Gajah Gallery: Customised Postures, (De)colonising Gestures

(Business Lounge Journal – Event)

Gajah Gallery sedang menghelat pameran foto, Customised Postures, (De)colonising Gestures di Jakarta, pada 25 Mei hingga 16 Juni 2024. Pameran kelompok ini diadakan setelah Gajah Gallery sukses mengadakan pameran yang serupa di Singapura pada awal tahun ini. Keputusan untuk meneruskan dan membawa pameran ini dari Singapura ke Jakarta didorong oleh keinginan untuk mencapai pengaruh dan audiens yang lebih luas, mengingat pentingnya wacana yang dipresentasikan dalam pameran ini.

Pameran yang dikuratori oleh Dr. Alexander Supartono ini mengeksplorasi hubungan citra fotografi kolonial dan praktik seni kontemporer di Asia Tenggara.

Jakarta dengan ekosistem seninya yang dinamis dan kekayaan warisan budayanya, menjadi wadah yang tepat untuk mempresentasikan tema eksplorasi yang kompleks seperti kolonialisme, identitas dan ekspresi artistik yang dihadirkan oleh Customised Postures, (De)colonising Gestures. Melalui ekstensi ini, kami berharap dapat memperdalam pemahaman lintas budaya dan membangun dialog bermakna mengenai warisan kolonialisme dalam lingkungan seni di Asia Tenggara, serta melahirkan sudut pandang baru mengenai interseksi sejarah, seni, dan identitas.

Bagaimana citra fotografi kolonial terwujud dalam karya-karya seniman kontemporer saat ini? Dengan menghadirkan foto-foto era kolonial dan karya seni kontemporer sebagai pembahasan, pameran ini bertujuan untuk membangun interkonektivitas antara praktik fotografi di Asia Tenggara pada masa kolonial dan praktik seni kontemporer dari wilayah tersebut. Kesamaan kondisi politik, ekonomi, dan sosial yang dialami oleh kawasan ini akibat kolonialisme, menghasilkan konvensi visual yang sama pula dalam potret fotografi.

Foto-foto sejarah yang ditampilkan dalam pameran ini menyoroti cara kamera menyelaraskan postur dan gerak tubuh subjek yang dijajah di wilayah koloni. Para fotografer mengkaji bagaimana bahasa tubuh dari subjek diadopsi dan diadaptasi, seiring dengan pengaplikasian teknologi representasi modern dalam praktek potret di luar atau dalam ruangan. Mulai dari lukisan, patung, gambar, fotografi, hingga instalasi multimedia, karya-karya kontemporer dalam pameran ini kemudian memaparkan bagaimana adopsi dan adaptasi tersebut hadir di masa kini. Bersama medium lensanya yang khas, seniman asal Singapura Suzann Victor membebaskan (secara retrospective) sisi kemanusiaan dari subjek yang terdapat dalam foto sejarah migrasi di Singapura – yang sebelumnya terkurung dalam representasi etnografis yang merendahkan martabat manusia.

Menggunakan gambar, suara, dan video sebagai medium karyanya, seniman asal Filipina, Jao San Pedro, memanfaatkan kecerdasan buatan (AI) untuk menghasilkan 100 potret berdasarkan transkrip pesan suara untuk menghasilkan wajah-wajah yang mencekam dan terdistorsi. Dengan memanipulasi foto studio potret awal abad ke-20, seniman Indonesia Abednego Trianto menyoroti gerak gerik halus para subjek yang sedang terduduk untuk mengungkap perjuangan unik dan berkelanjutan dari perempuan Jawa dalam melawan budaya patriarki.

Sejalan dengan algoritma Darwinisme universal, karya-karya ini menunjukkan bagaimana seniman-seniman kontemporer di wilayah ini mengembangkan, mereplikasi, dan memodifikasi tradisi postur tubuh khas Asia Tenggara melalui prosedur variasi, seleksi, dan pewarisan. Evolusi ikonografi ini tidak hanya mengubah bahasa sehari-hari di masa kolonial menjadi penyempurnaan artistic masa kini – tetapi juga, yang lebih penting, mendekolonisasi gestur dalam representasi fotografi Asia Tenggara.