(Business Lounge – Automotive) Volvo Group, produsen truk asal Swedia yang juga memproduksi mesin dan peralatan konstruksi, mencatat penurunan laba signifikan pada kuartal pertama 2025, seiring dengan turunnya volume penjualan dan pengiriman kendaraan. Dalam laporan resmi yang diterbitkan minggu ini, perusahaan mencatat laba operasi sebesar 12,3 miliar krona Swedia, jauh di bawah ekspektasi analis sebesar 15,8 miliar krona. Penurunan sebesar lebih dari 20% ini mencerminkan tekanan simultan dari sisi permintaan dan gangguan logistik global.
Penjualan bersih Volvo turun 7% dibandingkan periode yang sama tahun lalu, menjadi 121 miliar krona, sedangkan jumlah pengiriman kendaraan merosot hingga 12%. Kinerja ini terjadi meski perusahaan tetap mempertahankan tingkat pesanan yang tinggi di beberapa pasar Eropa dan Amerika Latin. Menurut laporan Bloomberg, pasar truk berat kini menunjukkan tanda-tanda pelambatan setelah dua tahun berturut-turut mengalami lonjakan permintaan pascapandemi.
Kepala Eksekutif Volvo, Martin Lundstedt, mengakui dalam konferensi pers bahwa perusahaan menghadapi kombinasi tantangan dari sisi permintaan global yang melemah, perubahan regulasi impor lintas wilayah, serta biaya logistik yang belum sepenuhnya stabil. “Kami melihat sinyal melambat dari beberapa pelanggan besar, terutama dalam industri logistik dan konstruksi,” ujar Lundstedt seperti dikutip Financial Times.
Penurunan performa Volvo terjadi dalam konteks yang lebih luas, di mana sektor kendaraan komersial global tengah mengalami transisi penting menuju elektrifikasi dan efisiensi energi. Sementara Volvo telah mengambil langkah progresif dalam memperkenalkan truk listrik dan solusi berbasis hidrogen, margin keuntungan dari lini baru ini masih jauh di bawah model berbahan bakar diesel tradisional.
Laporan dari Reuters menunjukkan bahwa biaya pengembangan kendaraan listrik di sektor truk jauh lebih tinggi dibandingkan di pasar mobil penumpang. Selain harga baterai yang besar dan berat, kendaraan komersial juga memerlukan jaringan pengisian daya berdaya tinggi, yang masih terbatas di banyak wilayah, termasuk Amerika Utara dan Asia Tenggara.
Volvo sebelumnya telah mengumumkan investasi besar dalam teknologi powertrain listrik, termasuk kerja sama dengan Daimler Truck AG dalam pengembangan fuel-cell dan proyek baterai bersama di Eropa. Namun tantangan implementasi tetap besar. Salah satu eksekutif senior Volvo menyatakan bahwa transisi teknologi tidak hanya menuntut perubahan desain produk, tetapi juga restrukturisasi rantai pasok global yang selama ini sangat terintegrasi lintas negara.
Di pasar Amerika Serikat, misalnya, pengiriman truk Volvo mengalami penurunan dua digit karena ketidakpastian seputar kebijakan impor dan lamanya proses kepabeanan. Situasi ini mendorong sejumlah distributor untuk menunda atau membatalkan pemesanan, sembari menunggu kejelasan lebih lanjut mengenai bea masuk dan pengaturan logistik lintas negara.
Di sisi lain, pasar Eropa relatif lebih stabil, dengan permintaan dari Jerman, Prancis, dan negara-negara Nordik tetap cukup kuat. Volvo juga mencatat pertumbuhan pesanan dari sektor konstruksi dan energi terbarukan, terutama dalam pengadaan alat berat dan truk tugas berat untuk proyek-proyek infrastruktur. Namun demikian, penguatan mata uang euro terhadap krona turut memberikan tekanan pada pendapatan Volvo yang didenominasikan dalam mata uang lokal.
Salah satu tantangan utama Volvo saat ini adalah menjaga keseimbangan antara efisiensi biaya dan kesinambungan pengembangan produk. Analis di Danske Bank menyebut bahwa perusahaan berada pada titik kritis di mana harus memilih antara menunda sebagian investasi teknologi jangka panjang atau menurunkan margin keuntungan demi mempertahankan volume penjualan.
