(Business Lounge Journal – Leadership)
Tulisan ini mengenai bagaimana perusahaan mengatasi opini like and dislike – peran leader atau atasan memberikan respon dan karyawan bekerja efektif – untuk keberhasilan bisnis perusahaan secara keseluruhan.
Kebanyakan dari kita sering mendengar kalimat jargon dalam bahasa Inggris like and dislike, yaitu ungkapan untuk menyatakan kesukaan dan ketidaksukaan terhadap sesuatu atau seseorang. Dalam bahasa Indonesia, kita dapat menggunakan kata like untuk kalimat ‘saya suka..’ untuk menyatakan rasa suka kita dan kata dislike untuk kalimat ‘saya benci..’ untuk kebalikannya, rasa tidak suka.
Dalam kehidupan sehari-hari, terutama di Indonesia like and dislike sangat kental terjadi termasuk dunia kerja, misalnya:
Provokator
Beberapa perusahaan sering menjadi berita utama di media sosial bukan karena produk baru mereka tetapi karena aktivitas karyawan mereka. Misalnya, untuk mengkritik perubahan kebijakan perusahaan, karyawan mengajukan resolusi kepada pemegang saham atau melakukan protes atau melakukan aksi mogok kerja dan mengunggah aktivitasnya melalui platform sosial media bahkan dengan konten kebencian. Tujuannya adalah menarik perhatian terhadap suatu permasalahan di masyarakat secara luas. istilah perusahaan terhadap karyawan tersebut provokator.
Aktivitas provokator dalam tindakan terkoordinasi mencakup semua lini karyawan, mulai dari karyawan penuh waktu dan paruh waktu, sampai eksekutif senior bahkan dan bahkan karyawan kontrak yang secara teknis tidak dianggap sebagai karyawan, misalnya pengemudi, petugas keamanan.
Hal ini memicu perbedaan pendapat yang tidak dapat ditoleransi sehingga mengganggu hubungan sesama rekan kerja dan suasana di tempat kerja.
Manajemen perusahaan seringkali kehilangan kesabaran sehingga melalui leader atau atasan perusahaan memberikan peringatan lisan maupun tertulis bahkan pemecatan kepada karywan provokator. Dampaknya banyak orang memiliki persepsi buruk karena terlihat seperti tindakan sewenang-wenang dan terkesan leader atau atasan perusahaan bertindak atas dasar like and dislike, bukan karena tidak mencapai target, atau kesalahan proses kerja yang menyebabkan kerugian perusahaan.
Persaingan
Dalam dunia kerja merupakan ajang pembuktian diri dimana banyak orang berusaha tampil berprestasi dengan berbagai karakter sehingga memungkinkan terjadi persaingan kerja.
Sering kali fokus karyawan hanya pada kinerja sendiri, akan berdampak pada kinerja perusahaan secara keseluruhan. Kecenderungan karyawan menyimpan pengetahuan, keterampilan, penguasaan proses kerja untuk diri sendiri—untuk meningkatkan peluang keberhasilan diri sendiri. Karyawan yang saling bersaing dapat mempengaruhi komunikasi, juga menghambat proses kerja sehari-hari.
Pada periode penilaian kinerja tidak mungkin semua orang mendapat promosi kenaikan gaji, pemberian bonus, dan kesempatan pelatihan. Ketika karyawan merasa penghargaan perusahaan bergantung pada kinerja diri sendiri, perusahaan berhadapan dengan persaingan. Biasanya, persaingan memiliki “pemenang” secara teratur sehingga terbentuk kelompok elite— atau kelompok peringkat atas. Manajemen memberikan kenaikan gaji, bonus promosi dan pelatihan sebagai reward kepada golongan elite. Karyawan diluar kelompok ini tentu kurang dapat diandalkan. Persaingan menjadi racun ketika perbedaan golongan dan seringkali (walau tidak selalu) banyak hal dalam rutinitas pekerjaan. Dampak lain, bahkan sampai menjatuhkan bawahan/ rekan kerja dengan sengaja.
Seperti menghadapi karyawan provokator, karena menghadapi kelompok elite banyak orang memiliki persepsi buruk karena terlihat seperti tindakan sewenang-wenang dan terkesan leader atau atasan perusahaan bertindak atas dasar like and dislike, bukan karena tidak mencapai target, atau kesalahan proses kerja yang menyebabkan kerugian perusahaan.
Perusahaan sangat menyadari persepsi like and dislike dalam operasional organisasi, lalu harus bagaimana? Manajemen, dalam hal ini leader atau atasan khususnya perlu mengetahui cara mengatasinya karena karyawan provokator dan karyawan golongan elite akan selalu hadir dalam berbagai bentuk di perusahaan.
Dalam tulisan ini, terdapat wawasan tentang spektrum saat ini dan memberikan saran dengan mempertimbangkan risikonya.
