(Business Lounge – Global News) Setelah bertahun-tahun berada di bawah pengawasan ketat regulator dan publik akibat serangkaian insiden keselamatan dan kegagalan produksi, Boeing kini mencoba merekonstruksi fondasi paling mendasar dari operasinya: budaya internal perusahaan. Dalam dokumen internal dan pernyataan terbaru kepada regulator federal, Boeing menegaskan bahwa mereka sedang membangun sistem baru yang akan mempermudah karyawan untuk melaporkan potensi bahaya dan kekurangan prosedural—tanpa takut akan pembalasan atau pengabaian.
Sebagaimana dilaporkan oleh The Wall Street Journal, upaya ini menjadi bagian dari strategi menyeluruh perusahaan untuk merespons krisis kepercayaan yang semakin dalam, terutama setelah insiden pintu panel yang terlepas dari pesawat Alaska Airlines 737 Max 9 pada awal tahun ini. Kasus tersebut kembali mengguncang reputasi Boeing yang belum sepenuhnya pulih dari tragedi dua kecelakaan fatal 737 Max pada 2018 dan 2019.
Dalam dokumen yang diserahkan ke Federal Aviation Administration (FAA), Boeing menguraikan rencana peningkatan sistem pelaporan keselamatan internal, termasuk penguatan peran “safety ambassadors” di lini produksi dan pembentukan saluran pelaporan anonim yang lebih mudah diakses oleh pekerja di semua level. Seperti dilaporkan Reuters, perusahaan juga menyatakan akan menambah pelatihan untuk para manajer dan supervisor agar dapat menangani keluhan keselamatan secara serius dan sistematis.
Langkah ini bukan sekadar formalitas. FAA telah memberi tenggat waktu kepada Boeing hingga akhir Mei 2025 untuk mengajukan rencana aksi yang kredibel dan komprehensif jika ingin mempertahankan keistimewaan sertifikasi internal yang selama ini diberikan kepada produsen pesawat besar seperti mereka. Jika Boeing gagal meyakinkan regulator, bukan tidak mungkin perusahaan akan kehilangan sebagian kontrol atas proses verifikasi keselamatan pesawatnya sendiri, dan itu bisa berdampak besar terhadap waktu produksi dan biaya.
Menurut Bloomberg, tekanan terhadap Boeing tidak hanya datang dari regulator, tetapi juga dari klien maskapai, investor, dan bahkan pegawai internal. Dalam beberapa tahun terakhir, berbagai investigasi mengungkapkan bahwa budaya perusahaan terlalu fokus pada kecepatan produksi dan target keuangan, sehingga mengabaikan kekhawatiran teknis yang disampaikan oleh para insinyur dan teknisi di lapangan.
Salah satu tantangan utama yang diakui oleh manajemen Boeing adalah rasa takut dalam melapor. Dalam audit sebelumnya yang dilakukan FAA dan dibocorkan ke media, sejumlah karyawan menyebut bahwa mereka merasa khawatir akan mengalami konsekuensi negatif apabila mengungkapkan kelemahan sistem atau prosedur keselamatan. Ini menciptakan apa yang oleh para analis disebut sebagai “budaya bungkam”, di mana peringatan dini justru terhambat oleh tekanan organisasi.
CEO Boeing Dave Calhoun, yang akan mengundurkan diri akhir tahun ini, menyatakan dalam pernyataan publik bahwa transformasi budaya perusahaan adalah “prioritas nomor satu.” Ia menambahkan bahwa Boeing tidak akan bisa bergerak maju kecuali jika seluruh tenaga kerjanya merasa bahwa suara mereka dihargai dan ditindaklanjuti. Seperti dikutip oleh The Wall Street Journal, Calhoun mengatakan bahwa masa depan Boeing tidak akan ditentukan oleh teknologi semata, tetapi oleh kepercayaan yang dibangun di antara manusia yang merancang, membangun, dan menerbangkan pesawat-pesawat tersebut.
