(Business Lounge – Lead and Follow) Salah satu kunci keberhasilan dalam mengadopsi coaching sebagai gaya kepemimpinan bukan hanya mengetahui tekniknya, tetapi menjadikannya sebuah kebiasaan yang tertanam dalam perilaku sehari-hari. Dalam buku The Coaching Habit, Michael Bungay Stanier membongkar rahasia ilmiah di balik perubahan perilaku dan menyusun formula praktis untuk membangun kebiasaan coaching secara berkelanjutan. Artikel ini akan mengulas secara mendalam strategi membentuk kebiasaan, dan memberikan kerangka aplikatif yang lebih kuat agar coaching benar-benar hidup dalam budaya organisasi.
Perubahan perilaku itu sulit, tapi bisa dilatih
Coaching pada dasarnya adalah tentang mengubah perilaku, lebih banyak bertanya, lebih sedikit memberi perintah. Meskipun konsepnya sederhana, mengubah kebiasaan lama tidaklah mudah. Stanier mengingatkan kita bahwa niat baik saja tidak cukup. Banyak dari kita pernah berjanji untuk berhenti mengecek email saat bangun tidur, mulai meditasi setiap pagi, atau makan siang tanpa menatap layar komputer—namun kebiasaan lama sering kali mengambil alih.
Riset dari Universitas Duke menunjukkan bahwa 45% dari perilaku kita sehari-hari adalah otomatis. Ini artinya hampir setengah dari apa yang kita lakukan tidak kita pikirkan secara sadar. Otak kita cenderung kembali pada kebiasaan lama karena lebih hemat energi. Oleh karena itu, strategi membentuk kebiasaan coaching harus dibangun dengan memahami bagaimana otak membentuk kebiasaan.
James Clear dalam Atomic Habits juga memperkuat pandangan ini dengan menyebutkan bahwa “kita tidak naik ke level tujuan kita, kita jatuh ke level sistem kita.” Maka, jika kita ingin menjadi pemimpin yang mengadopsi coaching sebagai bagian dari gaya kepemimpinan, kita harus menciptakan sistem pendukung yang tepat.
Mitos 21 hari dan realitas neurologis
Salah satu mitos populer menyatakan bahwa jika kita melakukan sesuatu selama 21 hari berturut-turut, maka hal itu akan menjadi kebiasaan. Namun, Stanier membantahnya. Fakta ilmiah menunjukkan bahwa membentuk kebiasaan jauh lebih kompleks. Butuh lebih dari sekadar repetisi. Butuh struktur. Butuh alasan kuat. Dan butuh ketekunan.
Sebuah studi dari University College London menemukan bahwa waktu rata-rata untuk membentuk satu kebiasaan adalah 66 hari, bukan 21. Waktu tersebut bervariasi tergantung pada kompleksitas tindakan, konteks emosional, dan sistem dukungan di sekitarnya.
Lima komponen utama dalam membangun kebiasaan coaching
Stanier merumuskan lima komponen utama agar kebiasaan coaching dapat tumbuh secara organik dan bertahan dalam jangka panjang:
1. Alasan yang Kuat (Make a Vow)
Tanpa alasan yang kuat, perubahan akan mudah luntur. Anda perlu bertanya pada diri sendiri: “Mengapa saya ingin menjadi coach yang lebih baik?” Jika jawabannya hanya karena perusahaan mengharuskannya, motivasi itu tak akan bertahan lama. Namun jika Anda melihat bahwa dengan coaching, Anda bisa membantu anggota tim tumbuh, dan pada gilirannya, menciptakan dampak jangka panjang, maka komitmen Anda akan lebih dalam.
Contohnya, seorang manajer HR di perusahaan teknologi di Jakarta memutuskan membangun kebiasaan coaching karena ingin melihat karyawan barunya tidak cepat burnout. Dengan niat ini, dia merancang sesi coaching 5 menit tiap minggu dan merasakan penurunan turnover secara signifikan dalam 6 bulan.
2. Pemicu yang Jelas (Figure Out Your Trigger)
Kebiasaan tidak muncul dalam ruang hampa. Harus ada pemicu. Pemicu bisa berupa waktu, tempat, orang tertentu, atau situasi tertentu. Misalnya, jika Anda sering merasa tergoda untuk langsung menjawab pertanyaan anggota tim, jadikan momen tersebut sebagai pemicu untuk menahan diri dan bertanya dulu: “Menurutmu bagaimana?”
BJ Fogg dalam Tiny Habits menyarankan kita menempelkan kebiasaan baru pada kebiasaan lama. Contoh: “Setelah saya duduk di kursi kantor pagi hari, saya akan memilih satu rekan kerja dan bertanya satu pertanyaan coaching.”
