(Business Lounge – Automotive) Dalam dunia korporasi Amerika yang terkenal royal terhadap eksekutif papan atas, Tesla kembali mencuri perhatian. Kali ini bukan karena komentar kontroversial Elon Musk atau ambisi barunya di ranah kecerdasan buatan, melainkan karena rekor gaji yang diberikan kepada Chief Financial Officer-nya, Vaibhav Taneja. Menurut laporan tahunan yang diajukan ke regulator dan dikutip oleh Wall Street Journal, paket kompensasi Taneja untuk tahun 2023 tercatat sebesar $139 juta—terbesar sepanjang sejarah untuk jabatan Chief Financial Officer, dan bahkan melampaui gaji tahunan sebagian besar CEO perusahaan besar AS.
Angka tersebut sebagian besar terdiri dari kompensasi berbasis saham yang diberikan dalam bentuk opsi, yang nilainya akan terealisasi hanya jika Tesla mencapai target kinerja tertentu. Namun, nilai totalnya tetap mengundang sorotan tajam dari para analis dan investor institusi, terlebih di tengah periode penuh tekanan bagi perusahaan otomotif dan teknologi global.
Vaibhav Taneja, yang menggantikan posisi Zach Kirkhorn sebagai CFO Tesla pada pertengahan 2023, bukan nama yang akrab di media. Namun di balik layar, ia memegang peran sentral dalam menjaga stabilitas keuangan perusahaan selama masa transisi bisnis yang besar—mulai dari perang harga kendaraan listrik hingga ekspansi ke sektor AI dan robotika. Latar belakangnya sebagai akuntan publik bersertifikat, serta pengalamannya sebelumnya di SolarCity dan PwC, membuatnya menjadi figur keuangan yang dihormati di dalam Tesla meski tak seterkenal CEO-nya.
Namun gaji $139 juta tetap menjadi angka yang sangat luar biasa. Bloomberg mencatat bahwa paket ini jauh melebihi rata-rata gaji CFO perusahaan S&P 500, yang berkisar di angka $5 hingga $15 juta per tahun. Bahkan jika dibandingkan dengan kompensasi CEO raksasa seperti Apple, Microsoft, atau Alphabet, angka Taneja tetap mencolok. Hanya Elon Musk sendiri yang memiliki paket insentif lebih besar, walaupun struktur pembayarannya juga penuh kontroversi.
Tesla menjelaskan dalam dokumennya bahwa kompensasi Taneja dimaksudkan sebagai insentif jangka panjang berbasis kinerja, yang hanya akan bernilai penuh jika kapitalisasi pasar Tesla dan metrik operasional lainnya mencapai tonggak yang telah ditentukan. Dalam konteks ini, angka $139 juta bukanlah uang tunai langsung, tetapi nilai teoritis maksimum dari opsi saham yang diberikan. Namun demikian, tetap saja hal ini menimbulkan pertanyaan tentang tata kelola perusahaan dan prioritas keuangan.
“Pertanyaannya bukan apakah Taneja layak mendapatkan kompensasi yang besar, melainkan apakah struktur insentif ini sejalan dengan kepentingan pemegang saham dalam jangka panjang,” kata Anne Simpson, mantan kepala investasi keberlanjutan di CalPERS, kepada Financial Times. “Kompensasi yang berbasis saham bisa mengarah pada perilaku pengambilan risiko yang berlebihan jika tidak dikendalikan.”
Namun dari perspektif Tesla, pemberian ini dianggap wajar mengingat tantangan besar yang sedang dihadapi perusahaan. Penurunan margin laba karena perang harga kendaraan listrik, tekanan regulasi di Eropa dan China, serta ketidakpastian pasar AS menjadikan peran CFO sangat krusial. Taneja diharapkan mampu menavigasi keuangan Tesla di tengah badai geopolitik, lonjakan biaya logistik, serta kebutuhan investasi besar dalam infrastruktur produksi baru dan pengembangan AI.
Dalam surat kepada pemegang saham, Tesla menyatakan bahwa struktur kompensasi tersebut dirancang untuk “menarik dan mempertahankan talenta luar biasa, serta menyelaraskan kepentingan mereka dengan pertumbuhan nilai perusahaan secara berkelanjutan.” Strategi ini mencerminkan pendekatan kompensasi ekstrem yang telah lama diterapkan Tesla di bawah kepemimpinan Musk. Seperti diketahui, paket kompensasi Musk sendiri pada 2018 bernilai hingga $56 miliar, walau saat ini masih dalam proses hukum.
Sebagian investor mendukung pendekatan ini. “Kita perlu menghargai bahwa orang-orang seperti Taneja bisa saja direkrut perusahaan teknologi lain dengan tawaran luar biasa,” ujar Dan Ives dari Wedbush Securities. “Tesla bukan perusahaan mobil biasa—ini adalah entitas teknologi, energi, dan AI, dan imbalan untuk talenta strategis memang perlu sepadan.”
Namun di sisi lain, kritik tidak dapat dihindarkan. CNBC melaporkan bahwa sejumlah pemegang saham institusi, termasuk manajer dana pensiun dan investor ESG (environmental, social, governance), mempertanyakan prioritas Tesla dalam membagikan insentif besar di saat perusahaan memotong harga jual, memangkas biaya operasional, dan bahkan merumahkan sebagian stafnya.
Selain itu, nilai opsi saham bergantung pada harga saham Tesla yang dalam beberapa bulan terakhir justru mengalami volatilitas tinggi. Meski perusahaan masih bernilai ratusan miliar dolar, kinerja saham Tesla telah melemah sekitar 30% dari puncaknya tahun lalu. Jika tren ini berlanjut, maka sebagian besar dari kompensasi Taneja bisa saja tak bernilai realisasi. Hal ini menyoroti sisi spekulatif dari paket semacam ini.
Terdapat pula pertimbangan budaya organisasi. Tesla selama ini dikenal sebagai tempat kerja dengan ritme tinggi, tekanan besar, dan ekspektasi yang sangat tinggi dari Elon Musk terhadap timnya. Dalam suasana seperti itu, loyalitas dan daya tahan eksekutif kunci menjadi sangat penting. Dengan memberi kompensasi yang sangat besar, Tesla juga mengirimkan sinyal bahwa mereka menghargai dan ingin mempertahankan stabilitas di level atas.
Secara lebih luas, fenomena ini menambah bahan bakar pada debat publik seputar kesenjangan pendapatan eksekutif. Menurut data dari Economic Policy Institute, gaji CEO di AS telah meningkat hampir 1.500% sejak tahun 1978, sementara gaji pekerja rata-rata hanya naik sekitar 18% dalam periode yang sama. Meskipun Tesla tidak membayar gaji besar dalam bentuk tunai, paket berbasis saham seperti ini tetap memperlebar jurang antara elite korporat dan tenaga kerja biasa.
Di tengah semua perdebatan ini, satu hal yang jelas: Tesla tetap menjadi outlier dalam segala hal—dari cara mereka menjual mobil hingga cara mereka menggaji karyawannya. Dan Vaibhav Taneja, CFO yang sebelumnya bekerja di balik layar, kini telah masuk ke panggung utama dengan status sebagai eksekutif keuangan dengan kompensasi tertinggi dalam sejarah.
Apakah ia akan mampu menavigasi Tesla melewati tantangan industri otomotif dan membuktikan bahwa paket kompensasi tersebut memang layak, hanya waktu yang bisa menjawabnya. Namun untuk saat ini, Tesla kembali menunjukkan bahwa dalam urusan kompensasi, mereka tidak mengikuti arus—mereka menciptakan arus itu sendiri.