(Business Lounge – Automotive) Nissan Motor Co., salah satu produsen mobil terbesar di Jepang, kembali menjadi sorotan global setelah mencatat kerugian tahunan lebih dari 4,5 miliar dolar AS. Dalam laporan keuangan yang dirilis minggu ini, perusahaan menyatakan bahwa tekanan dari pasar global, turunnya penjualan, serta ketidakpastian kebijakan perdagangan Amerika Serikat telah mendorongnya ke dalam krisis keuangan yang dalam. Sebagai respons, Nissan mengumumkan rencana pemutusan hubungan kerja terhadap 20.000 karyawan di seluruh dunia, sebuah langkah drastis yang mencerminkan upaya penyelamatan yang menyakitkan namun mendesak.
Kerugian sebesar 4,5 miliar dolar AS — atau setara lebih dari 600 miliar yen — merupakan kerugian tahunan terbesar bagi Nissan sejak krisis global 2008. Dalam laporan yang dikutip oleh The Wall Street Journal, perusahaan tidak memberikan proyeksi laba untuk tahun fiskal yang baru, dengan alasan ketidakpastian luar biasa yang diakibatkan oleh lingkungan usaha yang memburuk, terutama menyusul arah kebijakan tarif yang tidak menentu dari pemerintah AS.
Bloomberg melaporkan bahwa keputusan Nissan untuk tidak memberikan panduan laba menandakan tingkat kehati-hatian yang tinggi dari manajemen. Beberapa pejabat eksekutif perusahaan menyatakan bahwa volatilitas global, fluktuasi nilai tukar, serta gangguan rantai pasok dan tekanan biaya telah membuat proyeksi jangka pendek hampir mustahil dilakukan secara akurat. Selain itu, ketegangan dagang antara AS dan mitra dagangnya, serta ancaman tarif terhadap kendaraan yang diimpor dari Jepang, telah menciptakan iklim bisnis yang rapuh bagi Nissan di pasar internasional.
Pemutusan hubungan kerja sebanyak 20.000 posisi ini merupakan bagian dari rencana restrukturisasi yang lebih besar, menyasar efisiensi biaya tetap dan pengurangan kapasitas produksi yang dinilai berlebihan. Menurut Reuters, sebagian besar pemangkasan tenaga kerja akan terjadi di wilayah-wilayah di luar Jepang, dengan pabrik-pabrik di Spanyol, Indonesia, dan Amerika Latin menjadi prioritas untuk dievaluasi ulang atau bahkan ditutup. Nissan juga tengah meninjau aliansinya dengan Renault dan Mitsubishi, dalam upaya mengefektifkan kolaborasi tanpa membebani operasional lintas negara yang terlalu kompleks.
Dalam konferensi pers yang disampaikan oleh CEO Makoto Uchida dan dikutip oleh Financial Times, pihak manajemen menyatakan bahwa strategi pertumbuhan agresif yang dijalankan pada dekade sebelumnya — terutama di bawah kepemimpinan mantan eksekutif Carlos Ghosn — telah menciptakan struktur biaya yang tidak fleksibel dan overekspansi pada pasar-pasar margin rendah. Ini terutama terlihat dari dorongan ekspansi besar-besaran ke Amerika Serikat, India, dan Rusia, di mana kinerja penjualan tidak sesuai dengan proyeksi awal, sementara biaya tetap tetap tinggi.
Uchida menekankan bahwa langkah pemangkasan tenaga kerja dan rasionalisasi produksi bukan hanya sekadar reaksi krisis, tetapi bagian dari restrukturisasi menyeluruh untuk mengembalikan Nissan ke jalur profitabilitas berkelanjutan. Ia menambahkan bahwa fokus ke depan adalah pada pasar inti seperti Jepang, China, dan AS, serta pada model-model kendaraan yang memberikan margin tinggi, seperti crossover dan SUV elektrifikasi.
Sementara itu, kinerja pasar AS menjadi perhatian khusus. CNBC melaporkan bahwa penjualan Nissan di Amerika Serikat turun hampir 30 persen selama tahun lalu, jauh di bawah rata-rata industri. Turunnya permintaan, ketatnya persaingan dari merek Korea Selatan dan AS, serta insentif penjualan yang tidak lagi mampu menarik konsumen, semuanya memperburuk posisi Nissan di pasar yang sebelumnya menjadi andalan pendapatan.
Dari sisi teknologi, Nissan tertinggal dalam perlombaan mobil listrik dan otonom. Meski sempat menjadi pelopor lewat model Leaf, perusahaan gagal mempertahankan momentum dan kini tertinggal jauh di belakang rival seperti Tesla, BYD, dan Hyundai-Kia. Nikkei Asia mencatat bahwa divisi R&D Nissan telah kehilangan daya dorong strategis akibat tekanan anggaran, dan sebagian besar proyek elektrifikasi kini sedang dievaluasi kembali.