Perusahaan perlu membuat definisi kinerja perusahaan secara keseluruhan dan kinerja individu karyawan. Definisi kinerja perusahaan termasuk peranan perusahaan terhadap permasalahan di masyarakat secara luas. Kinerja karyawan provokator dan karyawan golongan elite tanpa terkecuali, semua karyawan terlibat untuk mengatasi masalah sosial yang terkait dengan perusahaan tempat mereka bekerja.
Hal ini memerlukan upaya manajemen, leader atau atasan untuk mendorong semua karyawan, – mulai dari pekerja lapangan, operasional, produksi, penjualan, dan bahkan pihak ketiga independen yang secara teknis tidak dianggap sebagai karyawan (misalnya satuan pengaman, cleaning service, office boy) – untuk memastikan tercapainya kinerja perusahaan. Bahwa penghargaan, benar-benar bergantung pada kinerja perusahaan. Jadi, penting bagi karyawan merasa kinerja perusahaan adalah standar, bahwa kinerja individu – karyawan sendiri bergantung pada kinerja perusahaan. Jika kinerja perusahaan tidak tercapai, kinerja individu – karyawan sendiri dapat terganggu.
Manajemen, leader atau atasan membuat langkah-langkah untuk menerapkan tercapainya kinerja perusahaan secara bersama-sama –bukan rahasia tetapi terbuka hanya untuk internal karyawan dan perusahaan. Tujuannya adalah mendorong kolaborasi dan berbagi pengetahuan. Secara umum, adalah bijaksana untuk memiliki tujuan perusahaan yang lebih luas. Ketika leader atau atasan mendorong karyawan untuk bekerja menuju tujuan bersama ini, perusahaan dapat mengatasi menghindari karyawan provokator yang bertindak demi kepentingan sendiri sekaligus mendorong karyawan golongan elite untuk fokus pada kinerja sendiri.
Karyawan provokator bukan sebagai agitator atau penghasut tetapi sebagai pendukung upaya pencapaian kinerja perusahaan. Ciri khas karyawan provokator adalah tindakan kolektif, yaitu proses di mana banyak individu berpartisipasi dalam tindakan terkoordinasi untuk mencapai tujuan bersama. Misalnya dengan memberikan sponsor perusahaan untuk membangun jaringan eksternal di lingkungan masyarakat. Dukungan kepada karyawan provokator memungkinkan pencapaian kinerja perusahaan lebih besar dibandingkan jika dikerjakan secara individu oleh karyawan golongan elite dalam meningkatkan brand awareness perusahaan untuk mendukung pencapaian program penjualan produk perusahaan.
Berikut adalah hasil analisa berdasarkan data survei global kepada 3.852 profesional bisnis dari beberapa negara Eropa, Amerika Serikat, Afrika Utara termasuk Asia Tenggara tentang cara perusahaan mengatasi masalah kinerja dan produktivitas karyawan. Dua dari beberapa tujuan penggunaan data survei ini adalah, pertama: analisa hubungan antara kinerja perusahaan dan budaya; ke dua: analisa hubungan antara tantangan atau risiko bisnis yang dihadapi perusahaan dan karyawan.
Informasi yang diperoleh dari hasil analisa menggunakan data survei, bahwa terdapat korelasi kuat antara kinerja perusahaan dan perilaku karyawan (lihat gambar di bawah ini).
Data survei menggambarkan korelasi yang berdampak terhadap kinerja bisnis yang baik sebagai berikut:
- 66% diperlukan upaya perusahaan untuk memperhatikan dan mempertahankan karyawan yang memiliki kinerja tinggi dan/atau berpotensi memiliki kinerja tinggi
- 69% diperlukan upaya perusahaan untuk memahami budaya dan perilaku karyawan untuk mengatasi masalah bisnis
- 63% diperlukan upaya perusahaan untuk memiliki leader atau atasan yang menyampaikan kepada karyawan tentang pentingnya nilai transparansi, maupun wawasan lingkungan pekerjaan untuk meningkatkan keberhasilan bisnis
- 75% diperlukan upaya perusahaan untuk memiliki leader atau atasan untuk membuat keputusan bisnis
Manajemen kinerja karyawan dan manajemen kinerja bisnis adalah dua topik yang saling terkait erat, yang pertama merupakan bagian dari yang terakhir. Perusahaan, dalam hal ini, leader atau atasan dapat mempertimbangkan informasi ini sebagai wawasan untuk mengambil keputusan untuk mendorong kinerja bisnis, dan meningkatkan pengalaman karyawan yang diharapkan akan terus berkembang. Penting untuk menyelaraskan tindakan leader atau atasan dengan perilaku karyawan untuk mengatasi persepsi buruk tindakan sewenang-wenang dan kesan leader atau atasan perusahaan atas dasar like and dislike.
Michellin/VMN/BLJ