(Business Lounge Journal – Marketing)
Saat pertama kali menyusun survei riset pasar, banyak orang — termasuk para profesional sekalipun — kerap terjebak pada pertanyaan yang terlalu umum, seperti tingkat kepuasan pelanggan. Meskipun terdengar penting, pertanyaan seperti ini justru sering kali tidak memberikan informasi yang benar-benar mendalam atau berguna dalam pengambilan keputusan bisnis. Bahkan, Anda mungkin tidak akan benar-benar tahu apakah pelanggan merasa puas atau hanya sekadar bersikap sopan.
Bayangkan ketika Anda memberi rating lima bintang untuk sebuah perjalanan dengan ojek online atau pengalaman menginap di Airbnb. Apakah itu benar-benar karena pengalaman tersebut luar biasa, atau sekadar karena tidak ada masalah berarti?
Menyusun pertanyaan dalam riset pasar bukan sekadar menyusun kata-kata. Ini adalah perpaduan antara seni berempati dan ketajaman analitis. Para profesional dalam bidang ini menghabiskan bertahun-tahun untuk menyempurnakan cara mereka bertanya — dan tetap terus belajar. Namun, ada sejumlah prinsip dasar yang bisa langsung meningkatkan kualitas pertanyaan Anda, bahkan sejak awal.
Berikut adalah enam kunci penting yang bisa membantu Anda menyusun pertanyaan riset pasar yang benar-benar mampu menggali wawasan dari pelanggan.
1. Pahami Cara Pandang Pelanggan
Salah satu kesalahan umum dalam menyusun survei adalah menggunakan bahasa internal perusahaan — istilah teknis dari tim produk atau teknologi — yang tidak relevan atau membingungkan bagi pelanggan.
Sebagai contoh, Anda mungkin tergoda untuk bertanya, “Seberapa penting kemampuan integrasi produk kami bagi Anda?” Padahal, pelanggan lebih memahami dan merespons pertanyaan seperti, “Seberapa mudah produk ini terhubung dengan perangkat yang Anda gunakan sehari-hari?”
Kuncinya adalah menyelami dunia pelanggan: apa masalah yang mereka hadapi? Apa yang mendorong mereka memilih produk atau layanan Anda? Hindari jargon. Gunakan bahasa sehari-hari yang terasa akrab dan relevan.
2. Hindari Pertanyaan yang Mengarahkan
Sebagai penyusun survei, Anda punya kekuatan besar: cara Anda menyusun pilihan jawaban bisa memengaruhi respons — bahkan tanpa disadari. Hal ini bisa menghasilkan data yang bias dan tidak mencerminkan realitas sebenarnya.
Misalnya, Anda bertanya: “Berapa jam dalam seminggu Anda menggunakan media sosial?” lalu memberikan pilihan:
a) 1–2 jam
b) 3–4 jam
c) 4–5 jam
d) 6+ jam
Pilihan ini secara halus memberi kesan bahwa menghabiskan waktu lebih dari 5 jam di media sosial adalah sesuatu yang “tidak normal” atau “berlebihan”. Banyak responden mungkin akan memilih jawaban yang lebih rendah karena tekanan sosial — bukan karena itu mencerminkan kebiasaan mereka yang sebenarnya.
Solusinya? Gunakan rentang jawaban yang lebih luas dan netral. Misalnya: a) 1–5 jam, b) 6–10 jam, c) 11–15 jam, d) 16+ jam. Susunan seperti ini menunjukkan bahwa semua pilihan dianggap valid, dan tidak ada jawaban yang “salah”.
3. Tanyakan Masalah, Bukan Solusi
Ada kutipan terkenal yang sering dikaitkan dengan Henry Ford: “Kalau saya bertanya pada orang, mereka akan bilang ingin kuda yang lebih cepat.” Meskipun ia mungkin tidak benar-benar mengatakan itu, pesan di baliknya sangat relevan.
Banyak perusahaan terlalu fokus menanyakan apa yang pelanggan inginkan, padahal pelanggan sendiri belum tentu tahu jawabannya. Namun, yang mereka tahu pasti adalah apa yang tidak mereka sukai atau apa yang membuat mereka frustrasi.
