(Business Lounge – Technology) Microsoft akan kembali melakukan pemutusan hubungan kerja dalam jumlah besar pada awal Juli 2025. Gelombang PHK terbaru ini diperkirakan mencakup ribuan posisi di berbagai divisi, dengan fokus utama pada bagian penjualan, pemasaran, dan beberapa tim dukungan internal. Keputusan ini muncul ketika Microsoft memasuki tahun fiskal baru yang dimulai pada 1 Juli, sebuah periode yang biasanya digunakan oleh perusahaan untuk menyusun ulang struktur biaya dan prioritas strategis. Meskipun perusahaan belum secara resmi mengumumkan angka pasti, laporan dari berbagai media seperti The Wall Street Journal dan Barron’s menyebut jumlahnya kemungkinan besar berkisar antara 5.000 hingga 10.000 posisi.
Pemangkasan besar ini merupakan bagian dari restrukturisasi menyeluruh yang sudah dimulai Microsoft sejak 2023. Perusahaan yang berbasis di Redmond, Washington, sebelumnya telah memangkas lebih dari 10.000 karyawan pada awal 2023, disusul dengan pengurangan sekitar 6.000 posisi lagi pada Mei 2024. Jika penyesuaian Juli ini terealisasi sesuai proyeksi, maka total pengurangan dalam kurun dua tahun akan melebihi 20.000 posisi—jumlah signifikan bahkan untuk perusahaan teknologi dengan skala global seperti Microsoft, yang mempekerjakan lebih dari 220.000 orang secara global.
Fokus pengurangan saat ini adalah divisi sales dan customer success, yang disebut semakin terdampak oleh otomatisasi dan penggunaan teknologi kecerdasan buatan. Microsoft secara aktif mengalihkan proses-proses yang sebelumnya mengandalkan tim manusia ke platform AI seperti Microsoft 365 Copilot dan Dynamics 365. Dalam sistem penjualan, banyak fungsi seperti rekomendasi produk, analisis pelanggan, serta interaksi layanan awal sudah ditangani oleh asisten virtual. Dengan demikian, efisiensi menjadi kata kunci utama dalam transformasi organisasi perusahaan ini.
CFO Microsoft, Amy Hood, dalam pernyataannya di konferensi investor bulan lalu, menyebut bahwa struktur organisasi Microsoft harus menjadi lebih “cepat dan lincah.” Ia menjelaskan bahwa keberhasilan Microsoft di masa depan tidak hanya tergantung pada inovasi teknologi, tetapi juga pada kemampuan menyusun tim yang lebih ramping dan terfokus pada outcome. “Kami sedang membangun kembali bagaimana kami beroperasi secara internal, dengan menghapus banyak lapisan birokrasi, menyatukan fungsi-fungsi yang tumpang tindih, dan mempercepat pengambilan keputusan,” kata Hood. Ia menekankan bahwa langkah ini akan memungkinkan Microsoft mengalokasikan sumber daya lebih besar untuk pertumbuhan masa depan, khususnya dalam sektor cloud dan AI.
Sektor cloud computing dan AI memang menjadi prioritas utama bagi Microsoft dalam dua tahun terakhir. Setelah mengucurkan investasi lebih dari US$13 miliar ke OpenAI, perusahaan terus memperluas integrasi kecerdasan buatan ke dalam semua lini produknya. Microsoft 365 kini dilengkapi fitur Copilot berbasis GPT-4, sementara Azure AI semakin banyak digunakan oleh klien enterprise untuk kebutuhan analitik dan otomatisasi. Untuk mendukung ambisi ini, Microsoft telah mengumumkan rencana membangun pusat data senilai lebih dari US$80 miliar di seluruh dunia dalam lima tahun ke depan, menjadikannya salah satu ekspansi infrastruktur digital terbesar dalam sejarah perusahaan teknologi.
Namun untuk membiayai ekspansi besar tersebut, Microsoft tampaknya harus memangkas biaya di area yang dianggap tidak strategis. Salah satu indikator utama dalam strategi ini adalah peningkatan “revenue per employee” atau pendapatan per karyawan. Dalam laporan keuangan kuartal terakhir, Microsoft berhasil meningkatkan margin operasionalnya hingga 44 persen, sebagian besar karena efisiensi tenaga kerja yang diterapkan sejak awal 2023. Analis di Barron’s menilai bahwa Microsoft sedang mengarahkan fokusnya dari skala tenaga kerja besar menuju produktivitas tinggi berbasis AI dan otomatisasi.
