(Business Lounge Journal – Art) Masih dengan Pameran Seni Rupa Kontemporer Indonesia “LALU, KINI [Budaya Bendawi]” atau “PAST, PRESENT [Material Culture]” yang telah berlangsung sejak 17 September 2017 di Brussels dan Antwerp, Belgia dalam rangka Europalia Arts Festival Indonesia. Karya Faisal Habibi berjudul “Gunungan” tengah dipamerkan di Festival Centre Gedung Dynasty, Brussels, sedangkan karya Eko Prawoto berjudul “Bale Kambang” dipamerkan di area outdoor Bonaparte Dock dan Museum aan de Stroom (MAS), Antwerp, Belgia.
Pada karya Bale Kambang, Eko Prawoto yang berprofesi sebagai arsitek sekaligus perupa mengembangkan karya-karya dengan material bambu. Bale Kambang adalah karya di ruang terbuka, semacam tempat peristirahatan dalam tradisi kerajaan di masa lalu. Bambu adalah material alam yang khususnya dipakai oleh masyarakat di Asia untuk pelbagai keperluan hidup, mulai dari peralatan dapur, rumah, kesenian, dan lain sebagainya. Di masa kini, di saat perhatian mulai terpusat pada lingkungan dan keberlangsungan bumi yang lebih baik, bambu mulai dipikirkan kembali sebagai material alternatif di dunia modern. Dalam pameran ini Eko mengembangkan karya interaktif, di mana masyarakat Eropa yang jauh dari material bambu dapat merasakan dan melihat dari dekat, serta bermain dengan material bambu yang ramah lingkungan.
Bale Kambang yang peresmiannya dipimpin langsung oleh Duta Besar Indonesia untuk Belgia H.E. Yuri Octavian Thamrin ini diselenggarakan oleh Galeri Nasional Indonesia, Direktorat Jenderal Kebudayaan, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia.
Tak Sesuai Rancangan, Bale Kambang Tetap Memukau Publik Eropa
Bale Kambang dibuat dengan menggunakan material bambu yang dirakit sedemikian rupa sehingga menyerupai anyaman jembatan bambu disertai dengan atap yang juga disusun dari rakitan bambu. Karya tersebut akan terlihat seperti mengambang di atas air, namun konstruksinya kokoh sehingga pengunjung dapat mengakses langsung dengan memijak di atas rakitan bambu-bambu. Dikerjakan sejak 19 Oktober 2017, karya seni ini memiliki tim display yang dibawa dari Indonesia. Proses merakit ini dikerjakan di darat dan pada 26 Oktober 2017, bagian-bagian tersebut mulai disatukan sehingga menjadi bentuk utuh sesuai dengan rancangan bentuk keseluruhan Bale Kambang. Proses ini dikerjakan langsung di atas air Bonaparte Dock. Namun sebelum proses penyatuan selesai, pihak Antwerp Port Authority melihat cara pengerjaan di atas air tersebut terlalu berisiko, sehingga display dihentikan selama satu hari.
Menanggapi hal tersebut, pihak Galeri Nasional Indonesia mengupayakan negosiasi dengan pihak Antwerp Port Authority. Hingga akhirnya disepakati display karya Bale Kambang dapat dilanjutkan pada 27 Oktober 2017 dengan cara pengerjaan dilakukan dari atas perahu, dengan menggunakan crane untuk mengangkat material bambu. Tim display juga dilengkapi dengan safety equipment yang disediakan oleh panitia Europalia melalui pihak MAS. Selain itu, dalam kesepakatan tersebut pihak Antwerp Port Authority juga tidak mengijinkan pengunjung mengakses langsung bambu-bambu pada karya Bale Kambang selama dipamerkan, dengan alasan keamanan.
Proses display yang sempat tertunda tersebut, keterbatasan tim display untuk kontak langsung dengan bambu, serta waktu yang semakin menipis membuat karya Bale Kambang tidak dapat diselesaikan sesuai dengan jadwal dan rancangan desain awal. Akhirnya karya Bale Kambang yang semula akan dibuka pada 28 Oktober 2017, baru diresmikan untuk diapresiasi pengunjung pada 31 Oktober 2017.
Meskipun berubah dari rencana semula, namun dituturkan Kepala Galeri Nasional Indonesia Tubagus ‘Andre’ Sukmana, karya Eko Prawoto akhirnya murni menjadi karya seni instalasi bamboo yang semata-mata hanya untuk kepentingan artistik namun tetap mampu memukau para pengunjung. “Material bambu memang belum banyak dikenal dan dieksplorasi di Eropa. Karena itu, Bale Kambang menjadi objek visual yang memiliki daya tarik tersendiri. Selain itu, karya Bale Kambang yang disusun dari rakitan bambu-bambu dengan pola bentuk yang unik dan artistik menjadi suguhan segar yang tidak biasa bagi publik Eropa, khususnya masyarakat Kota Antwerpen, Belgia,” pungkas Tubagus.
Galeri Nasional Indonesia/VMN/BLJ