(Business Lounge Journal – News and Insight) Kalau sejak dulu muncul anggapan bahwa Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) adalah tiang penyangga perekonomian Indonesia, maka hal itu benar belaka. