(Business Lounge – Global News) Hermès terus mempertahankan posisinya sebagai puncak eksklusivitas dunia tas mewah dengan pendekatan yang sangat terkontrol terhadap produksi, distribusi, dan persepsi. Selama lebih dari dua dekade, tas Birkin dan Kelly telah menjadi simbol status tertinggi karena kelangkaannya, nilai jual kembalinya yang tinggi, dan sistem distribusi berbasis loyalitas. Sementara banyak merek mencoba meniru keberhasilan ini, Chanel tampaknya masih belum berhasil, dan sebuah merek Amerika bernama The Row justru menunjukkan bahwa strategi menyaingi Birkin tak selalu soal harga—tetapi tentang pengendalian kelangkaan secara konsisten.
Menurut laporan dari The Wall Street Journal, Chanel telah menaikkan harga tas Classic Flap hingga 86 persen sejak tahun 2019. Kini tas tersebut dijual seharga US$10.800 di pasar AS, naik signifikan dari sekitar US$5.800 lima tahun lalu. Kenaikan tajam ini dimaksudkan untuk mendorong persepsi eksklusivitas, selaras dengan strategi Hermès yang telah lama menjaga harga tinggi pada produk-produknya. Namun, tak seperti Hermès, Chanel tidak berhasil mempertahankan nilai jual kembali. Data pasar sekunder menunjukkan bahwa Chanel Classic Flap hanya mempertahankan sekitar 77 persen dari harga ritelnya, bahkan menurun dari angka 83 persen pada tahun 2019.
Hal ini berbeda dengan Hermès Birkin, yang tidak hanya langka, tetapi juga secara rutin dijual di pasar sekunder dengan nilai yang melampaui harga ritelnya. Tas Birkin 25 Togo, misalnya, dibanderol sekitar US$11.400 secara resmi, namun di platform seperti Fashionphile atau Privé Porter, tas tersebut dijual dengan harga antara US$20.000 hingga US$28.000, tergantung warna dan bahan. Resale value-nya bisa melebihi 120 persen dari harga baru. Itulah bentuk konkret dari strategi eksklusivitas yang berhasil.
Salah satu perbedaan mendasar adalah bahwa Hermès secara konsisten mengendalikan volume produksi dan mempertahankan kontrol distribusi yang ketat. Pelanggan tidak bisa membeli Birkin begitu saja—mereka harus membangun histori pembelian, menjalin hubungan dengan sales associate, dan sering kali menunggu bertahun-tahun untuk ditawari satu tas. Hermès juga tidak pernah menjual tas Birkin secara online, menambah aura misteri dan keinginan. Strategi ini menciptakan kombinasi kelangkaan nyata dan eksklusivitas persepsi yang sangat kuat.
Chanel, di sisi lain, telah mencoba meniru strategi ini. Mereka membatasi jumlah tas yang bisa dibeli per pelanggan per tahun, serta mulai menerapkan sistem ritel yang lebih tertutup, termasuk tidak menampilkan seluruh koleksi di toko, membatasi stok, dan menolak penjualan online untuk item-item tertentu. Namun kendala besar Chanel adalah konsistensi kualitas dan persepsi pasar. Banyak penggemar lama Chanel yang mulai meragukan nilai atas harga yang terus naik, sementara kualitas material dan pengerjaan tidak dianggap meningkat.
Sebagian konsumen bahkan menyatakan bahwa Chanel tampak lebih fokus pada strategi harga daripada membangun hubungan emosional dengan pelanggan atau meningkatkan kualitas barang. Dalam forum-forum komunitas penggemar tas mewah seperti PurseBlog atau r/LuxuryFashion di Reddit, terdapat banyak diskusi tentang kualitas lining yang semakin tipis, hardware yang mudah mengelupas, hingga perbedaan struktur jahitan dibandingkan produksi Chanel pada dekade sebelumnya. Ini membuat pembeli mulai mempertanyakan rasionalitas membayar US$11.000 untuk produk yang secara perseptual tidak lebih unggul dari masa lalu.
