(Business Lounge – Global News) Ketika sentimen ekonomi global dibayangi ketegangan perdagangan antara Amerika Serikat dan mitra-mitra dagangnya, Walmart Inc., raksasa ritel terbesar dunia, justru menunjukkan keyakinan yang kuat terhadap pertumbuhan bisnisnya. Dalam pernyataan terbarunya, perusahaan menegaskan bahwa proyeksi penjualan kuartal pertama tahun fiskal 2025 tetap sejalan dengan panduan sebelumnya, yakni pertumbuhan antara 3% hingga 4%.
Pernyataan ini muncul menjelang potensi pemberlakuan tarif impor tambahan oleh pemerintahan Amerika Serikat terhadap sejumlah produk asal Tiongkok, Meksiko, dan negara lain sebagai bagian dari kebijakan “America First” yang terus diperkuat menjelang pemilu presiden. Namun, berbeda dengan banyak pelaku industri yang mulai bersikap waspada, Walmart menunjukkan kepercayaan diri terhadap kekuatan jaringan pasokannya dan fleksibilitas operasionalnya dalam menghadapi hambatan eksternal.
Menurut laporan Bloomberg, Walmart mengatakan pihaknya tidak melihat adanya perlambatan dalam belanja konsumen yang signifikan hingga awal Maret, meskipun tekanan inflasi tetap bertahan di beberapa segmen. Perusahaan tetap fokus pada efisiensi biaya, manajemen inventaris yang lebih ramping, serta penguatan ekosistem digital yang telah menjadi keunggulan kompetitif sejak pandemi.
Sikap optimistis Walmart cukup kontras dibandingkan dengan narasi global yang dibayangi ketidakpastian geopolitik dan ekonomi. Ancaman tarif yang digulirkan oleh mantan Presiden Donald Trump dalam kampanye 2024-nya, yang mengusulkan tarif umum sebesar 10% untuk semua barang impor, telah menimbulkan kekhawatiran di sektor ritel dan manufaktur. Namun, Walmart menilai bahwa jaringan logistik dan skala operasionalnya memungkinkan untuk mengatasi gangguan tersebut lebih baik daripada kompetitornya.
Dalam laporan CNBC, para eksekutif Walmart menyatakan bahwa mereka telah melakukan diversifikasi asal produk dalam beberapa tahun terakhir, memindahkan sebagian sumber produksi dari Tiongkok ke negara-negara Asia Tenggara seperti Vietnam, India, dan Bangladesh. Langkah ini dilakukan bukan hanya untuk menekan biaya, tetapi juga untuk mengurangi ketergantungan terhadap satu sumber utama yang rawan terhadap gejolak politik.
Dengan lebih dari 4.600 toko di seluruh Amerika Serikat dan sistem distribusi yang sangat terintegrasi, Walmart memiliki kemampuan untuk mengatur ulang rute logistik dan komposisi produk secara cepat. Ini menjadi keunggulan vital dalam iklim perdagangan yang tidak stabil.
Menurut riset WSJ, perilaku konsumen kelas menengah dan bawah yang menjadi tulang punggung pelanggan Walmart menunjukkan tanda-tanda stabil. Konsumen tetap belanja kebutuhan pokok, terutama makanan dan kebutuhan rumah tangga, meskipun pembelanjaan untuk barang tahan lama seperti elektronik, furnitur, dan mainan menurun.
“Pelanggan kami lebih berhati-hati dalam membelanjakan uang mereka, tapi mereka tetap datang,” kata Doug McMillon, CEO Walmart, dalam wawancara bersama Reuters. “Kami terus melihat kekuatan di kategori bahan makanan dan kesehatan rumah, serta pertumbuhan dua digit di kanal e-commerce.”
E-commerce tetap menjadi pilar pertumbuhan penting bagi Walmart. Investasi dalam teknologi gudang, sistem pemrosesan pesanan yang lebih cepat, dan peningkatan pengalaman aplikasi seluler telah meningkatkan konversi pelanggan. Walmart juga mulai memperluas layanan pengiriman dalam sehari dan meluncurkan fitur berlangganan Walmart+, yang menjadi pesaing langsung Amazon Prime.
Pentingnya resiliensi rantai pasok semakin menonjol ketika pemerintah Amerika Serikat kembali mempertimbangkan penggunaan instrumen tarif untuk melindungi industri dalam negeri dan menekan defisit perdagangan. Meski kebijakan ini mungkin bertujuan untuk mendorong produksi lokal, efek jangka pendeknya bisa memicu inflasi harga barang konsumsi, termasuk di jaringan toko seperti Walmart.
