(Business Lounge – Automotive) Dalam manuver strategis yang menandai arah baru industri kendaraan listrik global, Ford Motor Co. akan berbagi fasilitas pabrik baterai kendaraan listrik di Kentucky dengan Nissan Motor Co., menjadikan kolaborasi ini sebagai bagian dari pergeseran besar dalam respons terhadap tantangan biaya dan hambatan perdagangan internasional. Langkah ini menunjukkan bagaimana dua raksasa otomotif dunia mulai menyesuaikan strategi mereka di tengah perlambatan adopsi kendaraan listrik, tekanan tarif, dan kebutuhan untuk meningkatkan efisiensi rantai pasokan.
Sebagaimana dilaporkan oleh The Wall Street Journal, kerja sama ini bertujuan untuk mengefisienkan produksi sel baterai lithium iron phosphate (LFP) melalui BlueOval SK, sebuah usaha patungan antara Ford dan SK On dari Korea Selatan. Dalam pengaturan baru ini, Nissan akan menjadi pelanggan utama non-Ford pertama dari pabrik senilai 5,8 miliar dolar AS tersebut yang dijadwalkan mulai beroperasi pada tahun 2026.
Langkah ini juga merupakan cara Nissan menghindari potensi dampak tarif tinggi atas impor kendaraan listrik dan komponennya dari luar negeri ke Amerika Serikat. Dengan memanfaatkan kapasitas produksi lokal di AS, Nissan dapat mengurangi biaya logistik dan memenuhi syarat untuk insentif pajak dalam Undang-Undang Pengurangan Inflasi (IRA) yang mewajibkan sebagian besar komponen kendaraan listrik diproduksi di Amerika Utara. Seperti dilaporkan oleh Bloomberg, kerja sama ini membantu Nissan mengakses kredit pajak kendaraan listrik senilai hingga 7.500 dolar AS per unit tanpa harus membangun fasilitas produksi sendiri di negara itu.
Menurut pernyataan resmi dari Ford, kesepakatan dengan Nissan ini “membuka potensi kerja sama lebih lanjut dalam jangka panjang,” mengisyaratkan bahwa kolaborasi lintas produsen ini dapat diperluas di masa depan. Dengan kapasitas tahunan 86 gigawatt-jam, fasilitas BlueOval SK akan cukup besar untuk memasok sel baterai ke lebih dari satu pabrikan besar, terutama jika permintaan kendaraan listrik tidak tumbuh secepat yang sebelumnya diperkirakan.
Nissan sendiri telah lama menjadi pelopor kendaraan listrik dengan model Leaf, tetapi sejak itu tertinggal dalam perlombaan global terhadap pesaing seperti Tesla, BYD, dan bahkan Hyundai-Kia. Dengan mengamankan pasokan baterai dari Kentucky, Nissan berharap dapat mempercepat peluncuran kendaraan listrik generasi barunya untuk pasar Amerika Utara, termasuk crossover listrik yang dirakit di pabriknya di Smyrna, Tennessee. Seperti diberitakan oleh Reuters, kendaraan-kendaraan itu dirancang agar dapat memanfaatkan insentif penuh dari pemerintah AS sekaligus mengurangi risiko dari ketegangan dagang antara Amerika Serikat dan negara-negara produsen utama seperti China.
Secara strategis, kolaborasi ini juga mencerminkan pergeseran pendekatan dari Ford. Setelah sebelumnya menunda investasi dan mengurangi produksi mobil listrik akibat melemahnya permintaan, Ford kini memilih mengoptimalkan infrastruktur yang sudah ada dengan membuka fasilitasnya bagi perusahaan lain. Menurut Financial Times, ini menandai transisi dari model integrasi vertikal penuh menuju model berbagi kapasitas yang lebih fleksibel. Keputusan ini diambil setelah Ford merevisi rencana investasi EV-nya dan memperlambat pembangunan fasilitas BlueOval City di Tennessee pada tahun 2023.
Aliansi semacam ini juga memberikan keunggulan biaya dalam skala besar. Salah satu tantangan utama dalam produksi kendaraan listrik adalah harga sel baterai yang sangat dipengaruhi oleh bahan baku seperti litium, nikel, dan kobalt. Dengan membagi pabrik dan skala produksi, Ford dan Nissan dapat menurunkan biaya per kilowatt-jam dan lebih cepat mencapai titik impas dari sisi investasi. Ini penting mengingat Benchmark Mineral Intelligence memperkirakan bahwa harga litium karbonat, salah satu bahan utama baterai, akan tetap tinggi dalam beberapa tahun ke depan akibat keterbatasan pasokan.
Namun, kerja sama ini juga membawa risiko. Pabrik bersama menuntut koordinasi teknis dan logistik yang kompleks. Setiap produsen memiliki spesifikasi unik untuk kendaraan mereka, dan menyesuaikan satu lini produksi untuk dua perusahaan bisa mempersulit pengaturan kualitas, keamanan, dan efisiensi. Menurut Nikkei Asia, Ford dan Nissan akan menggunakan modul dan sistem manajemen baterai yang berbeda, meski menggunakan sel dasar yang sama dari SK On. Ini berarti akan ada proses integrasi dan pengujian tambahan sebelum komponen-komponen itu dapat digunakan dalam kendaraan produksi massal.
