The Swiss Indonesia Model

 

(Business Lounge Journal – Interview Session)

AETP (Asia Entrepreneuship Training Program) merupakan sebuah program yang dicanangkan pemerintah Indonesia dan Swiss untuk saling bertukar startup setelah sebelumnya mendapatkan pelatihan selama sembilan bulan. Hal ini bertujuan untuk dapat membuka pasar Eropa bagi startup Indonesia dan membuka pasar Asia bagi startup Swiss. Program ini berlangsung sejak 15 Maret 2019 dan akan berakhir pada 15 November 2019. Business Lounge Journal berkesempatan meng-interview Max Weber sebagai Senior Lecturer – Head of ASEAN pada Zurich University of Applied Sciences yang sekaligus bertindak sebagai Head of ASEAN, AETP Programme Manager beserta Alexander Epifanijanto, sebagai Liasion Officer, ASEAN.

BL: Business Lounge Journal
MW: Max Weber
AE: Alexander Epifanijanto

MW: Program ini lebih jelasnya adalah sebuah akselerator internasional yang bertujuan membawa perusahaan perintisan lebih lanjut, menolong proses pendanaan dan masuknya ke dalam pasar internasional. Dalam kasus ini, khususnya perusahaan rintisan Swiss ke Indonesia dan sebaliknya.

Program ini selama sembilan bulan yang meliputi 10 modul yang meresponi 10 kriteria yang digunakan investor untuk mengevaluasi kelompok start up. Di tengah-tengahnya akan dilakukan coaching yang memungkinkan setiap kelompok dapat bekerja memahami masalah dan prioritas yang mereka didiskusikan dengan pembinanya dalam sesi pelatihan. Dari setiap poin, mereka akan mendapatkan umpan balik mengenai performance mereka sehingga setiap tim akan memiliki kekuatan dan kelemahan yang berbeda. Setiap mereka semua akan memperoleh rencana pelatihan individu yang menjadi prioritas. Para pembina akan bekerja sama dengan setiap tim pada prioritas-prioritas yang spesifik selama enam bulan. Hal ini diharapkan akan menghilangkan sebanyak mungkin kelemahan dan memperkuat kelebihan yang ada. Sebab sering kali start up hanya menekankan pada kekuatan mereka tetapi tidak meniadakan kelemahan mereka. Namun bai investor, kelemahan dapat menimbulkan risiko. Jika mereka dapat menghilangkan kelemahan, maka akan menambah daya Tarik bagi investor. Hal yang terbesar juga adalah peran pelanggan yang harus terlebih dahulu mendapatkan jawaban.

AE: AETP sendiri adalah Asia Entrepreneurship Training Program didanai 100 persen oleh pemerintah Swiss dalam hal ini melalui ETH Zurich dan di erikan mandat kepada ZHAW University. Program ini berlangsung dari tanggal 15 Maret 2019 sampai berakhirnya tanggal 15 November 2019. Sebelum itu kita sudah mengadakan beberapa roadshow di tiga kota dengan tujuan untuk merekrut para startup yangkita nilai layak untuk masuk program ini. Seleksinya itu ada beberapa kriteria: 1. Produk yang memiliki nilai internasional, yang nantinya startup akan pergi ke Swiss; 2. Sudah memiliki MVP, untuk yang profit harus ada market validation; 3. Social impact; 4. Memiliki Impact visibility study; 5. Memiliki tim yang solid, bukan hanya sebagai hustler, hipster, dan hacker, tetapi harus memiliki ketiganya sehingga core team-nya solid; 5. Mempunyai roadmap untuk 3 dan 5 tahun sehingga pendanaan yang diminta itu harus secara detil dipresentasikan. Dalam trainingnya sendiri, akan ada product development, organizational development, juga business development, serta internasionalisasi. Kita akan berbicara mengenai culture, bagaimana masuk di Swiss sebagai hub menuju Eropa dan sebaliknya Indonesia menjadi hub di ASEAN. Program ini akan ditutup pada 15 November dan yang terpilih akan kita bawa ke Swiss untuk dihadapkan pada investor di sana begitu juga sebaliknya.

BL: Peran pemerintah di zaman sekarang ini untuk Young Entrepreneur bagaimana?