Strategi Volvo selama ini dikenal berhati-hati namun konsisten, dengan fokus pada inovasi berkelanjutan dan keberlanjutan rantai pasok. Namun, laporan kuartalan terbaru menunjukkan bahwa perusahaan belum sepenuhnya kebal terhadap tekanan struktural di industri kendaraan komersial. Selain meningkatnya biaya bahan baku seperti baja dan aluminium, Volvo juga menghadapi kenaikan biaya tenaga kerja di beberapa wilayah produksi utamanya.
Menurut Bloomberg Intelligence, biaya tenaga kerja di pabrik Volvo di Eropa Timur naik hampir 9% dibandingkan tahun lalu, sebagian karena inflasi upah dan reformasi ketenagakerjaan di kawasan tersebut. Sementara itu, di Asia, perusahaan masih menghadapi tantangan dalam menjaga efisiensi produksi karena perbedaan standar teknis dan hambatan logistik.
Volvo juga harus bersaing dengan para pemain baru yang agresif memasuki pasar truk listrik, termasuk pabrikan asal China seperti BYD dan Geely yang menawarkan solusi lebih murah di segmen kendaraan komersial ringan. Meski Volvo tetap unggul dalam inovasi rekayasa dan kualitas produk, tekanan harga dari kompetitor tersebut memaksa perusahaan untuk lebih efisien dalam strategi produksi dan pemasaran.
Langkah diversifikasi geografis menjadi strategi penting dalam menghadapi tekanan regional. Dalam beberapa bulan terakhir, Volvo mengumumkan perluasan pabrik perakitan di Brasil dan India, serta ekspansi jaringan layanan purna jual di Asia Tenggara. Perusahaan juga meningkatkan investasi dalam perangkat lunak dan solusi fleet management berbasis cloud untuk meningkatkan loyalitas pelanggan jangka panjang.
Salah satu sinyal positif dalam laporan kuartalan Volvo adalah pertumbuhan pendapatan dari segmen layanan, termasuk suku cadang dan digital support. Segmen ini menyumbang lebih dari 25% laba kotor perusahaan pada kuartal pertama, naik dibandingkan 20% tahun lalu. Ini menunjukkan bahwa meskipun penjualan kendaraan menurun, basis pelanggan tetap aktif dalam melakukan perawatan dan upgrade sistem kendaraan yang sudah ada.
Investor menyambut laporan ini dengan sikap hati-hati. Saham Volvo sempat turun 3,4% di bursa saham Stockholm sesaat setelah laporan diterbitkan, namun kemudian berbalik arah karena beberapa analis menilai penurunan sudah diantisipasi sebelumnya. “Kami melihat ini sebagai penyesuaian wajar dalam siklus industri,” kata Erik Fröberg, analis industri otomotif di Nordea Markets. “Namun, ketahanan jangka panjang Volvo akan sangat bergantung pada kecepatan eksekusi strategi elektrifikasinya.”
Volvo berencana memperkenalkan dua model truk listrik tambahan dalam 12 bulan ke depan, yang diharapkan dapat memperluas jangkauan produk di segmen angkutan jarak jauh. Perusahaan juga tengah menguji coba teknologi pengisian cepat berbasis infrastruktur jalan raya bekerja sama dengan beberapa kota di Skandinavia.
Meski tekanan dalam jangka pendek terlihat jelas dalam penurunan pendapatan dan pengiriman, fondasi jangka panjang Volvo tetap cukup kuat. Kombinasi antara kapasitas inovasi, basis pelanggan loyal, dan strategi diversifikasi geografis memberi sinyal bahwa perusahaan masih memiliki ruang untuk bangkit.
Namun, waktu dan eksekusi menjadi kunci. Di tengah meningkatnya kompleksitas pasar global dan transformasi teknologi, Volvo dituntut untuk bergerak lebih cepat, lebih fleksibel, dan lebih dekat dengan kebutuhan pengguna akhir. Tahun 2025 bisa menjadi penentu apakah perusahaan ini mampu mempertahankan posisinya sebagai salah satu pemimpin industri kendaraan komersial dunia, atau justru harus menyusun ulang strategi dasarnya dari awal.