Para analis menilai bahwa kombinasi dari kesalahan strategi, ketidakpastian kebijakan tarif, serta struktur biaya yang tidak efisien telah menjebak Nissan dalam siklus negatif. Menurut pengamat industri dari Jefferies, Nissan saat ini berada dalam posisi di mana transformasi menyeluruh bukan hanya pilihan, tetapi keharusan untuk bertahan. Mereka menyarankan agar Nissan fokus pada segmen di mana perusahaan memiliki kekuatan historis, seperti kendaraan kompak dan teknologi penggerak efisien, sambil mengurangi ketergantungan pada pasar dengan margin tipis.
Efek dari restrukturisasi ini tentu tidak hanya berdampak pada neraca keuangan. Serikat pekerja di Eropa dan Asia Tenggara mulai menyuarakan kekhawatiran terhadap masa depan ribuan pekerja yang terdampak pemangkasan. Di Spanyol, protes telah dilakukan di luar pabrik Zona Franca di Barcelona, sementara di Indonesia, ketidakpastian nasib pabrik di Purwakarta menyulut kecemasan para pekerja lokal. Deutsche Welle melaporkan bahwa pemerintah Spanyol dan Indonesia telah meminta klarifikasi dari Nissan mengenai rencana jangka panjang perusahaan dan potensi dampak sosialnya.
Di tengah tekanan ini, para investor pun turut bereaksi. Saham Nissan anjlok lebih dari 5 persen di bursa Tokyo sehari setelah pengumuman kerugian. Sentimen negatif juga merambat ke mitra aliansi seperti Renault, yang bergantung pada dividen dari Nissan untuk menopang kasnya. Dalam laporan yang dikutip oleh Les Echos, Renault kini harus menghitung ulang strategi konsolidasinya, termasuk kemungkinan menjual sebagian kepemilikannya di Nissan guna memperkuat neraca keuangan.
Situasi ini menandai titik balik yang menyakitkan bagi Nissan, yang selama dua dekade terakhir sempat menikmati status sebagai simbol kebangkitan industri otomotif Jepang. Setelah hampir bangkrut pada akhir 1990-an, perusahaan diselamatkan oleh aliansi strategis dengan Renault dan kepemimpinan Ghosn yang kontroversial namun efektif. Namun dalam beberapa tahun terakhir, skandal manajemen, persaingan teknologi, dan pergeseran pasar global telah menggerus fondasi yang dulu kokoh.
Kini, Nissan dihadapkan pada pertanyaan fundamental: apakah perusahaan mampu beradaptasi dengan dunia otomotif baru yang ditentukan oleh elektrifikasi, perangkat lunak, dan efisiensi tinggi? Jika iya, maka krisis ini bisa menjadi titik balik. Namun jika gagal, bukan tidak mungkin Nissan akan tergelincir lebih jauh ke dalam krisis struktural yang lebih dalam.
Meski belum merinci rencana ekspansi produk ke depan, Nissan menyatakan bahwa beberapa model baru sedang dikembangkan, termasuk crossover listrik untuk pasar Jepang dan China. Mereka juga akan mempercepat adopsi teknologi e-Power — sistem hybrid internal Nissan yang sempat populer di pasar domestik. Namun, para analis mempertanyakan apakah inovasi ini cukup untuk merebut kembali pangsa pasar dari kompetitor yang lebih agresif secara teknologi dan pemasaran.
Untuk jangka pendek, fokus Nissan adalah bertahan. Itu berarti menurunkan titik impas operasional, memotong pengeluaran yang tidak esensial, serta menjual aset nonstrategis untuk memperkuat likuiditas. S&P Global Ratings dalam catatannya menyebutkan bahwa peringkat kredit Nissan tetap dalam pengawasan negatif, dan bisa mengalami penurunan lebih lanjut jika tidak ada perbaikan signifikan dalam enam hingga dua belas bulan ke depan.
Dampak dari ketidakpastian tarif AS terhadap industri otomotif global, khususnya produsen Asia seperti Nissan, tidak bisa diremehkan. Jika kebijakan tarif meningkat secara sepihak, maka struktur biaya Nissan akan makin terbebani, terutama karena banyak model yang dijual di AS masih diproduksi di luar negeri. Hal ini dapat membuat harga jual naik atau margin keuntungan menyusut, keduanya menjadi skenario yang sulit bagi perusahaan dalam kondisi sekarang.
Nissan, dengan sejarah panjang dan kapasitas global yang besar, masih memiliki peluang untuk bangkit. Namun, waktu dan sumber daya yang tersedia semakin menipis. Restrukturisasi kali ini, jika gagal menumbuhkan profitabilitas dan memperkuat posisi di pasar utama, bisa menjadi awal dari erosi jangka panjang terhadap relevansi Nissan di industri otomotif global.