Kerja Normal yang Lebih Menguntungkan

(Business Lounge Journal – Empower People) Kehidupan penduduk Jakarta bisa dikatakan “makin nggak pernah tidur!” Bisnis cenderung merambah jam tengah malam bahkan semboyan 24 jam sehari dan 7 hari seminggu menjadi bentuk tawaran pelayanan kepada pelanggan. Namun mari kita tengok bagaimana perilaku kerja Astra International, perusahaan yang tergolong sebagai konglomerat terbesar di Indonesia, yang pada tahun 2015 memiliki karyawan sebanyak 225.580 orang pada 183 unit usaha. Paulus Bambang, Direktur Astra, menyapa saya tentang pembicaraannya dengan beberapa eksekutif perusahaan lain. Paulus ditanya: “Apa pernah meeting di atas jam 7 malam kalau di Astra?” Jawabannya mengherankan bahwa hal itu tidak pernah terjadi. Para eksekutif tertawa dan menjawab “Tidak pernah meeting malam saja, laba Astra mencapai 19,4 triliun, kalau pulang malam tentu labanya mencapai 25 triliun.” Sebaliknya Paulus menjawab, “Kalau Astra pulang tengah malam, maka labanya tinggal 10 triliun.” Sebab otak pada waktu malam sudah mulai lemah dan banyak marah-marah karena sudah menjadi sensitif dengan tekanan pekerjaan yang ada.

Memang saya melihat gejala timbulnya kondisi kerja yang menghilangkan waktu untuk kehidupan sosial karyawan. Pulang tengah malam menjadi ukuran kerja keras, belum lagi menggunakan waktu Sabtu dan Minggu untuk bekerja merupakan penghilang dari “balance of life” sehingga perlu dilakukan penataan ulang untuk manajemen waktu agar tetap seimbang. Eksekutif muda banyak kehilangan waktu untuk kehidupan mereka yang normal dan sering membuat hubungan mereka dengan keluarga menjadi jauh.

Semasa saya kuliah, ada dua pilihan tipe eksekutif yang ditawarkan pada saya. Pertama, untuk menjadi eksekutif yang profesional, yaitu mereka yang pertama selalu datang jam 8 dan pulang jam 6 sore serta terkadang mengisi waktu dengan bermain golf atau olahraga lain. Kedua adalah mereka yang datang pagi-pagi dan pulang tengah malam karena bertanggungjawab kepada pekerjaan. Pilihan terserah masing-masing, namun evaluasinya bila waktu yang digunakan untuk pekerjaan hingga 12 jam dalam sehari, tentunya ada yang perlu diperbaiki dalam cara kerja sehingga meminta waktu sedemikian banyak, apalagi hingga 14 jam kerja yang membuat lelah dan tidak lagi efektif. Lebih lagi untuk eksekutif yang sudah burn out dengan pekerjaannya membawa bawahannya juga burn out. Sehingga terjadi domino efek yang membuat seluruh organisasi kehilangan efektifitas kerja.

Kelelahan kerja akibat jam kerja yang berlebih, sering membuat karyawan mengisi waktunya bukan lagi dengan pekerjaan melainkan dengan aktifitas sosial di dunia maya, seperti aktif di group chat : WhatsApp, Line, BBM, atau facebook, twitter dan lain-lain. Tampaknya mereka pulang tengah malam namun produktifitas karyawan rendah, yang diperlukan bukanlah lamanya waktu bekerja namun intensitasnya. Kalau memang situasi organisasi seperti ini, sekarang saatnya berubah, sebelum akhirnya menjadi terlambat dan mendatangkan kerugian bagi perusahaan dan karyawan.

Fadjar Ari DewantoFadjar Ari Dewanto/VMN/BD/Regional Head-Vibiz Research Center