Roche

Roche Hentikan Sementara Penggunaan Elevidys Setelah Dua Kematian Akibat Gagal Hati

(Business Lounge – Medicine) Roche dan mitranya, Sarepta Therapeutics, telah menghentikan sementara seluruh distribusi komersial dan penggunaan klinis Elevidys pada pasien non-ambulasi setelah dua laporan kematian akibat gagal hati akut. Elevidys, yang merupakan terapi gen sekali suntik berbasis vektor AAV untuk mengobati Duchenne Muscular Dystrophy (DMD), sebelumnya telah mendapatkan persetujuan regulator di Amerika Serikat dan beberapa negara lain untuk digunakan pada anak-anak penderita DMD yang masih dapat berjalan. Namun, penggunaannya secara eksperimental pada pasien non-ambulasi kini menjadi pusat perhatian setelah efek samping fatal teridentifikasi.

Duchenne Muscular Dystrophy adalah penyakit genetik langka yang menyebabkan kelemahan otot progresif dan umumnya menyerang anak laki-laki. Elevidys dirancang untuk mengirimkan versi mini dari gen distrofin yang rusak pada penderita DMD, menggunakan virus AAV sebagai pengangkut. Terapi ini sebelumnya dipuji sebagai terobosan besar, karena hanya memerlukan satu kali suntikan dengan potensi memberikan perbaikan fungsi otot secara signifikan.

Namun sejak Maret 2025, dua kasus gagal hati akut telah dilaporkan dari kelompok pasien non-ambulasi yang menerima Elevidys, dan keduanya berujung pada kematian. Kematian kedua, yang dilaporkan pada awal Juni, mendorong Sarepta dan Roche untuk secara sukarela menghentikan seluruh aktivitas pemberian dosis baru pada uji klinis dan mendistribusikan ulang kebijakan penggunaan komersialnya.

Dalam pernyataan resmi, perusahaan menjelaskan bahwa terapi tetap tersedia untuk pasien yang masih bisa berjalan—populasi yang telah disetujui regulator dan yang menunjukkan hasil klinis yang menjanjikan. Namun, untuk pasien non-ambulasi, perusahaan kini menyiapkan evaluasi ulang menyeluruh terhadap protokol terapi, termasuk potensi modifikasi pada pendekatan imunosupresif guna mencegah komplikasi serius seperti gagal hati. Tim gabungan Roche dan Sarepta kini bekerja sama dengan regulator, termasuk FDA, untuk membentuk kerangka mitigasi risiko baru yang lebih ketat.

Kedua perusahaan juga telah membentuk panel independen yang terdiri dari ahli hepatologi dan spesialis DMD untuk mengevaluasi insiden ini secara mendalam. Salah satu fokus utama evaluasi adalah dugaan bahwa respons imun terhadap vektor AAV yang digunakan dalam terapi dapat memicu kerusakan hati pada pasien dengan kondisi otot yang sudah sangat melemah. Strategi baru yang diusulkan termasuk pemberian kombinasi obat imunosupresif seperti sirolimus dan steroid sebelum dan sesudah pemberian terapi gen, dengan tujuan menekan reaksi imun tubuh terhadap vektor virus tersebut.

Secara finansial, dampaknya cukup signifikan. Harga saham Sarepta Therapeutics merosot lebih dari 40 persen dalam satu hari perdagangan setelah berita ini mencuat, mencerminkan kekhawatiran besar investor terhadap kelanjutan produk unggulan ini. Saham Roche juga terkoreksi meskipun dalam skala lebih moderat. Pendapatan dari Elevidys telah mencapai lebih dari 800 juta dolar AS sepanjang tahun 2024, dengan harga satu dosis mencapai 3,2 juta dolar AS per pasien. Penundaan ini secara langsung memaksa Sarepta untuk menarik kembali panduan pendapatan tahun 2025, sementara banyak analis menilai bahwa jalur komersialisasi terapi gen bisa terhambat dalam waktu yang cukup lama.

Terlepas dari insiden ini, penggunaan Elevidys pada populasi pasien ambulasi tetap berjalan. Hasil uji klinis sebelumnya menunjukkan adanya peningkatan fungsi motorik, dan regulator tetap menyetujui bahwa manfaat terapi ini melebihi risikonya untuk kelompok tersebut. Namun insiden fatal ini menjadi pengingat serius bahwa teknologi terapi gen, betapapun menjanjikannya, masih berada pada fase eksplorasi dan membutuhkan pemantauan keamanan yang sangat ketat.

Insiden ini juga menyoroti tantangan besar dalam dunia terapi gen: perbedaan respons fisiologis antara pasien yang memiliki stadium penyakit berbeda. Dalam kasus DMD, pasien non-ambulasi sering kali memiliki kerusakan organ yang lebih luas, termasuk hati, sehingga rentan terhadap komplikasi saat menerima terapi vektor virus. Hal ini menunjukkan pentingnya strategi personalisasi pengobatan yang tidak hanya berdasarkan diagnosis penyakit, tetapi juga kondisi fungsional dan biologis masing-masing pasien.

Bagi industri terapi gen secara keseluruhan, kasus ini bisa menjadi momen penting untuk meninjau kembali standar keamanan klinis, sistem pelaporan efek samping, serta pendekatan terhadap penggunaan pada kelompok pasien yang lebih rentan. Terapi gen adalah masa depan, tetapi masa depan itu tidak bisa terburu-buru. Perlu ada kehati-hatian, pengawasan ketat, dan penyesuaian protokol yang terus-menerus untuk memastikan bahwa inovasi medis tidak mengorbankan keselamatan manusia.

Roche dan Sarepta kini dihadapkan pada tugas berat: memulihkan kepercayaan publik dan profesional medis terhadap Elevidys, menyusun protokol baru yang aman dan dapat diterima regulator, serta memastikan bahwa seluruh pasien dan keluarga mendapatkan informasi yang transparan. Sementara itu, regulator seperti FDA dan EMA akan meninjau kembali parameter penggunaan terapi gen, bukan hanya berdasarkan data uji klinis awal, tetapi juga dari pembelajaran kasus nyata yang terjadi di lapangan.

Kesimpulannya, kasus ini bukan hanya tentang satu terapi atau satu perusahaan. Ini adalah pengingat bahwa di balik setiap lompatan besar dalam teknologi medis, selalu ada risiko yang perlu dipahami, dikelola, dan jika perlu, dihentikan demi keselamatan pasien. Dunia medis kini menunggu bagaimana Elevidys akan bangkit kembali—dengan pembaruan, transparansi, dan bukti bahwa inovasi sejati juga datang bersama tanggung jawab etis dan ilmiah yang kuat.