(Business Lounge Journal – Entrepreneurship)
Dalam dunia bisnis dan kewirausahaan, sudah lama para ahli memperdebatkan bagaimana seseorang bisa menjadi seorang pengusaha. Apakah pengusaha itu “terlahir” dengan bakat dan keterampilan alami? Atau, apakah keterampilan kewirausahaan dapat dikembangkan melalui pelatihan, pendidikan, dan pengalaman? Pertanyaan-pertanyaan ini merefleksikan perdebatan klasik “nature versus nurture” atau “terlahir versus terbentuk,” yang berusaha menjelaskan faktor-faktor pembentukan karakter seseorang.
Perdebatan ini sudah berlangsung selama berabad-abad. Di Yunani kuno, Plato mendukung argumen “nature” atau sifat bawaan, sedangkan Aristoteles lebih memihak pada perspektif “nurture” atau pengaruh lingkungan. Pada masa Pencerahan abad ke-18, Immanuel Kant dan John Locke juga memiliki pandangan berbeda: Kant percaya pada pentingnya ketaatan, sedangkan Locke mendukung kebebasan dan kreativitas. Perspektif ini terus berkembang seiring dengan kajian para psikolog yang mencoba memahami bagaimana individu memperoleh pengetahuan serta menambah faktor-faktor seperti kecerdasan, kepribadian, dan kesehatan mental dalam analisis mereka.
Sebuah studi yang dipimpin oleh Scott Shane, profesor studi kewirausahaan di Case Western Reserve University, menggunakan pasangan kembar sebagai subjek penelitian. Shane menemukan bahwa faktor “terlahir” menyumbang sekitar 40 persen terhadap perilaku kewirausahaan, sedangkan faktor “terbentuk” atau pengaruh lingkungan menyumbang 60 persen. Meskipun demikian, para peneliti dan pengusaha berpengalaman menyarankan pandangan yang lebih seimbang: menggabungkan bakat alami dengan pelatihan dan pengembangan diri dapat menciptakan pengalaman kewirausahaan yang holistik.
Menurut The Global Startup Ecosystem Report 2024, dua ekosistem teratas untuk para entrepreneur yang terus bertahan mempertahankan posisi yang sama dari tahun 2020, adalah Silicon Valley yang tetap berada di puncak, serta New York City yang berada di posisi kedua. (Baca: The Global Startup Ecosystem Report 2024: Silicon Valley Tetap yang Pertama di Dunia – Jakarta yang ke-2 di Asia Tenggara). Namun Silicon Valley secara bertahap telah menjadi ekosistem startup teratas dunia sejak dekade 1950-an dan 1960-an. Ya, Amerika Serikat memang dapat dikatakan menjadi acuan bagi banyak negara dalam hal kewirusahaan, coba kita lihat evolusi kewirausahaan di sana.
Perspektif Sejarah tentang Kewirausahaan di Amerika Serikat
Evolusi kewirausahaan di Amerika Serikat mencakup perjalanan berabad-abad di mana para pengusaha merespons dan berinovasi sesuai dengan kondisi politik dan ekonomi yang ada. Semangat ekonomi dan industri Amerika menginspirasi generasi pengusaha untuk terus berkembang.
Pada akhir tahun 1700-an, suku Chippewa Pembina yang tinggal di sepanjang Sungai Merah di Dakota Utara dan Minnesota memproduksi pemmican, yaitu dendeng yang terbuat dari daging kerbau atau ikan untuk bertahan hidup di musim dingin yang keras. Pemmican dari Pembina ini menjadi komoditas dagang yang diperdagangkan secara internasional dengan para penjelajah dari Prancis, Kanada, Inggris, dan lainnya.
Lalu, pada tahun 1880-an, Madam C.J. Walker, seorang pengusaha perawatan rambut Afrika-Amerika, mengembangkan dan memasarkan produknya di seluruh Amerika Serikat. Dia mendirikan serikat pekerja dan asosiasi kosmetik untuk mempekerjakan perempuan kulit hitam dan menciptakan lapangan kerja bagi mereka. Kemudian, pada tahun 1930-an, Charles Drew mendirikan bank darah nasional di Amerika Serikat sebagai respons terhadap kebutuhan cepat akan darah pada masa Perang Dunia II.
