Silicon Valley

Hollywood dan Silicon Valley Bentrok soal Hak Cipta AI

(Business Lounge-Global News) Amerika Serikat saat ini tengah menjadi medan utama pertempuran besar antara dua kekuatan industri Hollywood dan Silicon Valley. Di satu sisi, para pembuat film, penulis skenario, musisi, dan seniman visual menuntut perlindungan hukum yang lebih tegas atas karya mereka dari eksploitasi oleh kecerdasan buatan. Di sisi lain, raksasa teknologi seperti OpenAI, Google, Meta, dan Microsoft bersikukuh bahwa pelatihan model AI dengan materi berhak cipta adalah hal sah dan krusial bagi kemajuan teknologi Amerika. Perseteruan ini telah berpindah dari ranah debat etika ke pertarungan hukum dan legislasi konkret di Washington dan pengadilan federal.

Sebagaimana dilaporkan oleh The Wall Street Journal, berbagai studio besar dan organisasi kreator, termasuk Writers Guild of America (WGA) dan Screen Actors Guild (SAG-AFTRA), secara aktif melobi Kongres AS untuk memperbarui undang-undang hak cipta agar secara eksplisit melarang penggunaan materi berhak cipta dalam pelatihan model AI tanpa izin. Mereka berargumen bahwa praktik yang dilakukan oleh perusahaan AI saat ini—mengambil jutaan skrip, buku, film, lagu, dan ilustrasi untuk mengajar sistem cerdas—adalah bentuk pelanggaran sistemik atas hak kekayaan intelektual.

Namun para pembela industri teknologi menegaskan bahwa pelatihan AI membutuhkan volume data yang sangat besar untuk menghasilkan sistem yang andal dan fungsional. Dalam sidang kongres baru-baru ini, perwakilan OpenAI dan Google mengatakan bahwa penggunaan data publik, termasuk karya berhak cipta yang tersedia secara online, dilindungi oleh prinsip fair use dalam hukum AS—sebuah pengecualian hukum yang memungkinkan penggunaan terbatas atas karya berhak cipta tanpa perlu izin eksplisit, terutama untuk tujuan pendidikan, kritik, atau transformasi teknologi.

Menurut Bloomberg, argumen ini menjadi jantung dari strategi hukum para perusahaan teknologi. Mereka menyatakan bahwa pelatihan AI merupakan bentuk penggunaan transformatif karena hasil akhirnya bukan replika karya asli, melainkan model statistik yang mampu menghasilkan teks, gambar, atau suara baru berdasarkan pemahaman semantik dan pola—bukan penyalinan langsung.

Namun para seniman membantah keras. Penulis naskah pemenang Emmy, Lisa Joy, mengatakan dalam sebuah forum publik bahwa “menggunakan karya saya untuk melatih AI, tanpa izin atau kompensasi, seperti mengambil isi kepala saya lalu menjualnya kembali ke saya.” Kekhawatiran ini mencerminkan keresahan luas di kalangan pekerja kreatif yang melihat teknologi AI bukan sekadar alat bantu, tetapi potensi pengganti.

Kekhawatiran itu bukan tanpa dasar. Model AI seperti ChatGPT, Gemini, dan Claude kini dapat menghasilkan sinopsis film, dialog, puisi, hingga storyboard visual hanya dengan beberapa perintah teks. Sementara generator musik dan gambar seperti Suno, Midjourney, dan DALL·E mampu menciptakan karya yang mendekati kualitas profesional dalam hitungan detik. Kemampuan ini menimbulkan pertanyaan etis besar: jika karya yang dihasilkan AI berdasarkan pelatihan atas data karya manusia, siapakah yang berhak atas nilai ekonominya?

Beberapa kreator telah membawa kasus ini ke pengadilan. Penulis buku seperti Sarah Silverman dan musisi seperti Drake terlibat dalam gugatan terhadap OpenAI dan perusahaan lain karena menggunakan karya mereka dalam pelatihan tanpa izin. Demikian pula dengan Getty Images, yang menggugat Stability AI atas pelatihan model gambar dengan menggunakan jutaan foto dari arsipnya. Gugatan-gugatan ini bisa menjadi preseden penting dalam menentukan masa depan hukum hak cipta era AI.

Namun hukum hak cipta di Amerika Serikat saat ini belum dirancang untuk menghadapi situasi semacam ini. Undang-undang yang ada sebagian besar lahir pada abad ke-20, ketika konteks digital dan pembelajaran mesin belum dipertimbangkan. Kini, para pembuat kebijakan di Washington menghadapi tekanan besar dari kedua belah pihak: kreator yang menuntut perlindungan lebih besar, dan perusahaan teknologi yang memperingatkan bahwa pembatasan berlebihan bisa menghambat inovasi Amerika di tengah kompetisi global dengan Tiongkok dan Eropa.

