(Business Lounge Journal – Event)
Dalam rangka memperingati 75 tahun hubungan diplomatik antara Indonesia dan Filipina, maka Kedutaan besar Filipina di Jakarta bersama dengan Women’s International Club Jakarta menyelenggarakan sebuah acara bincang berjudul “Women in Diplomacy” pada Senin, 19 Agustus 2024. Hadir sebagai nara sumber H.E. Ambassador Delia Domingo Albert, mantan Menteri Luar Negeri Republik Filipina. Bertempat di Philippine Official Residence, acara ini dibuka oleh Duta Besar Filipina untuk Indonesia, H.E. Gina A Jamoralin.
Dalam pidato singkatnya, Duta Besar Jamoralin menekankan kontribusi signifikan kaum perempuan dalam hubungan internasional, terutama di Filipina, di mana pemimpin perempuan seperti Corazon Aquino dan Gloria Macapagal-Arroyo telah membuka jalan bagi para diplomat perempuan. Salah satu contoh lainnya adalah Duta Besar Albert, yang dihormati sebagai Menteri Luar Negeri perempuan pertama di Filipina dan Asia.
Pidato Duta Besar Jamoralin juga mengakui prestasi perempuan Indonesia dalam diplomasi, dengan menyoroti beberapa tokoh berpengaruh seperti salah satunya Presiden Indonesia ke-5, Megawati Sukarnoputri. Acara ini tidak hanya merayakan keberhasilan tersebut, tetapi juga menjadi wadah untuk membahas bagaimana perspektif yang beragam dapat meningkatkan upaya diplomatik.
Delia Domingo-Albert sebagai Diplomat Muda
Duta Besar Delia Domingo-Albert memulai pembicaraan dengan mengenang pengalamannya sebagai diplomat dan menekankan pentingnya kesadaran regional di antara para diplomat muda ASEAN. Dia mengingat awal kariernya ketika pertama kali mengunjungi Indonesia sebagai diplomat muda, di mana dia menghadiri sebuah konferensi di Bogor dan terlibat dalam debat yang tak terlupakan dengan Anwar Ibrahim, yang kemudian ketika Anwar Ibrahim menjadi Menteri Pendidikan Malaysia, ia bertemu kembali dengan Ambassador Albert. Saat ini Anwar Ibrahim menjadi Perdana Menetri Malaysia sejak 2022. Pengalaman ini meninggalkan kesan mendalam padanya, menyoroti hubungan budaya dan diplomatik antara negara-negara ASEAN.
Duta Besar Albert juga mengenang perannya dalam mempromosikan persatuan dan kolaborasi ASEAN, terutama saat menjabat sebagai Direktur Jenderal ASEAN di Departemen Luar Negeri Filipina. Dengan nada humor, dia menceritakan bagaimana dia menciptakan istilah “Association of Six Energetic and Ambitious Nations” untuk menggambarkan ASEAN di Eropa, yang kemudian menjadi sebutan yang diakui, bahkan ketika ASEAN berkembang menjadi lebih dari enam anggota.
Menjadi Menteri Luar Negeri
Bagi Duta Besar Albert, peranan perempuan dalam diplomasi sangat penting. Ia meyakini bahwa duta besar perempuan sangat efektif dalam peran yang menantang. Dia menceritakan bagaimana, selama menjabat sebagai menteri luar negeri, dia sering menugaskan perempuan ke pos-pos sulit karena dia percaya pada kemampuan mereka untuk memberikan hasil. Meskipun kadang-kadang mendapat kritik dari rekan laki-laki, dia tetap teguh pada keyakinannya, dengan pengalaman sebagai buktinya.
Ia juga merefleksikan pengalamannya dalam diplomasi, menekankan peran gender tradisional yang diberikan di bidang ini, di mana isu-isu “lembut” sering diberikan kepada perempuan dan isu-isu “keras” kepada laki-laki. Pada tahun 1972, ia terlibat dalam penyusunan The Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination against Women (CEDAW), sebuah pencapaian signifikan yang memakan waktu lima tahun untuk diselesaikan dan kini diakui sebagai dokumen hak-hak perempuan global.
