Fenomena Baru di Kantor: AI Membuat Pekerja Semakin Antisosial (Laporan Microsoft), Management Harus Bertindak!

(Business Lounge Journal – Human Resources)

Kemajuan kecerdasan buatan (AI) tidak hanya mengubah cara kita bekerja, tetapi juga mulai memengaruhi dinamika sosial di lingkungan kantor. Dalam Work Trend Report 2025 terbarunya, Microsoft mengungkapkan bahwa semakin banyak pekerja kantor yang mengandalkan AI — bukan hanya untuk meningkatkan produktivitas, tetapi juga untuk menghindari interaksi sosial dengan rekan kerja.

Microsoft melakukan survei terhadap 31.000 pekerja di 31 negara untuk memahami bagaimana mereka beradaptasi dengan penggunaan AI di tempat kerja. Hasilnya menunjukkan bahwa meskipun banyak yang memanfaatkan AI karena kemampuannya yang unik, tidak sedikit yang menggunakannya sebagai jalan pintas untuk menghindari ketidaknyamanan dalam berinteraksi dengan sesama manusia.

Menghindari Interaksi karena Rasa Malu dan Takut Dinilai

Sebanyak 17% responden mengaku menggunakan AI karena takut dihakimi oleh rekan kerja saat bertanya atau berdiskusi. Mereka merasa bahwa bertanya kepada AI lebih bersifat pribadi dan tidak membuat mereka terlihat kurang kompeten. Selain itu, 16% mengatakan bahwa mereka menggunakan AI untuk menghindari gesekan atau konflik yang bisa timbul saat bekerja sama dengan orang lain.

Sebagian lainnya, sebanyak 15%, menyatakan bahwa menggunakan AI membuat mereka terhindar dari tuntutan berlebihan dari rekan kerja, karena AI mampu membantu tanpa perlu banyak arahan atau “ditemani.” Bahkan 8% responden terang-terangan mengaku memilih menggunakan AI agar bisa mengambil seluruh kredit atas hasil kerja, tanpa perlu berbagi penghargaan dengan rekan satu tim.

Alasan Praktis Masih Dominan

Meskipun motivasi menghindari interaksi sosial cukup mencolok, alasan praktis tetap menjadi pendorong utama penggunaan AI di kantor. Sebanyak 42% pekerja menghargai ketersediaan AI yang bisa diakses 24/7, 30% merasa AI menyelesaikan tugas lebih cepat dibandingkan kemampuan mereka sendiri, dan 28% menyukai kemampuan AI untuk menyediakan aliran ide secara tak terbatas sesuai permintaan.

Transformasi Budaya Kerja: AI Sebagai “Rekan Digital”

Temuan ini muncul seiring dengan langkah besar Microsoft dalam memperluas ekosistem AI di tempat kerja. Melalui peluncuran 365 Copilot Wave 2, Microsoft memperkenalkan AI agents — rekan digital yang dirancang untuk menangani tugas-tugas kompleks dengan kemampuan penalaran yang mendalam. Ini menandai pergeseran visi Microsoft, di mana AI tidak lagi sekadar alat bantu, melainkan menjadi kolaborator aktif dalam kehidupan kerja sehari-hari.

Dalam laporannya, Microsoft menegaskan, “Sebuah cetak biru organisasi baru tengah muncul, memadukan kecerdasan mesin dengan pertimbangan manusia, membangun sistem yang dioperasikan oleh AI namun dipimpin oleh manusia.” Transformasi ini, menurut Microsoft, akan menjadi revolusi besar seperti era Revolusi Industri dan masa awal internet, dan akan membutuhkan waktu puluhan tahun untuk sepenuhnya terwujud, melibatkan perubahan teknologi, sosial, dan ekonomi secara luas.

Refleksi: Menuju Budaya Kerja yang Seimbang di Era AI

Fenomena ini membuka diskusi penting tentang keseimbangan antara kemudahan yang ditawarkan AI dan kebutuhan dasar manusia untuk berinteraksi dan berkolaborasi. Di satu sisi, AI jelas menawarkan solusi yang efisien, cepat, dan dapat diandalkan. Namun di sisi lain, ketergantungan berlebihan pada AI untuk menghindari hubungan interpersonal bisa berdampak pada budaya organisasi, semangat kolaborasi, dan bahkan kreativitas jangka panjang.

Perusahaan perlu mempertimbangkan bagaimana memanfaatkan kekuatan AI tanpa mengorbankan kualitas hubungan antar manusia di tempat kerja. Membangun budaya yang mendorong keterbukaan, rasa aman untuk bertanya, dan kolaborasi yang sehat menjadi semakin penting agar kecanggihan teknologi tetap selaras dengan nilai-nilai kemanusiaan.

Karena itu, bagi tim management, sangat perlu untuk memiliki strategi sehingga para karyawan dapat tetap terhubung secara sosial, sekaligus tetap produktif dengan bantuan AI. Beberapa hal yang dapat dilakukan:

Mendorong Kolaborasi Berbasis Manusia + AI
Manajemen bisa mengarahkan penggunaan AI bukan untuk menggantikan komunikasi antar manusia, tetapi untuk mempermudah kolaborasi. Misalnya:

  • Gunakan AI untuk menyiapkan draft awal, tetapi minta hasil akhirnya tetap melalui diskusi tim.
  • Tunjuk proyek-proyek yang mewajibkan review atau brainstorming lintas departemen, bukan hanya antar individu dengan AI.

Membangun “Ruang Aman” untuk Bertanya dan Belajar
Rasa takut dinilai bodoh adalah salah satu alasan orang lebih memilih bertanya ke AI. Solusinya:

  • Ciptakan budaya kerja di mana bertanya dianggap positif.
  • Lakukan pelatihan atau sesi mentoring rutin, di mana semua level karyawan merasa aman untuk bertanya tanpa takut dihakimi.

Mengadakan Forum Diskusi atau Ideation Session Rutin
Sediakan ruang khusus, misalnya:

  • Weekly sharing session di mana karyawan berbagi ide hasil eksplorasi dengan AI kepada tim.
  • Diskusi kelompok kecil (offline atau online) yang mengharuskan pertukaran ide secara langsung.

Mengintegrasikan AI dalam Kolaborasi Tim
Alih-alih membiarkan AI menjadi “teman kerja pribadi,” jadikan AI alat bersama dalam proyek tim:

  • Contoh: tim sales menggunakan AI untuk analisis pasar bersama-sama, lalu mendiskusikan hasilnya dalam rapat.

Menetapkan Aturan Penggunaan AI secara Etis dan Kolaboratif
Manajemen perlu membuat pedoman etis soal:

  • Kapan boleh menggunakan AI untuk membantu pekerjaan pribadi.
  • Kapan harus mengutamakan konsultasi atau kerja sama dengan rekan kerja.

Memberikan Pelatihan Soft Skill yang Relevan
Selain skill teknis, perusahaan juga perlu memperkuat soft skill karyawan:

  • Komunikasi efektif
  • Kerja sama tim
  • Negosiasi dan empati Pelatihan ini penting supaya AI tetap menjadi alat bantu, bukan pengganti interaksi manusia.

Penting untuk menyadari bahwa pihak management perlu mengarahkan AI untuk memperkuat, bukan menggantikan, kolaborasi antar manusia. AI harus menjadi “asisten kolaboratif”, sementara hubungan antar manusia tetap menjadi inti dari budaya organisasi.