Dalam sebuah sidang Kongres bulan lalu, Senator dari Partai Republik dan Demokrat menunjukkan perbedaan pandangan yang tajam. Sebagian menekankan pentingnya melindungi industri kreatif yang menjadi kekuatan budaya Amerika. Sebagian lain mendukung kebutuhan perusahaan AI untuk berkembang agar AS tetap memimpin dalam teknologi strategis. Tidak sedikit pula yang menyerukan solusi kompromi: sistem lisensi kolektif, pelabelan wajib untuk konten buatan AI, atau bahkan pajak khusus atas penggunaan data berhak cipta.

Sementara itu, di pengadilan, beberapa hakim mulai menunjukkan sikap skeptis terhadap argumen fair use yang terlalu luas. Hakim federal di New York, dalam salah satu kasus pelatihan model bahasa, mempertanyakan apakah penggunaan jutaan buku untuk tujuan komersial—meski tidak secara eksplisit mengutipnya dalam output—benar-benar bisa dianggap sebagai penggunaan yang sah. Putusan-putusan di pengadilan ini, yang diperkirakan keluar dalam 12–18 bulan ke depan, bisa menjadi dasar hukum baru dalam lanskap hak cipta digital.

Di tengah kekacauan ini, Hollywood mulai mengambil langkah-langkah preventif sendiri. Studio seperti Universal, Disney, dan Warner Bros telah mulai memasukkan klausul anti-AI dalam kontrak kerja mereka, melarang penggunaan AI untuk meniru suara atau wajah aktor tanpa izin. Beberapa agensi juga membuat platform internal untuk mendeteksi konten yang dihasilkan AI dan melacak potensi pelanggaran. Namun sejauh ini, upaya itu masih bersifat defensif.

Sebaliknya, perusahaan teknologi terus bergerak agresif. OpenAI, misalnya, tengah menjalin kerja sama dengan perusahaan media seperti The Associated Press dan Axel Springer untuk mengakses arsip konten secara sah melalui perjanjian lisensi. Google juga mulai melobi pemerintah dan menyusun kerangka kerja global untuk penggunaan data dalam pelatihan AI. Ini menunjukkan bahwa sebagian pemain teknologi mulai menyadari pentingnya pendekatan kolaboratif daripada konfrontatif.

Namun, bagi para kreator independen—penulis fiksi, pembuat lagu indie, seniman visual lepas—isu ini bukan soal lisensi korporat besar, melainkan soal hak eksistensial. Jika AI dapat menciptakan konten dengan kualitas sebanding, dan dilakukan dengan memanfaatkan karya mereka sebagai fondasi, maka insentif ekonomi untuk menjadi seniman bisa hilang. Ini bukan hanya masalah ekonomi, tapi juga identitas budaya.

Sejumlah organisasi advokasi seperti Author’s Guild dan Creative Commons mulai merancang sistem metadata baru yang memungkinkan seniman memberi tanda pada karya mereka untuk mengizinkan atau melarang penggunaan dalam pelatihan AI. Namun implementasi sistem seperti ini membutuhkan dukungan luas dan infrastruktur teknologi yang masih dalam tahap pengembangan.

Dari sisi publik, opini masih terbelah. Survei yang dilakukan oleh Pew Research Center menunjukkan bahwa sekitar 53% warga AS mendukung pembatasan penggunaan AI dalam meniru karya manusia, sementara 38% menganggap penggunaan karya lama untuk melatih AI sebagai hal yang dapat ditoleransi jika digunakan untuk inovasi. Sisanya belum memiliki pendapat atau menyatakan tidak cukup memahami isu ini.

Yang jelas, ketegangan antara kreativitas manusia dan kecanggihan mesin kini tidak lagi bersifat teoritis. Ini adalah persoalan hukum nyata, politik nyata, dan juga etika mendalam. Dan di tengah semua itu, pertanyaan utamanya tetap: siapa yang memiliki masa depan?

Dalam dunia di mana kecerdasan buatan semakin mampu memahami dan meniru ekspresi manusia, apakah kita akan tetap memberi nilai pada asal-usul karya dan proses penciptaannya? Atau apakah kita akan tergoda untuk hanya menilai efisiensi dan skalabilitas?

Seperti yang dicatat oleh The Wall Street Journal, pertempuran hak cipta AI ini bisa menjadi konflik budaya paling penting dalam dekade ini. Dan hasilnya akan membentuk bukan hanya industri hiburan atau teknologi, tetapi juga definisi kita tentang kreativitas itu sendiri.