Langkah ini mencerminkan tren yang lebih luas di industri teknologi. Perusahaan seperti Amazon, Google, Meta, dan Salesforce juga telah memangkas puluhan ribu pekerjaan sejak awal 2023, semuanya dengan dalih rasionalisasi biaya dan orientasi ulang terhadap AI. Namun Microsoft tampaknya menjadi pemimpin dalam implementasi konkrit dari strategi ini, menjadikan AI sebagai inti dari restrukturisasi tenaga kerja. Pada awal tahun, Microsoft juga menghapus beberapa tim desain UX dan AI ethics, memicu perdebatan soal keseimbangan antara otomatisasi dan nilai-nilai manusia dalam pengembangan teknologi.
Bagi karyawan, pengumuman PHK ini tentu bukan kabar menggembirakan. Beberapa sumber internal menyebutkan bahwa suasana kerja di markas besar Microsoft di Redmond dan kantor cabang lainnya mulai terasa tidak pasti. Banyak tim yang belum menerima kejelasan apakah mereka akan terdampak, dan tingkat stress meningkat karena kekhawatiran akan kehilangan pekerjaan secara tiba-tiba. Meski Microsoft biasanya menawarkan pesangon yang kompetitif dan dukungan transisi karier, tekanan psikologis dari ketidakpastian tetap terasa berat.
Microsoft sendiri belum menyampaikan pengumuman resmi mengenai PHK gelombang Juli ini, kemungkinan menunggu hingga tahun fiskal baru dimulai. Namun berdasarkan pola tahun-tahun sebelumnya, pengumuman besar seperti ini biasanya dilakukan dalam minggu pertama Juli. Beberapa sumber menyebutkan bahwa proses offboarding sudah mulai disiapkan sejak pertengahan Juni, termasuk notifikasi kepada manajer dan divisi HR untuk melakukan penilaian peran kritikal dan non-kritikal di tiap unit kerja.
Saham Microsoft tetap melaju ke rekor tertinggi dalam beberapa minggu terakhir, mencapai US$480 per lembar pada pertengahan Juni. Para investor menanggapi langkah efisiensi ini sebagai sinyal positif bahwa Microsoft bersiap mengeksekusi strategi jangka panjangnya secara disiplin. Fokus pada profitabilitas, efisiensi biaya, dan transisi menuju perusahaan AI-first membuat Microsoft dinilai sebagai salah satu perusahaan paling siap dalam menyambut perubahan lanskap digital global. Analis dari Morgan Stanley bahkan menaikkan proyeksi target saham Microsoft menjadi US$510 dalam 12 bulan ke depan.
Namun beberapa pihak memperingatkan bahwa efisiensi yang terlalu agresif bisa merusak semangat kerja dan inovasi jangka panjang. Karyawan yang tersisa harus menanggung beban kerja lebih besar, dan hilangnya tenaga berpengalaman bisa menciptakan celah dalam kompetensi tim. Selain itu, perusahaan juga menghadapi tantangan etis terkait penggunaan AI untuk menggantikan manusia. Jika tidak dikelola dengan hati-hati, Microsoft berisiko menghadapi resistensi internal atau bahkan krisis reputasi, terutama bila pemangkasan dianggap tidak proporsional atau mengorbankan keberagaman talenta.
Di tengah semua ini, manajemen Microsoft harus menjaga keseimbangan antara pertumbuhan dan keberlanjutan. Perusahaan saat ini berada pada titik transformasi besar: dari raksasa perangkat lunak menuju platform AI global yang mendefinisikan ulang cara kerja modern. Tantangan ke depan adalah bagaimana memastikan bahwa pergeseran ini tidak hanya efisien secara finansial, tetapi juga berakar pada prinsip inklusi, keadilan, dan keberlanjutan.
Bagi pasar tenaga kerja teknologi secara umum, langkah Microsoft memberi sinyal kuat bahwa era pertumbuhan kuantitatif berbasis ekspansi SDM besar mungkin telah usai. Di era baru ini, perusahaan akan lebih memilih tim kecil, terlatih, dan dipersenjatai dengan teknologi pintar ketimbang organisasi besar yang padat birokrasi. Dengan demikian, kemampuan adaptasi, pembelajaran ulang (reskilling), dan keterampilan AI akan menjadi nilai jual utama dalam pasar kerja digital yang terus berubah.
PHK massal Microsoft ini, sekaligus rencana investasi AI-nya, menunjukkan bahwa transformasi digital bukan lagi isu teknologi semata, melainkan strategi korporasi penuh yang menyentuh semua aspek: keuangan, sumber daya manusia, nilai saham, bahkan nilai sosial. Bagi Microsoft, langkah-langkah ini adalah taruhan besar yang harus dibayar di muka. Apakah hasil akhirnya akan membawa perusahaan ke puncak keunggulan AI dunia, atau justru menimbulkan krisis internal yang lebih dalam, masih menjadi pertanyaan yang hanya waktu yang bisa menjawabnya.