Boeing

Boeing Evaluasi Kembali Produksi untuk Pasar China

(Business Lounge – Global News) Boeing menyatakan siap menghentikan produksi pesawat yang ditujukan untuk maskapai-maskapai China jika tidak ada kejelasan penerimaan pesawat tersebut. Pernyataan itu datang dari Chief Executive Officer Dave Calhoun setelah raksasa kedirgantaraan asal Amerika Serikat ini melaporkan hasil keuangan kuartalan yang lebih baik dari ekspektasi analis, namun tetap dibayangi oleh ketegangan dalam hubungan perdagangan dengan China.

Dalam wawancara dengan The Wall Street Journal, Calhoun menyampaikan bahwa Boeing tidak akan terus membuat pesawat yang tidak memiliki jalur pengiriman yang pasti. Ia mengisyaratkan bahwa perusahaan tidak bisa menunggu lebih lama sementara pesawat-pesawat buatan mereka menumpuk tanpa kepastian apakah akan diterima oleh pelanggan di China. Ini adalah indikasi kuat bahwa Boeing mempertimbangkan kembali strategi produksinya, khususnya menyangkut pasar ekspor ke Asia Timur.

China telah menjadi salah satu pasar internasional terpenting bagi Boeing selama dua dekade terakhir. Permintaan yang besar dari maskapai domestik seperti China Southern Airlines dan Air China menjadi fondasi dari pertumbuhan perusahaan dalam portofolio pesawat lorong tunggal maupun lorong ganda. Namun, dalam beberapa tahun terakhir, pengiriman pesawat ke China mengalami stagnasi. Data dari Bloomberg menunjukkan bahwa belum ada pengiriman pesawat baru ke maskapai Tiongkok sejak tahun 2022, meskipun terdapat sejumlah kontrak yang telah ditandatangani.

Kondisi ini kontras dengan laporan keuangan terbaru Boeing yang menunjukkan perbaikan. Perusahaan mencatat kenaikan pendapatan dari lini pertahanan dan luar angkasa, serta peningkatan pemesanan dari maskapai-maskapai asal India dan Timur Tengah. Walau begitu, absennya kontribusi dari pasar Tiongkok menjadi tantangan strategis yang harus segera ditangani oleh manajemen.

Analis dari Reuters menyebut bahwa pembekuan pengiriman pesawat ke China bukan hanya masalah penjualan, tetapi juga memengaruhi efisiensi rantai pasok dan strategi produksi global Boeing. Setiap pesawat yang diproduksi tapi tak dikirimkan menimbulkan beban inventori yang mahal serta memperumit perencanaan kapasitas pabrik di AS.

Dalam laporan terpisah, Bloomberg menyoroti bahwa rival Boeing, Airbus, justru memperkuat posisinya di China. Pabrik perakitan Airbus di Tianjin telah menambah kapasitas produksi dan berhasil menjalin kemitraan dengan maskapai besar di sana. Hal ini semakin mempersempit ruang gerak Boeing jika mereka tidak segera mengambil langkah tegas untuk menyusun ulang strategi pasar Asia mereka.

Sumber dari industri aviasi menyebut bahwa Boeing tengah menjajaki diversifikasi tujuan pengiriman ke negara-negara Asia Tenggara seperti Vietnam dan Indonesia. Kedua negara tersebut mencatat pertumbuhan lalu lintas penumpang dan kebutuhan pesawat baru yang cukup besar pascapandemi. Namun, para analis memperingatkan bahwa pasar-pasar tersebut masih terlalu kecil untuk sepenuhnya mengimbangi hilangnya potensi permintaan dari Tiongkok.

Selain persoalan pengiriman ke China, Boeing juga sedang dalam fase pemulihan dari berbagai tantangan teknis dan regulasi yang dihadapi selama lima tahun terakhir. Termasuk di antaranya adalah penangguhan operasional 737 MAX pada 2019 serta perlambatan sertifikasi model 777X. Manajemen telah menyampaikan bahwa fokus utama saat ini adalah memperbaiki kinerja produksi, menjamin keselamatan, serta membangun kembali kepercayaan pelanggan global.

Dalam penutupan sesi perdagangan terbaru di Wall Street, saham Boeing mencatat kenaikan moderat setelah rilis laporan keuangan yang lebih baik dari perkiraan. Namun investor tetap mengamati perkembangan isu pengiriman internasional dengan hati-hati. Sejumlah analis memperkirakan bahwa ketidakpastian terkait pengiriman ke China dapat menjadi salah satu faktor risiko utama dalam laporan keuangan Boeing tahun 2025 mendatang.

Di tengah situasi ini, Boeing menegaskan bahwa pihaknya tetap berkomitmen untuk memenuhi kebutuhan global, namun akan mengutamakan pasar yang siap menerima produk mereka. Pernyataan CEO bahwa perusahaan “tidak akan membuat pesawat untuk pelanggan yang tidak bersedia menerimanya” adalah refleksi dari pendekatan bisnis yang kini lebih pragmatis dan responsif terhadap realitas geopasokan.

Ke depan, keputusan Boeing untuk menunda atau menghentikan produksi bagi pasar China bisa menjadi momen penting dalam pergeseran keseimbangan industri aviasi global. Apalagi, munculnya pemain baru seperti Comac dari Tiongkok menandai era baru dalam kompetisi produsen pesawat global. Namun, analis menyebut bahwa Comac masih sangat bergantung pada komponen dan teknologi asing, yang membuat persaingan langsung dalam jangka pendek masih terbatas.

Meski demikian, strategi Boeing dalam merespons dinamika pasar saat ini akan menentukan posisinya di masa depan. Keputusan untuk menghentikan produksi bagi pasar tertentu bukan hanya soal logistik, tapi juga menyangkut sinyal kepada pemegang saham bahwa perusahaan siap mengambil keputusan sulit demi keberlanjutan jangka panjang. Dengan kata lain, Boeing tampaknya tidak hanya menavigasi perubahan pasar, tetapi juga meredefinisi ulang peta ekspansi global mereka dalam dunia pasca-pandemi.