Evolusi Model Ulrich: Membahas Tiga Pendekatan Baru dalam HR (EX-Driven, Leader-Led, & Machine-Powered HR)

(Business Lounge Journal – Human Resources)

Seperti telah kita bahas bagaimana model operasional HR yang dikenal sebagai Model Ulrich telah mengalami beberapa adaptasi dan inovasi hingga menghasilkan 5 pendekatan baru. Kita sudah membahas 2 pendekatan di antaranya, yaitu Ulrich+ dan Agile HR. (Baca: Evolusi Model Ulrich: Pendekatan Baru dalam Menjawab Tantangan HR Masa Kini). Sekarang mari kita membahas 3 pendekatan lainnya.

EX-Driven: Pengalaman Karyawan sebagai Keunggulan Kompetitif

Model EX-Driven (Employee Experience-Driven) memposisikan pengalaman karyawan sebagai inti dari strategi sumber daya manusia dan bahkan keseluruhan operasional perusahaan. CHRO yang menganut pendekatan ini memandang bahwa pengalaman kerja yang menyenangkan, bermakna, dan mendukung pertumbuhan individu bukan hanya berdampak pada retensi dan produktivitas, tetapi juga menjadi pembeda strategis dalam persaingan merekrut dan mempertahankan talenta terbaik.

Alih-alih mendistribusikan sumber daya secara merata ke seluruh proses HR, pendekatan EX-Driven fokus pada “moments that matter”—momen-momen penting dalam siklus hidup karyawan, seperti:

  • Onboarding: menciptakan kesan pertama yang kuat dan transisi yang mulus ke dalam budaya perusahaan.
  • Promosi atau Perubahan Peran: dukungan pengembangan keterampilan dan kepemimpinan saat naik jabatan.
  • Transisi ke Proyek atau Lokasi Baru: pengalaman lintas fungsi atau global yang didesain dengan baik.
  • Exit: pengalaman keluar yang profesional dan menghormati kontribusi karyawan.

Dalam model ini, HR bekerja sama erat dengan departemen IT, operasional, dan bahkan komunikasi internal untuk merancang perjalanan karyawan yang terintegrasi dan relevan. Hal ini mendorong:

  • Penghapusan silo antar departemen,
  • Integrasi sistem dan data yang sebelumnya terfragmentasi,
  • Peningkatan engagement dan loyalitas karyawan secara signifikan.

Perusahaan yang telah menerapkannya:

Salesforce
Sebagai perusahaan teknologi global, Salesforce terkenal dengan pendekatan “Ohana”—filosofi yang menempatkan karyawan, pelanggan, dan komunitas sebagai keluarga besar. Salesforce merancang seluruh employee journey berdasarkan feedback dan insight karyawan. Mereka berinvestasi besar dalam onboarding digital, pelatihan kepemimpinan, dan transisi peran dengan dukungan teknologi seperti Employee Experience Cloud.

Accenture
Konsultan global ini mengembangkan strategi “Truly Human Experience” yang menggabungkan data analitik, desain thinking, dan AI untuk menciptakan pengalaman kerja yang personal dan adaptif. Accenture memanfaatkan data EX untuk merancang intervensi khusus saat promosi, pemindahan lintas negara, atau keluar dari perusahaan, memastikan setiap momen penting terasa bermakna.

Grab
Di Asia Tenggara, Grab menerapkan prinsip EX-Driven dalam pengembangan program internal mereka. Salah satu contohnya adalah platform internal Grabber Journey, yang membantu karyawan melacak perkembangan karier, feedback manager, dan milestone penting. HR di Grab bekerja lintas fungsi dengan tim teknologi untuk menciptakan pengalaman kerja digital-first yang intuitif dan personal.

Mengapa Model Ini Relevan?

Di era talent scarcity dan kerja hybrid, pengalaman kerja yang terdesain dengan baik menjadi daya tarik utama. Perusahaan yang menerapkan model EX-Driven bukan hanya lebih unggul dalam merekrut dan mempertahankan talenta, tetapi juga menciptakan budaya kerja yang produktif, sehat, dan inovatif.

