Sebongkah Kerenyahan Cita Rasa dan Sejarah Prancis dalam Baguette

(Business Lounge Journal – Culture)

Saat mengunjungi Prancis, jangan lupa mengunjungi Boulangerie. Di sini tempatnya kita bisa melihat dan membeli aneka roti segar berbagai ukuran, dari yang besar, kecil, bulat, persegi, maupun panjang. Karena roti adalah salah satu simbol Prancis.

Dari sekian banyak roti yang menggiurkan, ada satu roti yang wajib dicoba, rupanya mirip tongkat, panjangnya sekitar 65 cm bahkan lebih, diameternya sekitar 5-6 cm dan beratnya sekitar 250 gr. Roti ini sudah mendunia, tapi terasa istimewa ketika menemuinya di negara asalnya, namanya Roti Baguette yang merupakan makanan sehari-hari rakyat Prancis dari masa ke masa.

Biasanya Baguette dinikmati dengan berbagai selai ataupun mentega lokal yang terbuat dari susu. Rasanya legit, aroma ragi yang khas langsung tercium di udara, kulit luarnya terasa renyah, namun bagian dalam baguette lembut di mulut, kenyal dan teksturnya berlubang tidak teratur.

Bagi yang sudah terbiasa menikmati Roti Baguette, indra perasanya tidak selalu mengatakan bahwa roti itu terasa tawar, tapi selalu ada rasa lezat yang berbeda dari setiap Baguette yang dihasilkan dari tukang roti yang berbeda pula.

Selain itu perlu diketahui, untuk menjadi seorang tukang roti profesional di Prancis, adalah sebuah panggilan hidup tersendiri. Karena sudah pasti, seorang tukang roti, seumur hidupnya akan membuat roti dengan cita rasa yang abadi di negara yang 98 persennya mengkonsumsi roti dan menghasilkan 6 miliar Baguette pertahunnya.

Dalam setiap kerenyahan roti Baguette, melekat sejarah Prancis yang pernah “mengharubirukan” negara itu.

Roti panjang ini sudah dikenal sejak zaman Louis XIV berkuasa. Hingga abad 18-19, Roti Baguette dibuat dengan ukuran yang lebih panjang dari sekarang (+/- 1,8 m), bentuknya menyerupai linggis, para pelayan istana akan menyajikan Baguette menjadi sarapan khas bangsa Galia.

Pada saat revolusi Prancis terjadi, Baguette pernah dijadikan lambang “Kesetaraan” (Égalité) bagi semua rakyat. Artinya, orang kaya maupun miskin, memakan roti yang sama, yaitu Baguette.

Menurut cerita dari mulut ke mulut, Napoleon Bonaparte pernah memerintahkan para prajuritnya untuk membawa Baguette ke medan peperangan karena bentuknya yang praktis menyerupai tongkat perang.

Pada saat perang dunia merebak, Baguette berubah warnanya menjadi lebih gelap. Hal ini dikarenakan proses proses pembuatan roti yang lebih singkat dan pengaruh penjatahan selama perang berlangsung.

Tidak berlebihan kalau Baguette dapat disimbolkan sebagai salah satu budaya Prancis. Hal ini terbukti pada tahun 1944, diadakan kompetisi “Le Grand Prix de la Baguette” untuk mencari Baguette terbaik dari 200 tukang roti di seluruh negara itu. Ke-14 Juri akan memutuskan pemenangnya setelah melalui proses penilaian yang meliputi, Aroma roti yang khas, cita rasa Prancis yang autentik, penampilan roti yang memukau, hingga tiap remah-remah roti akan dinilai dengan sangat seksama. Pemenangnya berhak menyediakan makanan bagi Presiden Prancis selama satu tahun, dan akan digantikan dengan pemenang tahun berikutnya.

Pada tahun 1993, Parlemen Prancis mengesahkan “Le Décret pain (Dekrit Roti) yang mengesahkan bahwa Baguette harus di produksi di tempat penjualannya dengan menggunakan bahan tradisional asli Prancis, tidak boleh menggunakan adonan siap pakai. ..”oh..la..la…” Sejarah panjang itu tetap lestari dalam tiap gigitan Baguette di mulut kita.

Jadi, mengunjungi Boulangerie di Prancis adalah suatu kegiatan yang patut di lakukan. Di sinilah kita dapat menemukan Baguette segar yang renyah itu, yang merupakan bagian dari tatanan gastronomi dan sosial Prancis.

Photo by Helen Ast