Untuk mendukung perubahan ini, Boeing juga menggandeng konsultan eksternal dan mantan pejabat regulator keselamatan penerbangan untuk mengevaluasi ulang sistem internalnya. Salah satu inisiatif penting adalah membentuk “Safety Culture Committee” yang terdiri dari pekerja berbagai divisi dan level senioritas. Komite ini akan menjadi wadah untuk mendiskusikan temuan lapangan, membahas keluhan, dan memberikan rekomendasi langsung ke dewan direksi.
Namun tantangan yang dihadapi Boeing jauh lebih dalam dari sekadar reformasi prosedural. Seperti dikemukakan oleh pakar industri kedirgantaraan dalam laporan Bloomberg Intelligence, perusahaan perlu waktu bertahun-tahun untuk memulihkan kepercayaan publik dan regulator yang telah lama terkikis. Hal ini terutama penting mengingat Boeing sedang dalam proses menggenjot produksi model 737 dan 787 untuk memenuhi lonjakan permintaan dari maskapai global pascapandemi.
Lebih jauh lagi, krisis ini juga memiliki dimensi ekonomi dan politik. Pemerintah AS, melalui Departemen Transportasi dan FAA, menghadapi tekanan dari Kongres dan masyarakat untuk bertindak lebih tegas terhadap pelanggaran keselamatan oleh perusahaan-perusahaan besar. Dalam beberapa sidang kongres terbaru, anggota parlemen dari kedua partai secara terbuka mengkritik Boeing dan mempertanyakan efektivitas pengawasan regulator.
Situasi ini memaksa FAA untuk lebih proaktif dan kurang toleran terhadap pelanggaran prosedur. Dalam konteks ini, rencana transformasi budaya Boeing bukan hanya langkah internal, tetapi juga isyarat kepada regulator bahwa perusahaan bersedia tunduk pada reformasi menyeluruh. Reuters mencatat bahwa FAA telah meningkatkan pengawasan lapangan di pabrik Boeing, termasuk mengirim inspektur tetap ke fasilitas produksi di Renton, Washington, dan Charleston, South Carolina.
Di tengah tekanan tersebut, para pekerja Boeing menjadi garda terdepan dari perubahan yang diharapkan. Dalam wawancara yang dilakukan oleh The Wall Street Journal, beberapa teknisi mengaku menyambut baik upaya perusahaan, tetapi masih ragu apakah perubahan itu akan nyata atau hanya bersifat kosmetik. Beberapa bahkan menyatakan bahwa mereka sudah terbiasa melihat “gelombang reformasi” setiap kali muncul krisis, tetapi dampaknya sering tidak bertahan lama.
Selain membenahi sistem internal, Boeing juga menghadapi tekanan untuk meningkatkan keterbukaan terhadap publik dan kliennya. Dalam beberapa bulan terakhir, perusahaan mulai lebih rutin mengadakan briefing teknis dan forum terbuka bagi maskapai serta pemasok. Dalam laporan Bloomberg, Boeing disebut juga mulai mengadopsi pendekatan “transparansi radikal” dalam menanggapi pertanyaan teknis, sebuah pergeseran besar dari pendekatan defensif yang selama ini dikritik banyak pihak.
Secara keseluruhan, upaya Boeing untuk memperbaiki budaya keselamatan internal mencerminkan krisis yang lebih luas dalam industri manufaktur berisiko tinggi, di mana target keuangan dan tekanan produksi sering kali berbenturan dengan prinsip keselamatan dan integritas teknis. Transformasi ini bukan hanya soal pelaporan atau prosedur baru, tetapi perubahan mendalam dalam cara organisasi melihat dan memperlakukan suara karyawannya.
Apakah transformasi ini akan berhasil atau tidak masih menjadi tanda tanya besar. Tetapi dalam jangka pendek, yang jelas adalah bahwa nasib Boeing di mata regulator dan publik akan sangat ditentukan oleh kemampuannya untuk menunjukkan bahwa budaya perusahaan telah berubah—bukan hanya di atas kertas, tetapi juga dalam tindakan nyata di lini produksi.