Dari sisi kebijakan industri, kerja sama ini menegaskan dampak konkret dari kebijakan proteksionis yang diperkenalkan pemerintahan Biden melalui IRA. Aturan yang ketat mengenai asal-usul komponen baterai dan kendaraan mendorong produsen untuk membawa lebih banyak aktivitas manufaktur ke dalam negeri. Bagi Nissan, yang sebelumnya banyak mengimpor baterai dari fasilitasnya di Jepang dan China, aliansi ini memungkinkan mereka untuk tetap kompetitif di pasar AS tanpa membangun pabrik baru dari nol. The New York Times mencatat bahwa semakin banyak perusahaan Jepang dan Korea yang kini mencari peluang investasi atau aliansi di Amerika Serikat untuk memenuhi syarat subsidi ini.
Dampak ekonomi lokal dari proyek ini juga signifikan. Pembangunan dan pengoperasian pabrik BlueOval SK di Glendale, Kentucky, diperkirakan akan menciptakan lebih dari 5.000 lapangan kerja langsung dan ribuan pekerjaan tidak langsung di rantai pasokan dan layanan pendukung. Gubernur Kentucky, Andy Beshear, dalam pernyataannya menyambut baik tambahan peran dari Nissan dan menyatakan bahwa negara bagian tersebut akan menjadi pusat utama manufaktur baterai di wilayah tenggara AS.
Secara global, kolaborasi ini mencerminkan tren baru dalam dunia otomotif: kolaborasi lintas merek untuk mengatasi tekanan ekonomi dan geopolitik. Di masa lalu, kerja sama semacam ini lebih umum di bidang teknologi mesin atau sistem infotainment, namun kini mulai merambah ke sektor paling strategis: produksi baterai. Ini juga terjadi saat pabrikan-pabrikan besar lain seperti General Motors dan Honda membatalkan beberapa proyek patungan EV karena penurunan proyeksi permintaan.
Seiring meningkatnya ketegangan dagang AS–Tiongkok dan persaingan atas sumber daya baterai global, strategi seperti yang diambil Ford dan Nissan menjadi lebih bernilai. Produsen tidak hanya harus memperhitungkan biaya dan efisiensi, tetapi juga risiko geopolitik, keterbatasan rantai pasokan, dan volatilitas harga bahan baku. Dengan membangun kapasitas bersama di wilayah dengan stabilitas hukum dan dukungan insentif, perusahaan bisa lebih tahan terhadap gangguan eksternal.
Namun, tantangan tetap ada. Salah satunya adalah memastikan bahwa teknologi LFP yang diproduksi di pabrik Kentucky cukup kompetitif dibandingkan teknologi nikel-kobalt-mangan (NCM) yang lebih umum digunakan dalam EV dengan jangkauan tinggi. LFP memiliki keunggulan dari sisi biaya dan keamanan, tetapi densitas energinya lebih rendah, yang berarti jangkauan kendaraan bisa lebih pendek. Oleh karena itu, strategi ini akan lebih cocok untuk model kendaraan massal dengan harga menengah ke bawah, bukan untuk mobil premium atau performa tinggi.
Ford sebelumnya telah mengumumkan bahwa mereka akan menggunakan baterai LFP pada model-model seperti Mustang Mach-E dan F-150 Lightning varian dasar. Sementara Nissan belum menyatakan secara rinci model mana yang akan menggunakan baterai dari Kentucky, analis memperkirakan itu akan digunakan untuk crossover dan SUV berukuran sedang yang dirakit di AS, termasuk kemungkinan penerus Nissan Ariya untuk pasar Amerika Utara.
Menurut Automotive News, strategi pembagian fasilitas ini juga menjadi cara Ford mengamankan keberlanjutan investasinya. Dengan permintaan kendaraan listrik yang tumbuh lebih lambat dari prediksi sebelumnya, membuka kapasitas pabrik kepada perusahaan lain bisa mencegah kelebihan pasokan dan memaksimalkan utilisasi investasi senilai miliaran dolar.
Dari sisi konsumen, kerja sama ini kemungkinan akan berdampak pada harga kendaraan listrik yang lebih kompetitif dan ketersediaan produk yang lebih luas. Bila pabrikan dapat memangkas biaya produksi melalui kerja sama dan skala ekonomi, maka harga akhir kendaraan pun dapat ditekan, mendorong adopsi lebih luas di pasar AS.
Keputusan ini juga memperlihatkan bahwa strategi jangka panjang tidak hanya ditentukan oleh inovasi teknologi, tetapi juga kecerdasan geopolitik dan kemampuan menjalin kemitraan lintas batas. Di tengah dunia yang semakin terfragmentasi secara politik dan ekonomi, keberhasilan produsen kendaraan listrik akan sangat bergantung pada kemampuan mereka untuk membentuk ekosistem produksi yang efisien, tahan gangguan, dan responsif terhadap perubahan regulasi.
Sementara masa depan EV global masih penuh ketidakpastian, aliansi Ford dan Nissan ini bisa menjadi contoh model baru dalam menyiasati tantangan-tantangan besar industri otomotif. Jika kolaborasi ini berhasil, tidak menutup kemungkinan bahwa lebih banyak pabrikan akan mempertimbangkan pendekatan serupa — bukan hanya untuk baterai, tetapi juga untuk produksi motor listrik, inverter, dan bahkan platform kendaraan bersama.