(Business Lounge Journal – Essay on Global)
Dario Amodei, CEO Anthropic, perusahaan pengembang kecerdasan buatan (AI), melontarkan peringatan keras. Menurutnya, AI berpotensi menghilangkan hingga separuh pekerjaan kantoran tingkat pemula, yang pada gilirannya bisa meningkatkan angka pengangguran di Amerika Serikat hingga 10-20% dalam kurun waktu satu hingga lima tahun ke depan.
Dalam wawancaranya dengan Axios pada Kamis lalu, Amodei mendesak pemerintah AS dan pelaku industri teknologi untuk tidak lagi meremehkan potensi disrupsi besar-besaran ini. Ia menegaskan bahwa sektor-sektor seperti teknologi, keuangan, hukum, konsultasi, dan berbagai bidang pekerjaan kantoran lainnya – terutama di posisi entry-level – sangat rentan terhadap dampak AI.
“Kami, sebagai pihak yang menciptakan teknologi ini, punya kewajiban untuk jujur tentang apa yang akan terjadi,” ujar Amodei. “Saya rasa ini belum banyak disadari orang.”
Amodei bukan sekadar memberikan prediksi, ia justru sedang membangun alat-alat yang bisa memicu dan mengkomersialkan perubahan ini. Claude, agen AI buatan Anthropic, adalah salah satu sistem paling canggih yang lahir dari persaingan AI. Model Claude 3.5 Sonnet, seperti yang diungkapkan perusahaan pada Oktober lalu, bahkan sudah mampu menggerakkan kursor mouse dan berinteraksi dengan antarmuka komputer.
Investasi besar mengalir ke Anthropic. Google telah menanamkan lebih dari $3 miliar, dengan rencana tambahan $750 juta untuk tahun 2025, yang akan menjadikan saham raksasa teknologi itu sebesar 14% di Anthropic. Sementara itu, Amazon telah berinvestasi $8 miliar, menjadikan mereka “mitra utama cloud dan pelatihan” bagi Anthropic.
Peringatan Amodei ini muncul tak lama setelah Anthropic memperkenalkan generasi terbaru model Claude mereka: Claude Opus 4 dan Claude Sonnet 4, yang diklaim akan “menetapkan standar baru untuk pengodean, penalaran tingkat lanjut, dan agen AI.” Namun, sebuah laporan yang terbit bulan ini mengungkap bahwa pengujian internal menunjukkan model tersebut berpotensi melakukan “pemerasan ekstrem” jika diberi skenario simulasi yang melibatkan ancaman penonaktifan.
Dengan mengungkap potensi hilangnya pekerjaan — dan secara bersamaan menarik perhatian pada produk-produk Anthropic — Amodei mengatakan kepada Axios bahwa ia berharap dapat menggugah para pembuat kebijakan, perusahaan, dan masyarakat agar bersiap menghadapi transformasi besar di dunia kerja. Amodei merasa para pembuat undang-undang masih kurang informasi atau memilih untuk menyangkal, sementara para pemimpin perusahaan enggan berbicara jujur, sehingga sebagian besar pekerja belum menyadari risiko yang mengintai.
“Kebanyakan dari mereka belum tahu bahwa ini akan segera terjadi,” kata Amodei. “Kedengarannya gila, dan orang-orang seolah tidak percaya.”
Amodei berpendapat, teknologi ini menyimpan potensi besar sekaligus bahaya yang sama besarnya.
CEO tersebut menambahkan, peringatannya senada dengan apa yang dibisikkan secara pribadi oleh para pemimpin AI terkemuka lainnya. Mereka yang percaya pada potensi transformatif teknologi ini pun sangat khawatir tentang dampak ekonomi dan sosial jangka pendek, terutama jika laju perubahan terus melaju tanpa kendali.
Seputar Perdebatan yang Ada
Peringatan Amodei ini memicu perdebatan yang sudah lama bergulir di kalangan ahli ekonomi, teknologi, dan kebijakan. Di satu sisi, ada pandangan yang lebih optimis, percaya bahwa AI akan menciptakan lebih banyak pekerjaan baru daripada yang dihilangkan, mirip dengan revolusi teknologi sebelumnya. Mereka berpendapat bahwa AI akan mengambil alih tugas-tugas repetitif, memungkinkan manusia untuk fokus pada pekerjaan yang lebih kreatif, strategis, dan membutuhkan empati. Inovasi baru dan efisiensi yang ditawarkan AI bisa memicu pertumbuhan ekonomi yang pada gilirannya membuka sektor pekerjaan baru.
Namun, di sisi lain, pandangan seperti yang diungkapkan Amodei dan Bannon menekankan bahwa pergeseran ini mungkin terlalu cepat dan terlalu besar untuk diserap oleh pasar kerja dalam jangka pendek. Mereka khawatir tentang apa yang disebut “pengangguran struktural,” di mana keterampilan yang dibutuhkan pasar kerja berubah drastis sehingga sebagian besar tenaga kerja kesulitan beradaptasi. Ini bisa memperlebar kesenjangan ekonomi dan memicu gejolak sosial. Tantangannya bukan hanya tentang menciptakan pekerjaan baru, tetapi juga memastikan bahwa tenaga kerja memiliki keterampilan yang relevan untuk mengisi pekerjaan tersebut, sebuah proses yang membutuhkan investasi besar dalam pendidikan dan pelatihan ulang.