AL: Saya rasa sangat positif ya. Saya sendiri melihat – kebetulan saya jarang sebetulnya datang dan melihat beberapa acara milenial, terutama pemilu ke depan ini menjadi fenomena yang menarik bagi milenial dan saya juga yang memang berdomisili di luar. Saya lihat adanya suatu keterbukaan, itu penting bagi pengusaha. Keterbukaan itu penting baik dari segi informasi, akses, modal, akses teknologi, training, dsb. Ini sangat banyak. Tentunya kalau kita sebagai pengusaha muda harus proaktif tidak tinggal diam berpangku tangan seperti juga program Jokowi ‘Kerja, kerja, kerja’ dalam hal ini kita harus slelalu mencari informasi itu. Sebetulnya informasi itu sudah ada, kita hanya perlu proaktif mencari. Jadi akses ataupun kesempatan informasi itu sangat lebar, jadi tergantung pada para pengusaha muda sendiri untuk mau berpartisipasi atau tidak. Itu hal yang pertama yang saya lihat positif.

Kedua, memang dengan pembangunan infrastruktur, juga level dari komunikasi, telekomunikasi yang juga makin murah, banyak membantu para pengusaha di bidang digital, terutama digital teknologi. Kesempatannya itu banyak dan saya rasa pemerintah cukup support yang memang bukan hanya sekedar mencoba, tetapi membutuhkan tutor atau couch, trainer yang cukup mumpuni dalam hal itu. Dalam arti, yang mengerti bisnis itu sendiri. Adapun pelanggan itu dapat mencapai 4 miliar di internet, kalau Anda dapat mendesain gelas dan menjualnya ke Max, mungkin Anda hanya dapat membuat satu. Untuk tiga pelangga, hanya ada 3 gelas. Untuk berenam, hanya ada 6 gelas. Atau untuk  orang Indonesia hanya ada 260 juta pelanggan. Tetapi kalau kita dapat menjual lewat internet, ada 4 miliar orang yang menjadi pelanggan kita. Tetapi bagaimana Anda merancang gelas ini untuk dapat disukai oleh 4 miliar orang? Itu yang menjadi challenge-nya. Itu yang selalu saya coba provokasi kepada para pengusaha muda bahwa market cukup besar, kendalanya ada pada logistik. Sebab untuk mengekspor ke Itali butuh kaca yang harus mengandung sertifikasi tertentu. Tetapi pemerintah dalam hal ini pak Jokowi, sangat support dan program-programnya cukup membuka peluang mereka untuk bisa maju.

BL: Bagaimana pendapat Anda mengenai startup Indonesia sekarang ini?

AL: Saya pikir menarik apa yang Max juga temukan dari grafik bahwa sebagian besar orang Asia, khususnya Indonesia mulai dalam usia yang masih sangat muda.

MW: Saya pikir adegan startup di Indonesia sangat berbeda dari negara-negara Barat. Tentu pada tahap pengembangan, infrastruktur, institusi, sistem pendukung yang berbeda dan ekosistem yang berbeda di tempat. Di sisi lain, orang-orang di negara kami memiliki segalanya tapi mereka tidak terlalu tertarik atau lapar untuk mempertaruhkan segalanya untuk kewirausahaan. Meskipun kami memiliki minat, kami memiliki sistem yang sangat maju yang memberikan nilai kepada wirausahawan, mungkin rasa lapar dan hasrat wirausahawan tidak sekuat mereka di sini di Indonesia.

Sangat menarik untuk mengetahui pada umumnya umur pengusaha di negara saya atau negara lebih maju berkisar  35-45 tahun yang belum tentu seperti yang umur untuk pemula seperti Anda harapkan. Mereka terlebih dahulu bekerja di industri selama 10-15 tahun dan menempati posisi manajemen senior, menghasilkan uang dan pengalaman. Di sini Anda dapat menemukan yang sebaliknya. Pengusaha masih sangat muda, 18-25 tahun. Mereka tidak punya uang dan tidak punya pengalaman. Yang mereka miliki adalah hasrat dan mereka percaya mereka bisa mengubah dunia dan berharap itu akan berhasil bagi mereka. Akibatnya, perusahaan startup yang keluar dari Swiss berbeda dan lebih matang tetapi memiliki sedikit gairah dibandingkan dengan apa yang mereka miliki di sini. Perbedaan didapatkan pada ekosistem dan sistem inovasi nasional seperti dalam kolaborasi pemerintah dengan sektor swasta. Saya pikir itu adalah lanskap penting yang berbeda dari pengusaha di perusahaan startup.

Michael Judah Sumbayak adalah pengajar di Vibiz LearningCenter (VbLC) untuk entrepreneurship dan branding. Seorang penggemar jas dan kopi hitam. Follow instagram nya di @michaeljudahsumbek