(Business Lounge – Business Today) – Jauh sebelum tragedi hilangnya Maskapai Malaysia Airlines (MAS), ternyata Maskapai pelat merah milik Malaysia ini sudah lama menderita kerugian. Dalam tiga tahun terakhir ini, MAS telah kehilangan 1,2 miliar dollar AS atau sekitar Rp 13,68 triliun (kurs 1 dollar AS = Rp 11.400). Tahun ini pun MAS diperkirakan kembali akan mengalami kerugian.MAS merupakan salah satu dari sedikit maskapai di dunia yang merugi dengan margin usaha minus 4 persen. Kondisi ini paling buruk dibanding seluruh maskapai di dunia. Padahal, maskapai di dunia pada tahun tersebut menikmati rata-rata keuntungan sebesar 5 persen.
Kondisi yang dialami MAS ini seperti dikutip businessweek.com disebabkan oleh biaya operasi yang tinggi, jalur-jalur penerbangan yang tidak menguntungkan, serta persaingan dengan dua maskapai di Malaysia.Untuk mengurangi biaya operasi, maskapai ini melakukan efisiensi sehingga menimbulkan masalah dengan serikat pekerjanya. Selain itu, MAS juga menghentikan penerbangan jarak jauh, termasuk penerbangan ke Amerika Serikat, yang akan berhenti mulai bulan depan.
Masalah keuangan maskapai pelat merah yang sudah berkiprah di industri penerbangan selama 67 tahun ini diperburuk dengan dilakukannya ekspansi yang dinilai terlalu agresif. Tahun lalu MAS menambah 21 pesawat. Bahkan tak hanya kerugian yang dialami, per akhir 2013, utang maskapai ini mencapai 10,36 miliar ringgit atau sekitar Rp 31 triliun. Mei tahun lalu, MAS mengumpulkan modal 3,07 miliar ringgit dengan melakukan rights issue.
Di dalam negeri sendiri, MAS harus berhadapan dengan maskapai besar lainnya milik Tony Fernandez, AirAsia, serta maskapai patungan maskapai asal Indonesia, Lion Air, dengan investor Malaysia, Malindo Air. Kedua maskapai itu menikmati keuntungan dari ceruk pasar di kawasan tersebut dengan memperkenalkan penerbangan berbiaya murah (Low Cost Carrier).
Pasca-tragedi jatuhnya Boeing 777-200 bernomor penerbangan MH370, di mana terdapat 229 penumpang asal China, tampaknya akan membuat citra MAS semakin terpuruk. Banyak warga China yang menganggap respons Malaysia Airlines kurang cepat. Sentimen ini bisa membuat warga China lebih memilih maskapai lain dibanding Malaysia Airlines. Padahal, pertumbuhan pelancong asal China saat ini sangat tinggi.
Hal ini harus menjadi perhatian dan bahan evaluasi bagi industri penerbangan. Harus diakui, MAS bukanlah satu-satunya maskapai yang pernah mengalami kecelakaan pesawat dan menewaskan seluruh penumpang. Indonesia misalnya, seperti kita ketahui dahulu ada maskapai bernama Adam Air yang hampir sering mengalami kecelakaan pesawat hingga menewaskan ratusan penumpang. Adam Air saat itu mencoba peruntungan maskapainya dengan tetap mempertahankan strategi LCC yaitu dengan menjual tiket murah kepada penumpang yang akhirnya justru membuat kerugian maskapai membengkak dari tahun ke tahun serta membuat manajemen mengabaikan unsur-unsur penting yang harus dilakukan karena keterbatasan dana.
Saat ini seperti kita ketahui sektor industri penerbangan di Indonesia juga sedang lesu, beberapa maskapai bukan berlomba-lomba meningkatkan kualitasnya, tetapi justru berlomba menutup kegiatan penerbangannya sementara waktu, seperti Merpati, Citilink (untuk beberapa rute), Tiger Airways, dan Mandala. Memang, saat ini setiap maskapai berusaha mempertahankan para pelanggannya dengan penjualan tiket perjalanan dengan harga yang murah, namun harus dipahami bahwa tanggung jawab sebuah perusahaan penerbangan lebih besar dari sekedar mencetak laba tahunan. Tanggung jawab mereka menyangkut nyawa manusia, kebahagiaan sebuah keluarga, dan masa depan setiap penumpang yang tentu tidak dapat diukur dengan uang.
Pada akhirnya mari kita belajar dari MAS, sebagai sebuah perusahaan yang bergerak di bidang jasa, manajemen seharusnya lebih tanggap terhadap setiap kebutuhan yang diperlukan pelanggan terutama ketika kecelakaan pesawat terjadi. Dapat dilihat bagaimana MAS mendapat banyak tuaian kritikan atas sikap manajemen yang dipandang kurang agresif terhadap informasi yang diperlukan para keluarga korban. Hal ini bisa menjadi tolak ukur untuk memberikan penilaian terhadap sebuah maskapai.
Stephanie Rebecca/Analyst Research at Vibiz Research/VM/BL
Editor: Iin Caratri
Image: Wikimedia.org