Dalam konteks ini, merek The Row yang didirikan oleh Mary-Kate dan Ashley Olsen muncul sebagai kejutan. Merek ini berhasil menyaingi Birkin bukan dengan meniru langsung, tetapi dengan menerapkan prinsip dasar yang sama: produksi terbatas, pemasaran minimalis, dan kontrol distribusi ketat. Tas Margaux buatan The Row tidak memiliki logo mencolok, tidak dipromosikan besar-besaran, dan hanya tersedia di toko tertentu dalam jumlah sangat terbatas. Namun hal ini justru menciptakan kelangkaan yang otentik, dan harga resale-nya kini naik lebih dari 40 persen dari harga ritel aslinya sekitar US$4.700.
Strategi The Row sangat sederhana namun efektif: jangan buat terlalu banyak tas, dan biarkan pasar menentukan nilai mereka. Margaux hadir dalam variasi ukuran dan bahan, dari kulit halus hingga suede, dan perubahan setiap musim membuat modelnya tetap segar tanpa harus melakukan kampanye pemasaran masif. Akibatnya, banyak pembeli mode minimalis dan berpengaruh mulai beralih ke The Row sebagai simbol eksklusivitas baru, menggantikan dominasi brand besar Eropa yang dianggap terlalu massal atau terlalu fokus pada branding.
Dalam skala yang lebih luas, ini mencerminkan pergeseran dalam pasar barang mewah. Konsumen generasi baru cenderung lebih menghargai eksklusivitas berbasis desain dan nilai jangka panjang daripada sekadar logo atau harga tinggi. Mereka mengikuti akun reseller, menganalisis nilai jual kembali, dan memahami bahwa tas dengan stok terbatas dan identitas kuat lebih bernilai daripada tas yang banyak beredar meski mahal. Hermès telah memahami ini sejak lama. The Row menerapkannya secara presisi. Chanel tampaknya masih dalam tahap eksperimen, dan hasilnya sejauh ini belum terlalu menggembirakan.
Bagi para analis industri mode dan barang mewah, pelajaran utamanya adalah bahwa menaikkan harga saja tidak cukup. Eksklusivitas sejati tidak dibangun dari angka semata, tetapi dari narasi, kualitas, dan kontrol distribusi. Bahkan strategi pembatasan pembelian Chanel belum mampu menghilangkan persepsi bahwa tas mereka kini terlalu mudah didapatkan—bahkan di pasar sekunder. Bandingkan dengan Hermès, di mana peluang untuk membeli Birkin pun bisa menjadi headline tersendiri bagi para penggemar mode.
Jika Chanel ingin benar-benar menyaingi Hermès di ranah eksklusivitas, mereka mungkin perlu lebih dari sekadar pembatasan kuota dan kenaikan harga. Dibutuhkan peningkatan kualitas produk, komunikasi yang lebih autentik dengan konsumen, serta keberanian untuk mengurangi produksi dalam jangka panjang. Namun langkah ini berisiko pada profitabilitas jangka pendek, karena mengurangi volume berarti mengurangi pendapatan ritel. Pertanyaannya adalah apakah Chanel siap untuk mengorbankan angka penjualan demi reputasi jangka panjang.
Sementara itu, Hermès tetap berjalan dengan filosofi konservatif mereka: jangan terlalu banyak bicara, jangan terlalu banyak membuat, dan jangan terlalu mudah menjual. Strategi ini berhasil mempertahankan keunggulan mereka dalam pasar barang mewah bahkan di tengah perubahan besar industri. Mereka memahami bahwa dalam dunia eksklusif, lebih sedikit memang berarti lebih kuat. Chanel mungkin mencoba mengejar, tetapi dalam lomba eksklusivitas, tidak semua merek bisa menempuh jalur yang sama dan mencapai tujuan yang setara.