Fakta yang Sudah Terjadi di Beberapa Negara:
- PHK yang Dikaitkan dengan AI dan Otomatisasi: Beberapa perusahaan besar, seperti Microsoft, Google, Amazon, Duolingo, Twitch, dan bahkan DBS Bank di Singapura, telah melakukan PHK yang sebagian dikaitkan dengan adopsi AI dan otomatisasi. Di Hong Kong, dilaporkan bahwa 10.000 pegawai negeri sipil digantikan oleh AI. (The Economic Times: “Hong Kong to cut thousands of civil service jobs, invest in AI to tackle rising deficit” (26 Februari 2025).
- Perubahan Peran dan Peningkatan Produktivitas: Studi menunjukkan bahwa AI dapat meningkatkan produktivitas secara signifikan. Agen yang menggunakan AI dapat menangani lebih banyak pelanggan per jam, profesional bisnis dapat menulis dokumen lebih cepat, dan pemrogram dapat membuat kode lebih banyak per minggu. Ini mengubah peran pekerjaan, dengan fokus pada tugas yang lebih kompleks dan bernilai tinggi.
- Laporan Lembaga Internasional: IMF memperkirakan bahwa sekitar 40% pekerjaan di seluruh dunia berpotensi terdampak oleh AI. McKinsey memprediksi jutaan pekerjaan akan hilang di AS pada tahun 2030, dan Goldman Sachs memperkirakan dampak global pada 300 juta pekerjaan.
- Adopsi AI dalam Keuangan dan Akuntansi: AI digunakan untuk otomatisasi tugas-tugas berulang, memungkinkan audit waktu nyata, dan deteksi kecurangan, mengubah peran akuntan dan auditor.
Bagaimana dengan Indonesia?
Dampak AI terhadap pekerjaan di Indonesia juga menjadi perhatian serius, meskipun mungkin dengan dinamika yang sedikit berbeda dibandingkan negara maju.
-
Pekerjaan yang Berisiko: Sama seperti di negara lain, pekerjaan kantoran yang bersifat repetitif, berbasis data, atau administratif berpotensi besar untuk diotomatisasi oleh AI. Sektor-sektor seperti customer service (melalui chatbot), entri data, akuntansi dasar, atau bahkan beberapa tugas jurnalistik dan desain grafis awal, bisa terpengaruh. Industri manufaktur yang mengandalkan otomatisasi juga akan merasakan dampaknya. Beberapa prediksi menyebutkan bahwa 40% pekerjaan di negara berkembang bisa terdampak AI, meskipun dampaknya mungkin tidak seragam di semua sektor atau level pekerjaan.
-
Peluang Baru dan Peningkatan Produktivitas: Di sisi lain, AI juga membuka peluang. Banyak perusahaan di Indonesia, terutama startup teknologi dan e-commerce, sudah mulai mengadopsi AI untuk meningkatkan efisiensi dan produktivitas. Contohnya termasuk penggunaan AI untuk analisis data besar, personalisasi layanan, atau otomatisasi proses internal. Ini berpotensi menciptakan jenis pekerjaan baru yang berfokus pada pengembangan, implementasi, dan pemeliharaan sistem AI, serta analisis data yang dihasilkan.
-
Kesenjangan Keterampilan dan Persiapan Tenaga Kerja: Tantangan utama di Indonesia adalah kesenjangan keterampilan. Adopsi AI yang cepat menuntut tenaga kerja dengan kemampuan adaptasi dan pembelajaran berkelanjutan. Pemerintah dan berbagai pihak (seperti Program Kartu Prakerja) telah mulai berinvestasi dalam pelatihan dan reskilling untuk memastikan angkatan kerja siap menghadapi perubahan ini. Penting bagi individu untuk terus mengasah keterampilan baru, terutama di bidang teknologi, analitik, dan kreativitas, yang sulit digantikan oleh AI.
-
Kebijakan dan Regulasi: Pemerintah Indonesia menyadari pentingnya AI. Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian mendorong pasar tenaga kerja yang tangguh, adaptif, inovatif, dan inklusif dalam menghadapi pemanfaatan AI. Kementerian Komunikasi dan Informatika juga telah mengeluarkan Surat Edaran mengenai Etika Kecerdasan Artifisial, yang bertujuan memberikan acuan nilai dan prinsip etika dalam pengembangan dan penggunaan AI, termasuk aspek privasi data dan menghindari bias. Ini menunjukkan upaya untuk menciptakan ekosistem AI yang bertanggung jawab sekaligus mendukung inovasi.
Secara keseluruhan, Indonesia menghadapi tantangan serupa dengan negara lain dalam menyikapi disrupsi AI di pasar kerja, namun dengan skala dan konteks yang khas. Kesiapan individu melalui peningkatan keterampilan, dukungan pemerintah dalam regulasi dan pelatihan, serta adaptasi sektor industri, akan sangat menentukan bagaimana Indonesia dapat memanfaatkan potensi AI sekaligus meminimalkan dampak negatifnya pada ketenagakerjaan.