(Business Lounge Journal – Art)
Di tengah riuhnya dunia yang berlari cepat menuju kesempurnaan, tiga perupa perempuan menghadirkan ruang hening untuk berhenti dan merasakan. Kebebasan Manusia Perasa (Freedom of the Sentient Beings), pameran terbaru di Gajah Gallery Yogyakarta, mempertemukan karya Sriyani, Siti Ruliyati, dan Kustiyah dalam satu benang merah: perasaan sebagai pusat penciptaan dan kebebasan sebagai bentuk keberanian untuk tetap peka.
Dikurasi oleh kolektif Hyphen—yang terdiri dari Akmalia Rizqita “Chita”, Grace Samboh, dan Ratna Mufida—pameran ini menawarkan pembacaan yang lembut namun tajam terhadap bagaimana seni rupa dapat menangkap denyut kehidupan sehari-hari: bukan melalui monumentalitas, melainkan melalui keheningan, ritme, dan intuisi yang sangat manusiawi.
Menemukan Napas dalam Warna dan Garis
Di tangan Sriyani, warna hitam bukan sekadar bayangan atau kontras. Dalam karya-karya monotype-nya, hitam menjadi ruang bernafas—sebuah lanskap yang hidup dengan kelembutan. Figur-figur yang ia hadirkan tampak canggung namun intim, diam namun berdenyut. Setiap garis terasa seperti napas yang ditahan: menghadirkan keheningan yang justru memunculkan keakraban pada kerentanan hidup.
Berbeda dengan itu, karya Siti Ruliyati mengalir dalam kegelisahan yang ritmis. Garis-garisnya melintasi pasar, sawah, dan pertemuan, menggambarkan manusia bukan sebagai sosok ideal, melainkan sebagai makhluk yang bergerak di tengah komunitasnya. Getaran energinya terasa nyata, seolah setiap sapuan pensil menyimpan cerita keseharian yang berdesakan dan saling bertaut.
Sementara Kustiyah, salah satu pelukis perempuan perintis di Indonesia, menghadirkan keceriaan yang jujur dan membumi. Ia melukis potret diri, bunga, dan benda-benda rumah tangga dengan kesederhanaan yang justru memancarkan kebebasan. Dalam setiap kuasnya, ada semangat yang tidak mencari kemegahan, melainkan menemukan kegembiraan dalam irama kerja dan kehidupan yang dijalani dengan sepenuh hati.


Perasaan Sebagai Pusat Penciptaan
Pameran Kebebasan Manusia Perasa membuka ruang bagi pengunjung untuk memahami bahwa kebebasan dalam seni bukan selalu tentang melawan batas, melainkan tentang keberanian untuk merasakan. Melalui karya-karya ketiga perupa ini, kita diajak menyelami kembali gagasan bahwa manusia yang bebas adalah manusia yang masih mampu tergerak—oleh hal-hal kecil, oleh keindahan yang rapuh, oleh kehidupan itu sendiri.
Konteks ini diperkuat melalui kerangka kuratorial Hyphen yang merujuk pada tulisan-tulisan Oei Sian Yok dan Marianne Katoppo, dua pemikir perempuan yang menafsirkan kebebasan bukan sebagai bentuk transendensi, tetapi sebagai kepekaan yang aktif. Seperti dalam tulisan Katoppo, kasih dan kebebasan adalah kekuatan kreatif yang membentuk kehidupan, bukan melampauinya.
Dengan demikian, Kebebasan Manusia Perasa tidak hanya menampilkan karya, tetapi juga menghadirkan pemikiran—tentang bagaimana perempuan, tubuh, dan perasaan berperan dalam membangun etika kehidupan dan seni di Indonesia.
Dialog antara Masa Lalu dan Kini
Menempatkan Kustiyah di antara dua perupa yang lebih muda menghadirkan konteks lintas generasi yang menarik. Ia menjadi penghubung antara masa lalu dan masa kini, antara tradisi dan kebaruan.
Karya-karya Kustiyah, yang pernah hidup dan berkarya dalam lingkungan yang masih membatasi peran perempuan di ruang publik, kini dibaca kembali bukan sebagai nostalgia, melainkan sebagai tonggak pembebasan. Sementara Sriyani dan Siti Ruliyati melanjutkan percakapan itu dengan bahasa visual yang lebih cair, lebih eksperimental, namun tetap berpijak pada pengalaman hidup perempuan dalam kesehariannya.
Dalam ruang Gajah Gallery Yogyakarta yang intim, percakapan ini terasa seperti pertemuan antarjiwa: tiga perupa yang berbicara dalam bahasa berbeda, namun berakar pada satu kesadaran yang sama—bahwa kepekaan adalah sumber kekuatan.


Kelembutan sebagai Bentuk Perlawanan
Di tengah dunia yang semakin mendewakan kecepatan, produktivitas, dan hasil instan, pameran ini mengingatkan bahwa ada nilai dalam melambat. Ada kebijaksanaan dalam keheningan. Freedom of the Sentient Beings mengundang pengunjung untuk berhenti sejenak—menatap, mendengar, dan mungkin, ikut merasakan.
Di sini, kebebasan tidak lagi dibingkai sebagai pernyataan politik atau ideologis semata, tetapi sebagai pengalaman yang dirajut dalam keseharian: dalam gerak tangan yang sabar, dalam warna yang menunggu kering, dalam keberanian untuk tetap lembut.
Gajah Gallery Yogyakarta, dengan tradisi panjangnya dalam mendukung praktik seni yang reflektif dan progresif, kembali menunjukkan keberpihakannya pada ruang-ruang kontemplatif semacam ini. Pameran ini tidak hanya menampilkan karya, tetapi menciptakan pengalaman yang nyaris meditatif—sebuah ajakan untuk mengenal diri sendiri melalui rasa.
Tentang Pameran
Kebebasan Manusia Perasa (Freedom of the Sentient Beings) dibuka pada 9 Oktober 2025 di Gajah Gallery Yogyakarta, dan berlangsung hingga 14 November 2025.
Melalui pameran ini, Gajah Gallery memperluas eksplorasinya terhadap praktik seni perempuan Indonesia dan menghadirkan refleksi tentang bagaimana perasaan, pengalaman, dan kehidupan sehari-hari dapat menjadi sumber penciptaan yang tak terbatas.
Di antara warna, garis, dan ruang yang tenang, pameran ini mengingatkan kita bahwa kebebasan sejati tidak selalu tampak megah—kadang ia hadir dalam bentuk yang paling sederhana: selembar kertas, segores garis, atau sekadar keberanian untuk terus merasa.