Dalam lingkungan kerja modern, pengalaman karyawan bukan hanya urusan HR—tetapi strategi bisnis yang berdaya saing tinggi.

Leader-Led: Mendorong Otonomi ke Lini Bisnis

Model Leader-Led adalah pendekatan manajemen SDM yang menempatkan tanggung jawab utama fungsi-fungsi HR langsung di tangan para pemimpin lini bisnis. Dalam model ini, manajer lini diberdayakan untuk mengambil keputusan strategis terkait rekrutmen, onboarding, pengembangan kompetensi tim, hingga pengelolaan anggaran pelatihan. Peran HR bertransformasi menjadi penyedia platform, sistem pendukung, data analitik, dan panduan kebijakan—bukan sebagai pengambil keputusan utama.

Chief Human Resources Officer (CHRO) yang mengadopsi model ini berangkat dari keyakinan bahwa keputusan SDM yang efektif harus dibuat sedekat mungkin dengan titik dampaknya—yaitu tempat di mana pekerjaan dilakukan dan hasil bisnis dihasilkan. Model ini menuntut keberanian organisasi untuk melepas kontrol terpusat dan menghapus kebijakan HR yang seragam dan kaku, kecuali yang diwajibkan oleh hukum atau peraturan.

Model Leader-Led sangat cocok diterapkan pada perusahaan dengan struktur organisasi kompleks, kebutuhan tenaga ahli yang tinggi, dan budaya kerja yang menuntut agility. Misalnya:

  • Novartis, perusahaan farmasi global, telah menerapkan prinsip unbossed leadership yang memberi otonomi besar kepada para pemimpin tim dalam membuat keputusan terkait pengembangan talenta. HR menjadi mitra strategis yang menyediakan insight berbasis data dan tools digital, tetapi tidak mengatur secara mikro.
  • 3M, perusahaan manufaktur teknologi tinggi asal Amerika Serikat, juga menerapkan prinsip serupa. Para pemimpin unit bisnis bertanggung jawab atas pengelolaan talenta berbasis proyek dan kebutuhan inovasi. HR berperan sebagai fasilitator dan pengelola sistem pendukung seperti platform pembelajaran dan perencanaan karier.
  • NASA, sebagai lembaga riset dengan jumlah ilmuwan dan teknisi yang besar, memberi kewenangan penuh kepada manajer proyek dan tim misi dalam merekrut, menilai kinerja, dan mengembangkan anggota tim mereka. HR menyediakan kerangka kerja dan kepatuhan, namun tidak ikut campur dalam keputusan sehari-hari.

Implementasi Leader-Led membutuhkan investasi pada pelatihan kepemimpinan, sistem manajemen berbasis data, dan budaya kolaborasi yang kuat antara HR dan lini bisnis. Namun, manfaatnya jelas: proses lebih cepat, keputusan lebih relevan dengan konteks kerja, dan kepemilikan terhadap pengembangan SDM meningkat secara signifikan di tingkat operasional.

Machine-Powered HR: Memanfaatkan Kekuatan Kecerdasan Buatan

Digitalisasi telah mengubah secara mendasar peran dan cara kerja divisi Human Resources. Model Machine-Powered HR merupakan pendekatan operasional yang mengandalkan teknologi berbasis kecerdasan buatan (AI), machine learning, dan algoritme prediktif untuk menangani proses-proses SDM yang dulunya sangat manual dan memakan waktu.

Dalam model ini, teknologi digunakan untuk:

  • Menyeleksi kandidat secara otomatis melalui pemindaian CV dan analisis perilaku digital kandidat,
  • Menyusun jalur karier dan pelatihan yang dipersonalisasi berdasarkan performa, minat, dan potensi karyawan,
  • Mengidentifikasi akar penyebab absensi, penurunan produktivitas, atau tingkat turnover dengan menganalisis data historis dan pola perilaku,
  • Memberikan wawasan prediktif untuk perencanaan tenaga kerja seperti proyeksi kebutuhan skill di masa depan atau risiko kelelahan pada karyawan tertentu.

