(Business Lounge – Lead and Follow) Dalam era kerja modern yang serba cepat, penuh tekanan, dan terus berubah, keterampilan coaching tidak lagi menjadi kemampuan tambahan yang opsional, melainkan fondasi penting bagi para manajer dan pemimpin. Buku The Coaching Habit karya Michael Bungay Stanier menyatakan bahwa coaching harus menjadi kebiasaan, bukan hanya sesi formal yang jarang dilakukan. Coaching bukanlah alat sesekali, melainkan bagian integral dari budaya organisasi yang sukses. Artikel ini, menjelaskan mengapa membangun kebiasaan coaching sangat krusial dan bagaimana hal ini dapat membawa dampak besar, tidak hanya bagi individu, tetapi juga tim dan organisasi secara keseluruhan. Artikel ini juga akan mengupas lebih dalam tentang tantangan dan peluang yang melekat dalam proses membangun kebiasaan ini.
Kebutuhan, bukan pilihan
Saat ini, hampir semua pemimpin dan manajer telah mendengar pentingnya coaching. Artikel-artikel kepemimpinan, buku manajemen, dan berbagai pelatihan kerja mempromosikan coaching sebagai keterampilan inti. Bahkan Daniel Goleman, dalam artikelnya di Harvard Business Review yang terkenal, menyebut coaching sebagai salah satu dari enam gaya kepemimpinan yang paling efektif—dan satu-satunya gaya yang memiliki dampak positif yang nyata terhadap kinerja, budaya organisasi, dan hasil akhir. Namun ironisnya, coaching juga menjadi gaya kepemimpinan yang paling jarang digunakan.
Alasannya? Waktu. Banyak pemimpin mengaku terlalu sibuk dan tidak punya waktu untuk “melatih orang” dalam tekanan kerja harian. Hal ini diperparah dengan kompleksitas dunia kerja saat ini: email menumpuk, komunikasi tak berujung, mobilitas tinggi, dan tuntutan multitugas yang konstan. Dalam konteks ini, coaching sering dianggap sebagai kegiatan mewah, bukan kebutuhan utama. Hal ini mencerminkan paradoks manajerial: justru di saat tuntutan tinggi, pendekatan coaching sangat dibutuhkan untuk menjaga arah dan motivasi tim.
Namun, di sinilah letak kesalahan berpikir. Coaching yang baik tidak memerlukan sesi panjang yang terjadwal. Coaching bisa—dan harus—terjadi dalam percakapan sehari-hari, dalam waktu kurang dari 10 menit. Coaching bukan tentang menciptakan ruang baru di kalender, tetapi tentang membentuk cara baru dalam berinteraksi. Dalam interaksi tersebut, bukan hanya solusi yang dihasilkan, tetapi juga kepercayaan, kolaborasi, dan pemahaman yang lebih dalam antara pemimpin dan anggota tim.
Mengapa coaching gagal diterapkan?
Michael Bungay Stanier menyatakan bahwa banyak manajer sudah pernah mendapatkan pelatihan coaching, namun tetap gagal mengimplementasikannya secara efektif. Hasil penelitian dari BlessingWhite pada tahun 2006 menunjukkan bahwa 73% manajer telah mengikuti pelatihan coaching. Tetapi hanya 23% dari karyawan yang merasa bahwa coaching yang mereka terima benar-benar berdampak signifikan terhadap kinerja atau kepuasan kerja mereka. Bahkan, 10% merasa coaching tersebut justru berdampak negatif.
Terdapat tiga alasan utama mengapa upaya awal membentuk kebiasaan coaching tidak berhasil:
Banyak pelatihan coaching bersifat akademis dan kurang relevan dengan tantangan nyata yang dihadapi di tempat kerja. Hasilnya, para peserta hanya mendapat tambahan teori tanpa pemahaman tentang bagaimana menerapkannya secara praktis. Coaching sering disampaikan dalam bentuk abstrak, jauh dari dinamika sehari-hari tim yang memerlukan pendekatan fleksibel dan responsif.
Tanpa adanya jembatan yang jelas antara teori dan praktik, wawasan yang didapat dari pelatihan hanya mengendap tanpa pernah diubah menjadi perilaku nyata. Sering kali, setelah pelatihan selesai, para peserta kembali ke rutinitas lama karena tidak ada sistem pendukung atau pengingat untuk menerapkan hal-hal baru.
Budaya kerja banyak membentuk pemimpin menjadi problem solver—orang yang memberi jawaban. Memberi saran itu cepat, memberi kesan “berkontribusi,” dan membuat pemimpin merasa tetap mengendalikan situasi. Sebaliknya, bertanya membutuhkan kesabaran, keberanian untuk membiarkan orang lain mengambil alih solusi, dan rasa percaya diri yang tinggi. Namun justru di sanalah letak kekuatan sejati dari seorang coach.
Tiga lingkaran negatif
Stanier menyebut bahwa dunia kerja modern membuat kita terjebak dalam tiga lingkaran negatif:
Manajer sering melatih bawahannya untuk terlalu bergantung kepada mereka. Hal ini membuat tim kurang mandiri dan justru memperbesar beban kerja manajer. Akibatnya, manajer menjadi pusat bottleneck yang memperlambat proses kerja. Coaching membantu menghentikan ketergantungan ini dengan meningkatkan rasa otonomi dan kemampuan pengambilan keputusan dalam tim. Tim yang dilatih untuk berpikir sendiri akan lebih cepat merespons tantangan dan lebih berdaya dalam mengambil inisiatif.
