(Business Lounge – Automotive) BMW AG, salah satu produsen mobil mewah terbesar di dunia, kembali menunjukkan keyakinan pada fundamental bisnisnya dengan mengumumkan program pembelian kembali saham (share buyback) senilai €2,0 miliar atau sekitar $2,25 miliar. Langkah ini menjadi sinyal kuat bahwa perusahaan percaya pada prospek keuangan jangka panjangnya, bahkan ketika pasar otomotif global masih menghadapi tantangan dari inflasi, perlambatan permintaan, dan ketegangan geopolitik.
Dalam pernyataan resminya yang dikutip oleh Bloomberg, BMW menyatakan bahwa program buyback ini akan dimulai bulan ini dan akan berlangsung hingga akhir 2025. Saham yang dibeli kembali nantinya akan dibatalkan, sehingga jumlah saham beredar berkurang dan berpotensi meningkatkan laba per saham (earnings per share/EPS). Langkah ini mendapat sambutan positif dari investor yang melihatnya sebagai bentuk optimisme manajemen terhadap profitabilitas dan arus kas perusahaan.
Buyback ini merupakan fase lanjutan dari strategi pengembalian nilai kepada pemegang saham yang telah dirintis BMW dalam beberapa tahun terakhir. Pada 2022 dan 2023, BMW juga telah melakukan pembelian kembali saham dengan total hampir €4 miliar. Program terbaru ini mempertegas posisi BMW sebagai salah satu perusahaan otomotif dengan disiplin keuangan yang solid dan kemampuan kas yang kuat.
Menurut analisis dari Financial Times, keputusan untuk melakukan buyback dalam skala besar menunjukkan bahwa BMW tidak hanya percaya pada kekuatan neraca keuangannya, tetapi juga melihat harga sahamnya saat ini berada di bawah nilai fundamentalnya. “Ini sinyal bahwa manajemen BMW menganggap sahamnya undervalued, dan mereka memilih untuk berinvestasi pada diri sendiri,” ujar seorang analis ekuitas di Frankfurt.
Kinerja saham BMW di pasar modal memang tidak mencerminkan sepenuhnya kekuatan operasional perusahaan. Meski mencatat pertumbuhan penjualan yang stabil dan margin yang sehat, saham BMW relatif tertahan oleh kekhawatiran pasar terhadap permintaan mobil listrik (EV) di China dan ketatnya persaingan global. Namun dengan langkah ini, BMW tampaknya ingin menunjukkan bahwa kekhawatiran tersebut bersifat jangka pendek dan tidak mencerminkan prospek jangka panjang perusahaan.
Dalam laporan keuangannya kuartal lalu, BMW melaporkan margin operasional sebesar 9,8 persen untuk divisi otomotif—angka yang sangat kompetitif di industri. Selain itu, BMW mencatatkan arus kas bebas (free cash flow) sebesar €3,1 miliar, yang menjadi dasar utama keputusannya melakukan buyback. Perusahaan juga menyatakan bahwa strategi pengembalian modal akan terus dijalankan secara seimbang, diiringi oleh investasi jangka panjang dalam elektrifikasi dan digitalisasi kendaraan.
Salah satu fokus strategis BMW adalah memperluas lini mobil listriknya di seluruh dunia. Meski permintaan EV global mengalami pelambatan, terutama di Eropa dan China, BMW tetap agresif dalam mengembangkan teknologi baterai dan arsitektur kendaraan baru. Dalam wawancara dengan Reuters, CFO Walter Mertl menegaskan bahwa strategi jangka panjang perusahaan tetap tidak berubah. “Kami akan terus menginvestasikan miliaran euro dalam pengembangan kendaraan listrik, sambil tetap menjaga kesehatan finansial dan nilai bagi pemegang saham,” ujarnya.
Langkah pembelian kembali saham ini juga memberikan fleksibilitas kepada BMW dalam menghadapi ketidakpastian pasar. Di tengah ancaman potensi tarif perdagangan baru antara AS dan China, serta kekhawatiran terhadap ketahanan rantai pasok baterai, memiliki posisi kas yang kuat dan struktur modal yang ramping menjadi keunggulan strategis.
Di sisi lain, analis juga menilai bahwa keputusan BMW ini menegaskan perbedaan pendekatan di antara raksasa otomotif Eropa. Sementara Mercedes-Benz memilih pendekatan konservatif dengan menahan buyback demi memperkuat cadangan modal menghadapi fluktuasi permintaan, BMW justru mengambil jalur sebaliknya: memberi sinyal positif ke pasar bahwa arus kasnya cukup kuat untuk membiayai investasi dan sekaligus mengembalikan modal kepada pemegang saham.
Pasar pun merespons secara positif. Setelah pengumuman ini dirilis, saham BMW naik lebih dari 2 persen di bursa Frankfurt, menunjukkan bahwa pelaku pasar menyambut baik langkah tersebut di tengah kondisi ekonomi yang penuh tantangan.
Namun demikian, ada juga catatan kehati-hatian. Beberapa analis memperingatkan bahwa dalam kondisi pasar otomotif yang sangat kompetitif, terlalu agresif dalam pengembalian modal bisa mengurangi fleksibilitas jangka panjang. “Pembelian kembali saham harus dibarengi dengan komitmen investasi yang cukup dalam R&D dan ekspansi produksi, terutama di wilayah kunci seperti Amerika Serikat dan Asia Tenggara,” tulis Bloomberg Intelligence dalam laporannya.
BMW tampaknya memahami risiko tersebut. Dalam pernyataan tambahannya, perusahaan memastikan bahwa buyback ini tidak akan mengganggu prioritas investasi, termasuk dalam pembangunan fasilitas perakitan EV baru di Debrecen, Hungaria, dan pengembangan baterai generasi terbaru melalui kemitraan strategis di Jerman dan Tiongkok.
Dari perspektif makroekonomi, keputusan BMW juga menjadi indikator penting atas kepercayaan diri pelaku industri terhadap kondisi ekonomi Eropa. Di tengah kekhawatiran resesi teknis di Jerman dan perlambatan manufaktur kawasan euro, keputusan korporasi untuk mengeksekusi buyback besar menunjukkan bahwa setidaknya sebagian pelaku bisnis melihat peluang pemulihan yang lebih kuat di paruh kedua tahun ini.
Secara historis, perusahaan otomotif Eropa jarang melakukan buyback dalam jumlah besar karena fokus pada penguatan neraca dan investasi. Namun dalam beberapa tahun terakhir, tren ini mulai bergeser. BMW termasuk yang paling agresif dalam memanfaatkan kelebihan kas untuk mengangkat nilai pemegang saham tanpa mengorbankan strategi pertumbuhan.
Sebagai penutup, keputusan BMW untuk memulai kembali program pembelian kembali saham jumbo sebesar $2,25 miliar bukan hanya soal strategi keuangan, tetapi juga soal sinyal. Di tengah dunia otomotif yang penuh ketidakpastian, dari transisi EV hingga geopolitik, BMW memilih untuk mengirim pesan optimisme: perusahaan percaya pada model bisnisnya, kekuatan teknologinya, dan yang terpenting, pada nilainya sendiri di mata pasar.