Kewirausahaan Kolonial Amerika: 1607–1776
Konsep awal dari seorang “pengusaha” dapat ditelusuri ke masa ini, berasal dari bahasa Prancis “entreprendre” yang berarti “melakukan sesuatu” atau “memulai sesuatu.” Jean-Baptiste Say, seorang filsuf dan ekonom Prancis, mendukung gagasan penghapusan pembatasan bisnis untuk mendukung pertumbuhan ekonomi, yang kemudian menjadi dasar konsep wirausaha modern.
Para pionir dengan semangat kewirausahaan di Amerika kolonial termasuk para pedagang, pemilik tanah, dan pembuat kapal. Mereka memanfaatkan berbagai inovasi seperti pencetakan, akuntansi berpasangan, dan perbaikan desain kapal. Bahkan, paten pertama di Amerika Utara diberikan pada tahun 1641 untuk proses pembuatan garam. Semangat kewirausahaan ini membantu membentuk lanskap ekonomi yang bertahan hingga generasi berikutnya.
Revolusi Industri Pertama: 1776–1865
Revolusi Industri Pertama ditandai dengan ledakan aktivitas penemuan oleh para penemu besar seperti Eli Whitney dengan gin kapasnya dan Samuel Morse dengan telegraf. Sementara Andrew Carnegie, seorang industrialis, mengadopsi teknik baru untuk meningkatkan produksi baja dan mempraktikkan integrasi vertikal untuk mengontrol rantai pasokan yang relevan. Carnegie juga menjadi salah satu filantropis pertama yang memberikan kekayaannya untuk mendukung perpustakaan, aula konser, dan penelitian ilmiah.
Pionir-pionir kewirausahaan ini, bersama banyak lainnya, mencari cara untuk mendapatkan pengembalian investasi dari sebuah penemuan dan melindungi hak mereka melalui paten. Namun, paten pada masa itu lebih sulit diakses oleh kelompok yang terpinggirkan. Sebagai contoh, Sybilla Masters, seorang perempuan penemu, harus mendaftarkan patennya atas nama suaminya karena perempuan pada masa itu tidak diperbolehkan memiliki paten atau hak milik.
Revolusi Industri Kedua: 1865–1920
Revolusi Industri Kedua membawa perubahan besar yang turut membentuk permintaan konsumen terhadap inovasi terbaru, baik dari perusahaan besar maupun kecil. Era ini menghadirkan terobosan dalam berbagai bidang, mulai dari kimia, teknik, hingga medis. Para ekonom abad ke-19 seperti Jean-Baptiste Say dan John Stuart Mill (1806–1873) menyempurnakan definisi “wirausaha” yang mengacu pada seseorang yang menciptakan nilai dengan mengelola sumber daya secara efektif untuk produktivitas yang lebih baik dan berani mengambil risiko finansial.
Setelah Perang Saudara AS dan memasuki tahun 1870-an, berbagai industri berkembang pesat dengan adanya peningkatan dalam organisasi produksi seperti penyimpanan kilang minyak dan produksi massal, serta sistem teknologi seperti listrik dan telepon. Selain itu, banyak penemuan baru seperti peningkatan produksi baja, pewarna kimia, mesin diesel dan bensin, pesawat terbang, serta teknologi pendingin untuk pengolahan makanan. Semakin meningkatnya aktivitas wirausaha dan permintaan produktivitas menjadikan Amerika Serikat sebagai tanah peluang bagi banyak orang.