Banyak manajer merasa kewalahan oleh volume pekerjaan dan gangguan yang terus datang. Dalam situasi ini, fokus kerja menjadi kabur dan waktu habis untuk hal-hal yang tidak berdampak. Dengan coaching, manajer dapat membantu diri sendiri dan tim memusatkan perhatian pada hal-hal yang benar-benar penting. Coaching menciptakan ruang untuk refleksi dan pengambilan keputusan yang lebih tajam, sehingga sumber daya organisasi bisa dimanfaatkan secara lebih efisien.
Saat pekerjaan hanya menjadi rutinitas dan tidak lagi bermakna, orang kehilangan keterlibatan dan motivasi. Coaching membuka jalan bagi percakapan yang berarti dan reflektif, yang dapat menghubungkan orang dengan pekerjaan mereka secara emosional dan intelektual. Coaching bukan hanya soal menyelesaikan tugas, tetapi tentang menghidupkan kembali makna dari apa yang kita lakukan. Ketika orang merasa bahwa pekerjaan mereka berdampak, produktivitas dan kepuasan kerja akan meningkat secara alami.
Cara kerja baru yang lebih baik
Dengan membangun kebiasaan coaching, seorang manajer tidak hanya membantu orang lain, tetapi juga menciptakan ruang bagi dirinya sendiri untuk bekerja lebih cerdas, bukan lebih keras. Coaching yang tepat bisa menghentikan spiral kelelahan, memulihkan kejernihan berpikir, dan membangkitkan kembali semangat kerja. Coaching bukanlah kemewahan, melainkan strategi kerja yang cerdas dan strategis.
Coaching adalah tentang mengajukan pertanyaan yang tepat, bukan memberikan jawaban. Ini bukan soal menyerah terhadap kendali, tetapi soal mendistribusikan tanggung jawab dan memberdayakan orang lain. Ketika pemimpin mengganti pendekatan instruktif menjadi pendekatan penuh rasa ingin tahu, keajaiban mulai terjadi: tim menjadi lebih proaktif, solusi muncul dari bawah, dan semangat kolaborasi tumbuh.
Stanier menekankan bahwa dengan hanya tujuh pertanyaan sederhana (yang akan dibahas dalam bagian utama buku), seorang pemimpin sudah dapat membangun rutinitas coaching yang berdampak besar. Kunci dari coaching yang efektif adalah membuatnya menjadi kebiasaan—sesuatu yang terjadi secara alami, berulang, dan spontan dalam interaksi sehari-hari. Ketika hal ini tercapai, coaching tidak lagi menjadi metode yang dipaksakan, tetapi menjadi cara kita hadir dalam setiap percakapan.
Investasi jangka panjang
Ketika coaching diterapkan sebagai kebiasaan, efeknya tidak hanya terasa pada peningkatan produktivitas, tetapi juga pada budaya kerja. Karyawan merasa lebih dihargai, dipercaya, dan terlibat. Mereka belajar berpikir mandiri, berani mengambil risiko, dan menyadari bahwa pekerjaan mereka memiliki makna. Coaching membentuk lingkungan kerja yang aman secara psikologis dan mendorong pembelajaran berkelanjutan.
Bagi pemimpin, coaching menjadi alat untuk menciptakan dampak yang berkelanjutan, bukan hanya memperbaiki masalah sesaat. Coaching memindahkan fokus dari pemecahan masalah ke pengembangan potensi. Ini adalah langkah dari manajer yang reaktif menjadi pemimpin yang transformatif. Pemimpin semacam ini tidak hanya menyelesaikan masalah, tetapi menciptakan pemimpin-pemimpin baru di sekitarnya.
Manfaat jangka panjang lainnya termasuk peningkatan retensi karyawan, loyalitas, dan reputasi organisasi. Di era di mana talenta terbaik mencari lebih dari sekadar gaji, budaya coaching menjadi pembeda penting.
Kebiasaan coaching adalah tantangan
Membangun kebiasaan coaching adalah tantangan, tetapi hasilnya sebanding. Coaching bukan sekadar teknik komunikasi. Ia adalah pendekatan untuk memberdayakan, memfasilitasi pembelajaran, dan membentuk budaya organisasi yang sehat dan produktif. Coaching memberikan ruang bagi setiap individu untuk tumbuh dan berkembang secara konsisten.
Seperti dikatakan Stanier, coaching yang baik tidak memerlukan waktu lama. Dengan pertanyaan yang tepat, niat yang jelas, dan konsistensi, siapa pun dapat membangun kebiasaan coaching yang sederhana namun berpengaruh besar. Coaching adalah seni kecil yang dilakukan setiap hari yang menghasilkan dampak besar dalam jangka panjang.
Mulailah dari pertanyaan: “Apa yang ada di pikiranmu?” dan lihat bagaimana percakapan sederhana dapat mengubah cara Anda memimpin. Ketika pertanyaan menjadi jembatan, dan mendengar menjadi tindakan kepemimpinan, itulah saat ketika coaching menjadi bagian dari DNA kepemimpinan.