses eksplorasi.

Alih-alih menertawakan hasil-hasil ganjil tersebut, perusahaan justru menjadikannya sebagai bahan pembelajaran. “Ide-ide buruk itu adalah bagian dari kreativitas. Tidak semua proposal manusia juga masuk akal, jadi mengapa kita harus mengharapkan AI sempurna?” ujar satu eksekutif di bidang inovasi Clorox.

Seiring meningkatnya pemanfaatan AI, Clorox mulai menata pendekatan yang lebih terstruktur. Perusahaan kini melatih model AI untuk memahami karakteristik unik merek mereka, memperkaya input dengan data internal dan feedback pelanggan, serta menyaring output AI melalui tim editor manusia. Tujuannya adalah menciptakan human-in-the-loop AI, di mana manusia dan mesin berkolaborasi erat dalam proses pengambilan keputusan.

Salah satu aplikasi nyata adalah dalam analisis data konsumen. Tim pemasaran menggunakan ChatGPT untuk mensintesis ribuan umpan balik pelanggan dari media sosial dan survei konsumen menjadi pola-pola emosional dan naratif. Hasilnya, tim dapat mengidentifikasi tema-tema yang sebelumnya tidak terlihat dalam laporan statistik biasa, seperti “kecemasan ibu rumah tangga saat menggunakan pemutih” atau “nostalgia generasi milenial terhadap saus ranch masa kecil.”

Dalam konteks R&D, AI digunakan untuk meninjau ribuan jurnal ilmiah dan paten dengan lebih cepat dibandingkan metode konvensional. Dengan kemampuan pemrosesan bahasa alami, model AI dapat menemukan kombinasi bahan aktif atau aroma yang memiliki korelasi namun belum pernah diuji secara empiris.

Sebagai contoh, AI menyarankan kemungkinan sinergi antara ekstrak jeruk nipis dan minyak kayu putih sebagai pembersih alami beraroma segar. Ide ini sempat diabaikan sebelumnya karena dianggap tidak relevan, namun setelah diuji dalam eksperimen lab kecil, ternyata menunjukkan hasil yang menjanjikan dalam efektivitas pembersihan serta kepuasan aroma pada konsumen.

Clorox juga menggunakan AI untuk mempercepat penulisan deskripsi produk, FAQ, hingga tanggapan customer service. Tim konten digital menyebutkan bahwa waktu yang dibutuhkan untuk menyusun teks deskripsi produk bisa berkurang dari dua minggu menjadi dua hari. “Kami tetap menyunting setiap hasil, tapi fondasi awalnya bisa 80 persen dibantu oleh AI,” kata salah satu anggota tim konten.

Namun, kesuksesan ini tidak terjadi begitu saja. Clorox menjalankan pelatihan internal untuk seluruh karyawan yang ingin menggunakan AI, termasuk pelatihan etika, keamanan data, serta prinsip prompt engineering dasar. Hal ini dilakukan untuk menghindari kebocoran informasi rahasia, penyalahgunaan alat, atau ketergantungan buta terhadap hasil AI.

Langkah preventif ini penting, terutama karena AI generatif masih rawan menciptakan “halusinasi” atau fakta palsu. Dalam satu kasus internal, ChatGPT sempat memberikan data nutrisi yang tidak akurat untuk salah satu produk Clorox, yang nyaris digunakan dalam presentasi eksternal sebelum diverifikasi.

“Kami tidak bisa memperlakukan AI seperti mesin pencari biasa. Ini alat sintesis, bukan sumber kebenaran absolut,” tegas Green. Oleh karena itu, Clorox tidak hanya mendorong pemanfaatan AI, tetapi juga literasi digital yang lebih mendalam.

Dari sisi kepemimpinan, para eksekutif Clorox melihat AI generatif bukan sebagai ancaman, melainkan sebagai katalis transformasi budaya kerja. Mereka menilai teknologi ini memperluas kapasitas tim kecil, memunculkan ide lintas fungsi, dan membentuk ekosistem kerja yang lebih adaptif.

“Bayangkan Anda punya rekan kerja imajiner yang bisa Anda ajak diskusi ide, menulis memo, atau membuat ringkasan hasil penelitian — dalam hitungan menit. Itulah ChatGPT bagi kami,” ujar salah satu manajer produk.

Namun, perubahan ini juga menuntut tata kelola baru. Clorox kini mempertimbangkan pembentukan tim audit AI internal, yang bertugas meninjau penggunaan alat generatif secara berkala. Mereka juga berencana mengintegrasikan sistem log aktivitas dan pengawasan berbasis prinsip AI governance seperti yang direkomendasikan oleh lembaga seperti OECD dan World Economic Forum.

Dengan adopsi yang semakin luas, Clorox melihat AI generatif bukan sebagai proyek teknologi semata, tetapi sebagai bagian dari strategi perusahaan secara keseluruhan. Mereka menargetkan bahwa dalam dua tahun ke depan, sebagian besar divisi bisnis akan memiliki kemampuan dasar untuk bekerja bersama alat AI secara efisien dan bertanggung jawab.

Laporan The Wall Street Journal mencatat bahwa Clorox bukan satu-satunya perusahaan konsumer goods yang tertarik dengan teknologi ini. Rival mereka seperti Procter & Gamble dan Unilever juga telah menjalankan eksperimen serupa. Namun yang membedakan Clorox adalah keterbukaan mereka terhadap trial-and-error dan kesiapan untuk merangkul kegagalan sebagai bagian dari inovasi.

Melalui Hidden Valley Ranch — produk saus salad yang telah bertransformasi menjadi ikon budaya populer — Clorox kini menemukan jalur baru untuk memperluas relevansi merek di era digital. Mereka bahkan mempertimbangkan penggunaan AI untuk membuat kampanye kreatif yang menyesuaikan narasi dengan audiens spesifik, sesuatu yang dulunya membutuhkan waktu dan biaya besar.

Dengan semua langkah ini, Clorox membuktikan bahwa perusahaan dengan akar konvensional pun bisa bertransformasi lewat teknologi paling mutakhir. Bagi perusahaan yang awalnya dikenal karena pemutih rumah tangga, kini mereka menjadi contoh bagaimana AI generatif dapat mengubah cara orang berpikir, bekerja, dan menciptakan.