Masa Antara Perang Dunia dan Pasca-Perang: 1920–1975
Ketika Perang Dunia I dimulai, ekonomi AS sedang dalam masa resesi, tetapi meningkat pesat setelah AS terlibat dalam perang pada 1917. Dari perspektif kewirausahaan, Perang Dunia I mendorong kemajuan di bidang militer dan komunikasi, serta perbaikan dalam proses produksi. Namun, setelah pasar saham jatuh pada tahun 1929 dan Depresi Besar melanda, inovasi melambat, dan banyak bisnis kecil ditelan oleh korporasi besar yang lebih stabil. Setelah Perang Dunia II, masyarakat Amerika mulai bergantung pada perusahaan besar yang menawarkan stabilitas dan keamanan kerja. Pada masa ini, konsep “wirausaha korporat” mulai muncul, di mana perusahaan besar mendanai pengembangan ide-ide baru melalui proses penelitian dan pengembangan yang sesuai dengan strategi perusahaan.
Meskipun kewirausahaan tidak sepenuhnya hilang, pertumbuhannya melambat secara luar biasa dibandingkan tahun-tahun sebelumnya dan beralih ke kewirausahaan korporat, di mana perusahaan besar mendanai pengembangan ide, peluang, atau usaha baru melalui proses penelitian dan pengembangan formal yang berfokus pada strategi dan tujuan perusahaan itu sendiri. Beberapa perusahaan yang muncul selama periode ini: Pada tahun 1940-an ada Minute Maid, Sony, 20th Century Fox Television, pada tahun 1950-an ada Burger King dan McDonald’s, pada tahun 1960-an ada Walmart, Comcast, Nike, MasterCard, Southwest Airlines, dan The Gap, sedangkan pada tahun 1970-an ada Urban Outfitters, Strabucks, Microsoft, dan Apple.
Ekonom Joseph Schumpeter (1883–1950) memperkenalkan konsep-konsep penting seperti “semangat wirausaha” dan “kreatif destruktif”, di mana inovasi selalu menghancurkan struktur lama untuk membentuk yang baru. Menurut Schumpeter, perusahaan lebih mampu mendukung penelitian dan pengembangan yang dapat berdampak ekonomi, sementara William Whyte, seorang sosiolog, berpendapat bahwa budaya wirausaha Amerika telah berubah, lebih menekankan pada etika sosial perusahaan daripada pada nilai-nilai kewirausahaan tradisional seperti kemandirian.
Ekonomi Pengetahuan: 1975 hingga Sekarang
Pada pertengahan 1970-an, janji kehidupan korporat mulai kehilangan daya tariknya bagi individu yang berjiwa wirausaha. Seiring perkembangan pesat teknologi, perusahaan besar yang dulunya kecil seperti Apple, Microsoft, 3M, dan Google kini menguasai pasar. Perusahaan-perusahaan ini awalnya adalah startup kecil yang berjuang melawan perusahaan besar dan berhasil menciptakan atau merevolusi industri yang ada.
Di era modern, kesempatan baru di dunia teknologi menarik individu yang siap bersaing dengan raksasa teknologi. Semua perusahaan, besar atau kecil, kini menginginkan tenaga kerja yang lebih terdidik dengan gelar khusus dalam bidang kewirausahaan atau administrasi bisnis. Di era ini, muncul para wirausahawan baru yang memimpin perusahaan-perusahaan startup untuk menjadi perusahaan besar yang sukses.
Dengan perkembangan ini, perusahaan-perusahaan seperti Apple dan Microsoft yang dulunya disruptor kini menjadi raksasa baru. Meski begitu, masih terbuka peluang bagi inovator yang siap menciptakan atau mengubah industri yang ada di era ekonomi pengetahuan ini.
Pada akhirnya, kisah perjalanan para pengusaha ini menjadi bukti bahwa baik faktor bawaan maupun pengalaman dan pembelajaran memainkan peran penting dalam menciptakan wirausaha yang sukses. Perjalanan panjang ini menunjukkan bagaimana kewirausahaan telah berkembang dan beradaptasi dari masa ke masa, menciptakan dampak yang kuat pada ekonomi dan kehidupan banyak orang di seluruh dunia.