Sinyal Mengkhawatirkan Penjualan Makanan Cepat Saji

(Business Lounge Journal – Global News)

Apakah Anda ingin kentang goreng? Jawabannya hampir selalu “ya”—kentang goreng adalah makanan yang paling banyak dikonsumsi di restoran cepat saji.

Umbi-umbian adalah cara berbiaya rendah untuk menurunkan kalori ke kerongkongan para pemakan, dan membuat ketagihan. Namun hanya sedikit orang yang memesan kentang goreng sendiri, jadi memperhatikan permintaan kentang goreng dapat menjadi indikator kesehatan konsumen yang baik.

Peringatan dari Lamb Weston pada memberikan gambaran yang suram bagi restoran cepat saji, atau Quick-Serve Restaurants (QSR), dan pelanggan inti mereka. Distributor kentang beku terkemuka ini memangkas prospek tahun fiskalnya dan melaporkan laba yang disesuaikan di bawah ekspektasi analis Wall Street. “Beberapa QSR menghubungkan hal ini dengan berkurangnya kunjungan konsumen berpendapatan rendah, karena pendapatan mereka lebih dipengaruhi oleh lingkungan inflasi secara keseluruhan,” kata Chief Executive Officer Thomas Werner mengenai laporan pendapatan perusahaan.

Pada bulan Februari, CEO McDonald’s Chris Kempczinski mengatakan hal serupa: “Medan pertarungannya adalah konsumen berpendapatan rendah. Apa yang akan Anda lihat adalah lebih banyak perhatian terhadap keterjangkauan.”

Angka pengangguran Amerika sangat rendah dan jumlah uang tunai yang besar akibat pandemi ini membuat kelompok masyarakat yang paling sensitif secara ekonomi—yaitu masyarakat yang paling bergantung pada suku bunga, bantuan pemerintah, pengembalian pajak, dan permintaan tenaga kerja tidak terampil—menjadi tangguh.

Jika memang ada kelemahan konsumen, maka kelemahan tersebut berasal dari kelompok masyarakat berpendapatan tinggi dan berpendidikan lebih tinggi yang biasanya tidak terlalu terpengaruh oleh kecemasan ekonomi—sebuah fenomena yang dijuluki “Kekayaan”.

Makanan cepat saji mungkin merupakan indikasi bahwa semuanya tidak baik-baik saja.

Hal ini juga bisa menjadi tanda bahwa kuatnya pasar tenaga kerja tidak terampil—yang sebagian besar terjadi di restoran-restoran itu sendiri, atau yang melayani pengantaran makanan—telah mempengaruhi harga menu hingga membuat pelanggan menolak keras.

Indeks harga konsumen untuk makanan yang dibawa jauh dari rumah telah meningkat hampir 30% dalam lima tahun terakhir. Angka tersebut hanya naik 14% pada periode yang sama sebelum pandemi.

Rencana penerapan upah minimum $20 per jam di California yang khusus untuk pekerja restoran cepat saji pada bulan ini tidak akan membantu.

Apa yang terjadi di Amerika tentu akan berimbas di Indonesia. Dimana persoalan yang sama QSR di Indonesia adalah daya beli konsumen menengah yang terus tergerus dengan inflasi dan melemahnya nilai tukar rupiah.