3. Micro-Habit yang Spesifik dan Singkat (Double-S: Short & Specific)
Mulailah dari yang kecil. Coaching tidak harus berupa sesi 1 jam yang terjadwal. Anda bisa memulainya dengan satu pertanyaan sederhana dalam percakapan sehari-hari, seperti “Apa yang sedang mengganggu fokus kerjamu minggu ini?” atau “Apa satu hal yang bisa kamu lakukan untuk memperbaiki situasi ini?”
Kebiasaan yang terlalu kompleks akan sulit dijalankan. Buatlah langkah awal sespesifik mungkin. Sebagai contoh, alih-alih berkata “saya akan menjadi coach yang lebih baik”, lebih baik berkata“Saya akan mengajukan satu pertanyaan coaching dalam setiap rapat mingguan.”
4. Latihan Mendalam (Practice Deeply)
Latihan dalam konteks ini bukan sekadar pengulangan, tapi latihan sadar. Dan Coyle menyebut ini sebagai “deep practice”—di mana kita memecah kebiasaan menjadi bagian kecil, melakukan dengan kesadaran penuh, dan memperbaiki secara bertahap. Dalam konteks coaching, ini bisa berarti:
- Merekam percakapan coaching Anda dan meninjaunya kembali.
- Berlatih dengan rekan kerja menggunakan skenario simulasi.
- Mencatat reaksi dari pertanyaan coaching yang Anda ajukan.
Latihan yang berkualitas akan mempercepat proses pembentukan kebiasaan dan meningkatkan kepekaan Anda dalam memilih waktu, nada suara, dan jenis pertanyaan.
5. Rencana untuk Gagal (Plan How to Get Back on Track)
Gagal itu normal. Akan ada hari-hari di mana Anda lupa bertanya, tergoda untuk langsung memberi saran, atau merasa terlalu lelah untuk mendengar. Kuncinya adalah memiliki sistem pemulihan. Beberapa cara yang bisa dilakukan:
- Menulis jurnal harian tentang momen coaching dan refleksi pendek.
- Menjadwalkan pengingat mingguan untuk mengevaluasi konsistensi.
- Memiliki rekan kerja yang menjadi partner akuntabilitas Anda.
Dengan memiliki sistem “bounce back”, Anda tidak akan terjebak dalam rasa bersalah, tetapi justru akan lebih cepat kembali ke jalur.
Formula Praktis
Stanier menyarankan kerangka sederhana untuk membangun kebiasaan baru:
1. When This Happens… (Saat pemicu ini terjadi) 2. Instead of… (Alih-alih melakukan kebiasaan lama) 3. I Will… (Saya akan melakukan kebiasaan baru)
Contoh nyata:
- When: Seorang karyawan bertanya “apa yang harus saya lakukan?”
- Instead of: Memberikan solusi langsung
- I will: Bertanya, “Apa pilihan yang sudah kamu pikirkan?”
Kerangka ini bisa ditempel di meja kerja, ditulis di jurnal, atau dijadikan sebagai bagian dari refleksi mingguan.
Coaching itu harian, bukan acara khusus
Banyak orang menganggap coaching hanya terjadi dalam sesi formal. Padahal, kekuatan sesungguhnya terletak pada percakapan mikro yang terjadi setiap hari. Coaching adalah tentang membangun momentum kecil, bukan hanya perubahan besar. Setiap kali Anda bertanya dengan niat baik, mendengarkan dengan sungguh-sungguh, dan memberi ruang bagi orang lain untuk berpikir, Anda sedang menjalankan coaching.
Misalnya, dalam percakapan santai setelah rapat, Anda bisa berkata, “Apa hal paling menarik dari diskusi tadi menurutmu?” atau “Kalau kamu jadi pemimpin proyek ini, apa hal pertama yang akan kamu lakukan?” Pertanyaan seperti ini membuka ruang refleksi dan memberdayakan tanpa harus duduk di ruang coaching.
Coaching sebagai identitas, bukan sekadar tugas
Ketika coaching menjadi kebiasaan, ia tak lagi terasa seperti kewajiban. Ia berubah menjadi identitas. Anda bukan lagi seseorang yang melakukan coaching, melainkan seseorang yang adalah coach. Transformasi ini membutuhkan waktu, tetapi sangat mungkin tercapai.
Dengan menggabungkan motivasi personal, strategi berbasis riset, dan latihan yang konsisten, Anda bisa menjadikan coaching sebagai inti dari kepemimpinan Anda. Coaching tidak hanya mengubah cara Anda memimpin, tetapi juga cara tim Anda bertumbuh.
Ingat, coaching tidak butuh waktu lama. Tapi dampaknya bisa bertahan lama. Semua bisa dimulai dari satu pertanyaan kecil hari ini: “Apa yang ada di pikiranmu saat ini?”