Dengan tugas-tugas administratif dan analitis ditangani oleh sistem cerdas, para profesional HR dapat memfokuskan energi mereka pada aktivitas yang bernilai strategis tinggi seperti perancangan budaya organisasi, coaching pimpinan, dan inovasi dalam pengembangan talenta.

Model ini sangat ideal diterapkan di perusahaan dengan tenaga kerja yang akrab dengan teknologi (digital native), seperti startup teknologi, perusahaan e-commerce besar, atau organisasi global yang menjalankan transformasi digital.
Contoh Perusahaan yang Sudah Menerapkannya:

Unilever
Unilever memanfaatkan AI dalam proses rekrutmen globalnya. Mereka menggunakan platform HireVue untuk menganalisis ekspresi wajah, intonasi suara, dan kata-kata kandidat selama wawancara video. AI akan memberikan penilaian awal yang kemudian ditinjau oleh tim HR.

IBM
IBM telah lama menjadi pelopor dalam penggunaan AI untuk manajemen SDM. Mereka menggunakan platform AI Watson untuk memberi saran kepada karyawan terkait pelatihan dan jalur karier yang sesuai, serta untuk mendeteksi risiko turnover berdasarkan perilaku dan data kinerja.

Tokopedia (Indonesia)
Sebagai salah satu unicorn teknologi di Indonesia, Tokopedia telah mengintegrasikan berbagai sistem otomasi dan AI dalam proses HR, mulai dari perekrutan, onboarding, hingga pengelolaan kinerja. Mereka juga aktif menggunakan people analytics untuk mendukung pengambilan keputusan manajerial.

Namun, tantangan utama dalam menerapkan Machine-Powered HR bukan pada teknologinya semata, melainkan pada kesiapan organisasional. Dibutuhkan:

  • Kemampuan analitik yang kuat di tim HR,
  • Investasi dalam pelatihan ulang (reskilling) untuk SDM agar mampu menginterpretasi dan memanfaatkan data secara strategis,
  • Kebijakan etika dan privasi data yang kuat agar penggunaan AI tidak menimbulkan bias atau pelanggaran hak karyawan.

Dengan strategi implementasi yang tepat, Machine-Powered HR bukan hanya meningkatkan efisiensi, tapi juga mendorong pendekatan yang lebih personal, adil, dan berbasis data dalam pengelolaan manusia.

HR Masa Depan Butuh Fleksibilitas dan Fokus

Tidak ada satu model HR yang sempurna untuk semua organisasi. Lima pendekatan di atas menunjukkan bahwa transformasi HR harus kontekstual dan berorientasi pada kebutuhan bisnis, budaya organisasi, dan profil tenaga kerja.

Apa pun model yang dipilih, yang pasti adalah bahwa fungsi HR harus menjadi mitra strategis bisnis, bukan hanya administrator kebijakan. Transformasi ini membutuhkan kepemimpinan CHRO yang visioner, keterampilan baru di semua lini HR, serta investasi pada teknologi dan data.

Di era perubahan yang cepat ini, HR yang adaptif bukanlah keunggulan — melainkan kebutuhan.

Kelima pendekatan baru terhadap Model Ulrich—Ulrich+, Agile HR, EX-Driven, Leader-Led, dan Machine-Powered HR—menegaskan satu hal penting: tidak ada solusi tunggal untuk tantangan HR masa kini. Setiap organisasi harus memilih dan mengadaptasi model yang paling sesuai dengan konteks bisnis, budaya, dan profil karyawan mereka.

Yang jelas, fungsi HR tidak lagi sekadar administrasi. HR harus menjadi mitra strategis yang mampu beradaptasi cepat dengan perubahan, didukung oleh kepemimpinan CHRO yang visioner, tim HR yang kompeten, dan pemanfaatan teknologi serta data secara optimal. Di tengah disrupsi yang konstan, HR yang adaptif bukan lagi keunggulan kompetitif, melainkan kebutuhan esensial untuk keberlanjutan dan pertumbuhan organisasi.