Love in a Time of Discrimination
Duta Besar Albert mengisahkan bagaimana The Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination against Women (CEDAW) menjadi “senjata” untuk menantang praktik diskriminatif di departemennya sendiri, khususnya aturan yang mengharuskan diplomat perempuan untuk mengundurkan diri jika mereka menikah dengan warga negara asing. Sementara laki-laki tidak menghadapi pembatasan yang sama. Ketika ia mengalami sebuah pengalaman serupa, maka ia pun menentang aturan tersebut dan berhasil memenangkannya. Ia menyebut kisah ini sebagai Love in a Time of Discrimination.
Kemajuan perempuan dalam diplomasi, mencatat jumlah duta besar perempuan yang signifikan di Filipina dibandingkan dengan negara-negara lain di Asia. Terinspirasi oleh hal ini, Duta Besar Albert menulis sebuah buku berjudul *Women in Diplomacy,* yang mendokumentasikan pengalaman 117 duta besar perempuan dan peran mereka dalam membentuk kebijakan luar negeri.
Para Pemimpin Perempuan di Asia
Duta Besar Albert mengungkapkan bagaimana peningkatan jumlah pemimpin perempuan di Asia, dipicu oleh penunjukan Perdana Menteri perempuan kedua di Thailand baru-baru ini, yang merupakan putri dari mantan perdana menteri Thailand, Thaksin Shinawatra. Ini menjadikannya sebagai pemimpin perempuan ke-16 di Asia, melanjutkan warisan perempuan berpengaruh di kawasan tersebut. Duta Besar Albert juga menyebutkan beberapa pemimpin perempuan terkemuka, termasuk Corazon Aquino dari Filipina, Indira Gandhi dari India, Aung San Suu Kyi dari Myanmar, dan Tsai Ing-wen dari Taiwan.
Sebuah benang merah bagaimana mereka menjadi pemimpin perempuan adalah hubungan keluarga dengan pemimpin sebelumnya. Sering kali mereka adalah putri atau janda dari pemimpin laki-laki. Duta Besar Albert mencatat pentingnya para pemimpin ini dalam membentuk negara mereka dan bagaimana tren ini menunjukkan kekuatan dan ketahanan perempuan di Asia.
Dia juga mengungkapkan kebanggaannya melihat perempuan berhasil sebagai duta besar di berbagai negara seperti Brunei, Malaysia, dan Timor Leste. Kunci kesuksesan, menurutnya, adalah cinta yang mendalam untuk negara sendiri dan kemauan untuk berkolaborasi dengan orang lain. Perempuan memegang peranan penting dalam menjaga perdamaian dan kesejahteraan di kawasan ASEAN, memperkuat pentingnya kepemimpinan dan kolaborasi dalam kawasan tersebut.
Kesenjangan antar Perempuan di Filipina
Di Filipina, Duta Besar Albert menyoroti bahwa meskipun kesetaraan gender relatif maju, namun masalah sebenarnya adalah kesenjangan antara perempuan yang “memiliki segalanya” dan mereka yang tidak memiliki apa-apa. Dia secara khusus memiliki fokus untuk membantu perempuan pribumi yang kurang terlayani, dengan mencatat tantangan yang mereka hadapi, seperti kurangnya pendidikan, cahaya, dan infrastruktur dasar di daerah terpencil. Sebuah program pun dibuat untuk melatih nenek-nenek pribumi yang buta huruf untuk membuat lampu surya mereka sendiri. Proyek ini menangani kebutuhan kritis di komunitas terpencil di mana perempuan sering tinggal berjauhan dan tidak dapat mengakses jaringan listrik. Dengan menyediakan lampu surya, dia membantu meningkatkan kualitas hidup, memungkinkan anak-anak belajar di malam hari dan menawarkan harapan untuk masa depan.
Dia membandingkan pekerjaan ini dengan kekhawatiran rekan-rekannya di Eropa, mencatat bahwa meskipun Asia memiliki profesional dan pemimpin perempuan yang terkemuka, masih ada kesenjangan yang signifikan antara mereka yang sangat kaya dan yang hidup dalam kemiskinan ekstrem. Tantangannya adalah untuk mengangkat perempuan-perempuan yang kurang terlayani ini agar mereka dapat berkontribusi pada masyarakat dan memastikan masa depan yang lebih stabil dan damai.
Duta Besar Albert pun menutup pidatonya dengan mengungkapkan hubungan yang berkelanjutan dengan Indonesia dan keinginannya untuk kembali mengunjungi Bogor, tempat di mana perjalanan diplomatiknya dimulai.