Singapura

Industri F&B Singapura Menghadapi Tahun Terberat

(Business Lounge Journal – Essay on Global) Industri makanan dan minuman di Singapura selalu menjadi bagian penting dari kehidupan masyarakat. Dari restoran berbintang Michelin hingga pusat jajanan kaki lima, makan di luar bukan hanya kebutuhan tetapi juga gaya hidup. Namun, tahun 2024 menjadi tahun penuh tantangan bagi sektor ini. Lebih dari tiga ribu restoran dan gerai makanan telah tutup, mencatatkan angka penutupan tertinggi dalam hampir dua dekade, seperti yang dilaporkan oleh The Straits Times.

Berbagai faktor telah memicu gelombang penutupan ini. Kenaikan harga sewa, kelangkaan tenaga kerja, inflasi bahan makanan, serta perubahan kebiasaan konsumsi masyarakat telah menciptakan tekanan besar bagi para pelaku bisnis. Sebagian berhasil beradaptasi, tetapi banyak yang tidak mampu bertahan di tengah persaingan yang semakin ketat dan biaya operasional yang semakin tinggi.

Baca juga : Apakah Wine Rendah Kalori Layak Dicoba?

Salah satu penyebab utama dari krisis ini adalah lonjakan biaya operasional. The Business Times melaporkan bahwa harga sewa tempat usaha mengalami kenaikan yang signifikan, terutama di kawasan-kawasan strategis seperti Orchard Road, Tanjong Pagar, dan Clarke Quay. Bahkan di daerah pemukiman, pemilik restoran kecil harus menghadapi lonjakan harga sewa yang semakin sulit untuk diimbangi dengan pendapatan mereka. Di sisi lain, Channel News Asia menyebutkan bahwa kelangkaan tenaga kerja membuat biaya operasional semakin membengkak. Upah pekerja di sektor F&B terus meningkat karena tingginya persaingan dalam mendapatkan tenaga kerja serta kebijakan ketat terhadap pekerja asing.

Singapura
Sumber : SingStat

Selain itu, harga bahan makanan juga mengalami inflasi yang cukup tinggi. Bloomberg mengungkapkan bahwa kenaikan harga bahan pokok seperti daging ayam dan makanan laut membuat restoran harus menaikkan harga menu mereka atau mengurangi margin keuntungan. Namun, konsumen semakin berhati-hati dalam membelanjakan uang mereka, sehingga tidak semua restoran bisa menaikkan harga tanpa kehilangan pelanggan.

Kebiasaan makan masyarakat juga mengalami perubahan. Menurut Nikkei Asia, banyak orang yang mulai lebih selektif dalam menghabiskan uang mereka untuk makan di luar. Pilihan makanan lebih terjangkau seperti makanan dari hawker centre atau memasak di rumah menjadi lebih populer. Selain itu, semakin banyak orang yang beralih ke layanan pesan-antar makanan, yang sering kali menawarkan berbagai promo dan diskon. Konsep restoran dengan layanan hybrid, yang menggabungkan makan di tempat, pesan-antar, dan takeaway, semakin mendominasi dibandingkan dengan model bisnis restoran tradisional.

Dampak dari krisis ini paling dirasakan oleh bisnis-bisnis kecil dan independen. The Straits Times mencatat bahwa restoran kecil yang bergantung pada arus pelanggan harian kesulitan bertahan di tengah biaya yang terus meningkat. Banyak hawker center yang akhirnya tutup karena pemiliknya pensiun tanpa penerus, sementara harga bahan baku yang semakin mahal membuat mereka tidak bisa lagi menawarkan makanan dengan harga terjangkau. Restoran kelas menengah dan fine dining juga mengalami penurunan jumlah pelanggan, terutama karena berkurangnya wisatawan dan perusahaan yang mulai mengurangi anggaran untuk makan di luar.

Meskipun banyak bisnis yang harus menyerah, beberapa berhasil bertahan dengan berbagai strategi. Salah satu langkah yang banyak diambil adalah beralih ke model bisnis berbasis digital dan layanan pengiriman. Seperti yang dilaporkan oleh Nikkei Asia, banyak restoran yang mulai mengurangi layanan makan di tempat dan lebih fokus pada takeaway serta pengiriman makanan. Cloud kitchen atau dapur khusus untuk layanan pesan-antar juga semakin populer karena dapat memangkas biaya sewa tempat dan tenaga kerja.

Baca juga : EKONOMI EROPA MENGHADAPI TANTANGAN

Teknologi juga menjadi solusi bagi beberapa bisnis yang ingin tetap bertahan. Channel News Asia menyebutkan bahwa beberapa restoran telah mengadopsi sistem pemesanan mandiri, peralatan dapur otomatis, serta manajemen stok berbasis kecerdasan buatan untuk mengurangi ketergantungan pada tenaga kerja manusia. Selain itu, beberapa bisnis mulai mendiversifikasi sumber pendapatan mereka dengan menjual produk ritel seperti saus botolan, kopi kemasan, dan makanan beku yang dapat dimasak di rumah.

Situasi yang dialami Singapura juga terjadi di berbagai negara lain. Bloomberg melaporkan bahwa di Hong Kong, pemerintah dan pemilik properti mulai memberikan bantuan sewa untuk mencegah kehancuran total industri F&B. Beberapa kawasan perbelanjaan bahkan menurunkan harga sewa agar restoran tetap dapat beroperasi. Jepang menghadapi tantangan serupa dengan kekurangan tenaga kerja, tetapi mereka mulai mengadopsi robot sebagai pelayan dan menggunakan dapur otomatis berbasis kecerdasan buatan untuk memangkas biaya operasional. Sementara itu, di Amerika Serikat, banyak restoran yang beralih ke model ghost kitchen atau dapur virtual, yang memungkinkan mereka tetap beroperasi tanpa harus memiliki tempat makan fisik yang mahal.

Singapura

Di tengah kondisi sulit ini, banyak yang bertanya apakah pemerintah Singapura atau pemilik properti akan mengambil langkah untuk membantu industri F&B tetap bertahan. Hingga saat ini, belum ada kebijakan besar yang diterapkan, tetapi The Straits Times melaporkan bahwa beberapa usulan mulai muncul, seperti pemberian subsidi sewa bagi usaha kecil, insentif pajak bagi restoran yang mengadopsi otomatisasi, serta penyesuaian kebijakan tenaga kerja asing agar restoran dapat lebih mudah merekrut staf. Jika angka penutupan terus meningkat, tekanan bagi pemerintah dan pemilik properti untuk mengambil tindakan akan semakin besar.

Masa depan industri kuliner Singapura sedang mengalami titik balik yang besar. Model bisnis tradisional semakin sulit untuk dipertahankan, dan restoran yang tidak mampu beradaptasi dengan perubahan ini akan terus berguguran. Ke depan, industri ini kemungkinan akan semakin bergeser ke model hybrid yang menggabungkan layanan makan di tempat, takeaway, dan pengiriman makanan. Penggunaan kecerdasan buatan dan otomatisasi juga akan semakin umum untuk membantu mengatasi tantangan biaya tenaga kerja. Harga makanan kemungkinan akan terus meningkat seiring dengan meningkatnya biaya operasional, sementara restoran independen semakin sulit bersaing dengan jaringan restoran besar yang memiliki sumber daya lebih kuat.

Budaya kuliner Singapura sedang berubah, dan masa depannya akan sangat ditentukan oleh bagaimana bisnis beradaptasi serta sejauh mana pemilik properti, pembuat kebijakan, dan konsumen bersedia memberikan dukungan kepada mereka dalam menghadapi tantangan ini.