(Business Lounge – Global News) Ketika ketegangan dagang antara Amerika Serikat dan mitra-mitra dagangnya kembali meningkat, banyak investor memutar ulang kekhawatiran lama: apakah raksasa e-commerce seperti Amazon akan tertekan oleh tarif tinggi, gangguan rantai pasokan, dan penurunan daya beli global? Namun analisis dari The Wall Street Journal, Bloomberg, dan Reuters mengindikasikan bahwa Amazon mungkin justru berada dalam posisi yang jauh lebih tangguh daripada yang diperkirakan pasar.
Kekuatan utama Amazon adalah skala dan jangkauan globalnya. Dengan operasi yang meluas di seluruh Amerika Utara, Eropa, dan Asia, Amazon memiliki fleksibilitas geografis yang memungkinkan perusahaan untuk memindahkan sumber daya, pengadaan, dan distribusi ke wilayah yang lebih menguntungkan. Menurut laporan Bloomberg, strategi diversifikasi rantai pasokan yang agresif telah dilakukan Amazon sejak pandemi, mempercepat pembukaan pusat distribusi regional dan memperluas kerja sama dengan produsen lokal untuk mengurangi ketergantungan pada pengiriman lintas samudra.
Bahkan di tengah ancaman tarif baru dari administrasi Trump terhadap produk China, Amazon telah menunjukkan kemampuannya beradaptasi. WSJ melaporkan bahwa Amazon kini lebih banyak memanfaatkan produsen dari Vietnam, India, dan Meksiko — negara-negara yang menjadi alternatif strategis dalam skenario perang dagang. Langkah ini bukan hanya untuk menghindari tarif, tapi juga sebagai bagian dari strategi jangka panjang membangun ekosistem logistik yang lebih otonom dan resilien.
Faktor kunci lainnya adalah kekuatan Amazon Web Services (AWS). Sektor cloud computing yang menjadi kontributor laba terbesar perusahaan ini tetap tumbuh stabil, relatif tak terdampak oleh ketegangan dagang karena berfokus pada layanan digital. Dalam laporan keuangannya baru-baru ini, AWS mencatatkan pertumbuhan dua digit, memberikan bantalan yang kuat bagi kinerja keseluruhan perusahaan, bahkan ketika segmen ritel menghadapi tantangan eksternal.
Investor sebelumnya mungkin mengkhawatirkan bahwa biaya-biaya tambahan dari perang dagang akan diteruskan kepada konsumen, menekan daya beli. Namun Amazon tampaknya telah menyusun strategi harga yang agresif dan fleksibel. Menurut analis dari Morgan Stanley yang dikutip Reuters, Amazon mampu menyerap sebagian tekanan biaya berkat skala operasionalnya yang sangat besar dan efisiensi distribusi internal yang mengungguli kompetitor seperti Walmart atau Target.
Amazon juga telah berinvestasi dalam teknologi logistik seperti otomatisasi gudang dan AI untuk manajemen inventaris, yang menurunkan biaya operasional dan memberi ruang manuver harga. Pada saat yang sama, program keanggotaan Prime tetap menunjukkan daya tarik tinggi, menciptakan loyalitas pelanggan dan memperkuat volume transaksi.
Tentu saja, tantangan tetap ada. Ketidakpastian kebijakan dagang AS, kemungkinan resesi di beberapa negara maju, serta fluktuasi nilai tukar dapat mempengaruhi margin. Namun seperti disorot CNBC, kekuatan merek Amazon, kemampuan teknologinya, dan keberhasilan menavigasi krisis sebelumnya memberi sinyal bahwa perusahaan ini bukan hanya bertahan — tapi siap memanfaatkan ketidakpastian sebagai peluang untuk menambah dominasi.
Singkatnya, narasi bahwa Amazon akan terpukul keras oleh perang dagang mungkin perlu direvisi. Justru, seperti dicatat Bloomberg Intelligence, setiap ketegangan baru dapat membuka celah bagi Amazon untuk memperbesar kontrol atas rantai pasokannya, memperkuat hubungan pelanggan, dan menegaskan kembali keunggulannya sebagai perusahaan logistik dan teknologi — bukan sekadar toko daring.
Ketika sebagian besar perusahaan mencoba menahan napas menghadapi potensi gelombang tarif baru, Amazon tampaknya sudah berenang ke arah ombak — dan siap menguasai arus.