Dengan menggali masalah atau “pain point” yang mereka alami, Anda bisa mendapatkan wawasan yang jauh lebih bernilai. Anda pun dapat merancang solusi atau produk yang secara nyata menjawab kebutuhan mereka — bahkan sebelum mereka menyadarinya.
4. Bangun Percakapan yang Nyata dan Jujur
Survei bukanlah sesi interogasi. Ia adalah bentuk percakapan antara Anda dan pelanggan, meskipun dalam format satu arah. Namun, karena tidak ada kesempatan untuk bertanya kembali atau mengklarifikasi jawaban, Anda harus memastikan bahwa pertanyaannya benar-benar ramah, terbuka, dan mengundang kejujuran.
Faktanya, orang sering menjawab pertanyaan survei berdasarkan aspirasi atau citra diri yang ideal, bukan realitas sebenarnya. Seorang pasien mungkin mengatakan hanya minum dua gelas alkohol per malam, padahal kenyataannya lebih. Seorang nasabah kartu kredit mungkin mengaku rutin melunasi tagihan tiap bulan, padahal sudah menunggak tiga bulan terakhir.
Untuk menghindari bias ini, gunakan kalimat pembuka yang empatik. Misalnya:
“Di tengah tekanan ekonomi saat ini, banyak orang mengalami tantangan dalam mengelola utang konsumen…”
Pendekatan seperti ini membuat responden merasa dimengerti, bukan dihakimi — dan mereka pun cenderung menjawab dengan jujur.
5. Paksa Terjadinya Trade-off (Pertukaran Prioritas)
Jika Anda bertanya apakah pelanggan ingin produk yang lebih baik, lebih cepat, dan lebih murah, sudah pasti mereka akan menjawab “ya” untuk semuanya. Tapi jawaban seperti ini tidak membantu Anda menentukan prioritas.
Untuk menggali preferensi sesungguhnya, Anda perlu menyusun skenario yang memaksa pelanggan untuk membuat pilihan nyata. Misalnya:
“Anda lebih memilih ponsel dengan daya tahan baterai 3 hari tapi kamera standar, atau ponsel dengan kamera profesional tapi harus diisi ulang setiap hari?”
Dengan model pertanyaan seperti ini, pelanggan akan berpikir lebih realistis tentang apa yang benar-benar penting bagi mereka. Anda pun akan memperoleh wawasan yang lebih akurat untuk pengembangan produk atau strategi pemasaran.
6. Uji Pertanyaan Anda Sebelum Digunakan Secara Luas
Walaupun Anda sudah menyusun pertanyaan dengan cermat, tetap ada kemungkinan responden salah paham atau hasil survei menunjukkan pola yang tidak masuk akal. Karena itu, sangat penting untuk melakukan uji coba sebelum survei disebar ke audiens yang lebih besar.
Manfaatkan alat digital untuk melakukan pilot test kepada sekelompok responden kecil. Selain itu, gunakan A/B testing untuk memvalidasi hasil survei. Misalnya, jika survei menunjukkan bahwa pelanggan lebih peduli pada daya tahan produk daripada harga, Anda bisa menguji dua versi iklan — satu menonjolkan ketahanan, satu menonjolkan harga — untuk melihat mana yang lebih menarik respons nyata.
Di era digital yang serba cepat ini, riset pasar bukan lagi monopoli perusahaan besar. Kini, siapa pun bisa melakukan survei dan mengumpulkan data pelanggan. Namun, kemudahan ini juga membawa tantangan: bagaimana memastikan data yang dikumpulkan benar-benar bermakna?
Jawabannya terletak pada cara Anda menyusun pertanyaan.
Dengan menempatkan diri di posisi pelanggan, menjaga netralitas bahasa, dan menghindari asumsi, Anda dapat merancang pertanyaan yang bukan hanya informatif — tapi juga menggugah. Riset yang baik dimulai dari pertanyaan yang tepat dan hanya mereka yang bertanya dengan benar, yang akan mendapatkan jawaban yang benar-benar bernilai.