(Business Lounge Journal – News and Insight)
Ekosistem startup dunia saat ini terbelah menjadi dua kutub: mereka yang sejak awal dibangun berbasis kecerdasan buatan (AI-native), dan mereka yang masih menambahkan AI sebagai fitur tambahan. Yang pertama akan memimpin masa depan. Yang kedua — jika tidak berbenah — akan tertinggal.
Kecerdasan buatan kini menjadi jargon di mana-mana — dari perangkat rumah tangga hingga software keuangan. Namun, di balik semua label “AI”, tidak semua inovasi memiliki nilai strategis yang sama. Yang perlu dibedakan secara tegas adalah antara startup yang benar-benar AI-native (dibangun sejak awal dengan AI sebagai inti produk atau model bisnisnya) dan startup yang hanya menambahkan fitur AI belakangan, seberapa canggih pun fitur itu.
Mengapa hal ini penting? Karena arah kebijakan publik, fokus investasi, hingga strategi ekosistem startup sangat bergantung pada pemahaman ini. Salah arah akan membuat sumber daya terbuang untuk solusi dangkal — bukan transformasi jangka panjang.
Studi terbaru dari Global Startup Ecosystem Report 2024 menganalisis:
- Lebih dari 5 juta perusahaan
- 350 ekosistem startup di seluruh dunia
- Data dari Crunchbase, Dealroom, Pitchbook, dan mitra lokal
Tujuannya jelas: mengukur kesenjangan antara negara dan kota yang menjadi pelopor AI-native, dan mereka yang masih tertinggal.
Tiga Temuan Utama: Kesenjangan yang Meningkat Tajam
1. Pendanaan AI Terpusat di Segelintir Wilayah
AI adalah medan persaingan yang sangat timpang. Tiga wilayah saja menguasai hampir 80% dari seluruh pendanaan global untuk startup AI-native:
- Silicon Valley (Amerika Serikat): 65,1%
- Beijing (Tiongkok): 10%
- Paris (Prancis): 4,3%
Artinya, sebagian besar inovasi AI di dunia masih bersumber dari ekosistem yang itu-itu saja. Negara atau kota lain perlu bertanya: mengapa kami tidak masuk dalam peta ini?
2. Hanya Delapan Ekosistem yang Benar-Benar AI-Native
Dari 40 ekosistem teknologi global terbesar, hanya delapan yang mengalokasikan lebih dari 15% pendanaan mereka ke startup AI-native. Ini menjadi indikator penting seberapa serius sebuah wilayah menempatkan AI sebagai prioritas, bukan hanya trend.
Ekosistem yang masuk kategori AI-native cenderung memiliki:
- Ketersediaan talenta AI lokal
- Akses ke data dan infrastruktur komputasi
- Pendanaan tahap awal yang siap ambil risiko
- Kemitraan strategis dengan universitas, pemerintah, dan korporasi
3. Banyak Pusat Teknologi Dunia Justru Terancam Tertinggal
Beberapa kota yang selama ini dianggap pemimpin teknologi dunia justru terlihat lambat beradaptasi dengan era AI. Tiga contohnya:
- Los Angeles: Kuat di media dan hiburan, namun hanya 8,7% dana investasinya masuk ke AI-native.
- Tel Aviv-Jerusalem: Unggul di keamanan siber, namun AI-nya hanya 6,5%.
- London: Fintech top Eropa, tapi pendanaan AI-nya baru 5,8%.
Mereka bukan satu-satunya. 27 dari 40 ekosistem startup terbesar dunia saat ini masih “AI-late” — artinya kurang dari 10% pendanaannya ditujukan untuk perusahaan yang benar-benar AI-native.
Harga dari Keterlambatan: Tiga Risiko Eksistensial
Jika ekosistem tidak segera mengutamakan inovasi AI-native, mereka akan menghadapi risiko besar:
- Penurunan Ekonomi: Potensi pertumbuhan GDP hilang, perusahaan pindah lokasi, dan basis pajak menyusut. PwC memperkirakan AI dapat menambah $15,7 triliun ke ekonomi global pada 2030.
- Talenta Mengalir ke Luar: Inovator dan modal cenderung memilih ekosistem yang siap dan mendukung pengembangan AI sejak awal.
- Kerentanan Strategis: Ekosistem AI-native akan menjadi pengendali inovasi di sektor-sektor vital seperti pertahanan, kesehatan, dan energi.
Jalan Keluar: Lima Langkah Non-Negosiasi
Kabar baiknya: belum terlambat. Namun, jendela peluang ini semakin menyempit. Diperlukan tindakan strategis dan berani sekarang juga. Berikut lima hal yang tidak bisa ditawar:
- Dukung Founder AI-Native: Bangun ekosistem yang memberi ruang dan dorongan kepada pendiri baru untuk menciptakan startup berbasis AI dari awal.
- Rebut Talenta AI: Berikan insentif, akses data, dan misi berdampak sosial agar talenta AI memilih startup, bukan hanya korporasi besar.
- Perkuat Program Inkubasi: Kurangi tingkat kegagalan startup AI dengan program khusus dan pendampingan intensif.
- Tingkatkan Pendanaan Lokal: Ciptakan jaringan investor yang berani mengambil risiko awal dan mendukung putaran pendanaan yang setara dengan Silicon Valley.
- Libatkan Korporasi Lokal: Jadikan perusahaan besar sebagai mitra strategis — bukan hanya penyandang dana, tetapi juga sumber data dan pelanggan pertama.
AI adalah Game Changer — Tapi Hanya Bagi yang Siap
Kita sedang memasuki dekade di mana inovasi tidak akan hanya soal siapa yang cepat, tapi siapa yang benar-benar AI-native. Negara dan kota yang mampu membangun AI-first infrastructure akan memimpin bukan hanya ekonomi digital, tapi arah masa depan dunia. Jika Indonesia ingin bersaing dalam ekonomi masa depan, investasi dalam ekosistem AI-native bukan lagi pilihan — tapi keharusan. Indonesia memiliki modal awal: jumlah penduduk yang besar, pertumbuhan digital yang cepat, dan ekosistem startup yang semakin matang. Namun tanpa arah yang jelas ke AI-native, semua potensi ini bisa sia-sia.
Pertanyaannya sekarang: apakah ekosistem Anda akan menjadi pelopor, atau hanya jadi penonton? Apakah kita perlu AI dan apakah kita cukup cepat membangunnya dari fondasi.