Namun, berbeda dengan ritel kecil atau toko independen, Walmart telah membangun sistem prediksi dan perencanaan yang canggih. Perusahaan memiliki tim logistik global yang memantau harga kontainer, waktu pengiriman, serta risiko geopolitik secara real-time. Sistem ini memungkinkan mereka merespons perubahan kebijakan dengan cepat, baik dengan mengubah asal barang, mengatur ulang stok, atau menegosiasikan kontrak baru dengan pemasok.
Laporan dari Financial Times mencatat bahwa Walmart telah memesan kapasitas kontainer lebih awal sejak Januari, mengantisipasi kemungkinan penundaan pengiriman dari Laut Merah akibat ketegangan di Timur Tengah. Strategi ini terbukti menguntungkan ketika banyak retailer lain melaporkan kelangkaan stok musiman di bulan Maret.
Strategi penting lain yang dipakai Walmart untuk mempertahankan margin dan daya saing harga adalah penguatan portofolio merek milik sendiri (private label), seperti Great Value dan Equate. Produk-produk ini dijual dengan harga lebih rendah dari merek nasional, namun menawarkan margin yang lebih tinggi bagi perusahaan. Dalam periode tekanan biaya seperti sekarang, konsumen cenderung beralih ke produk-produk semacam ini.
Menurut Morgan Stanley, pangsa pasar private label Walmart meningkat hampir 2% dalam dua kuartal terakhir, menunjukkan bahwa strategi ini berhasil menarik konsumen yang terdampak inflasi. Hal ini juga menegaskan bahwa Walmart bukan hanya sekadar toko serba ada, melainkan juga produsen dan pemilik merek dengan pengaruh besar dalam rantai nilai.
Walmart terus berinvestasi dalam otomatisasi gudang, robotika, dan kecerdasan buatan untuk meningkatkan efisiensi operasional. Penggunaan robot untuk menyortir produk, menghitung stok, dan mengisi ulang rak telah diterapkan di ratusan toko besar dan pusat distribusi.
Selain itu, perusahaan telah menguji penggunaan teknologi computer vision dan machine learning untuk mengelola pengisian ulang barang, memprediksi permintaan lokal, dan mengatur penempatan produk berdasarkan perilaku pembelian pelanggan.
Dalam wawancara dengan TechCrunch, CTO Walmart menyebut bahwa dalam dua tahun ke depan, lebih dari 60% pusat distribusi akan sepenuhnya otomatis, mengurangi ketergantungan pada tenaga kerja manual dan meningkatkan kecepatan pemrosesan hingga 35%.
Dengan semua strategi tersebut, Walmart tetap pada jalur untuk mencapai target pertumbuhan penjualan tahunan 3% hingga 4% untuk kuartal pertama, meskipun dunia usaha dihantui oleh potensi perlambatan ekonomi dan kebijakan dagang yang agresif.
Namun, tantangan masih membayangi. Selain tarif, perusahaan menghadapi tekanan kenaikan upah minimum di beberapa negara bagian, perubahan pola kerja di kalangan karyawan, dan persaingan yang semakin ketat dari Amazon, Target, dan pemain online murni seperti Temu dan Shein.
Walmart juga harus menavigasi isu-isu ESG (lingkungan, sosial, dan tata kelola) yang semakin penting bagi investor institusional. Perusahaan sedang dalam tahap finalisasi target netral karbon dan melakukan dekarbonisasi armada distribusi mereka. Keberhasilan inisiatif ini akan berdampak langsung pada persepsi merek dan daya tarik saham di mata investor global.
Dalam lanskap ekonomi yang bergejolak dan penuh ketidakpastian kebijakan, Walmart muncul sebagai barometer utama kekuatan konsumen Amerika Serikat. Keteguhan perusahaan untuk mempertahankan proyeksi penjualan, di tengah ancaman tarif dan inflasi, mencerminkan kekuatan model bisnis mereka yang fleksibel, terintegrasi, dan berorientasi pada kebutuhan dasar masyarakat.
Dengan strategi diversifikasi pasok, penetrasi teknologi, dan positioning sebagai penyedia kebutuhan esensial, Walmart tampaknya siap menghadapi gejolak 2025. Dan lebih dari sekadar raksasa ritel, perusahaan ini terus memainkan peran sebagai jangkar ekonomi mikro di Amerika—tempat jutaan keluarga menggantungkan kebutuhan hariannya, dan di mana kondisi ekonomi sejati bisa diukur dari isi troli belanja mereka.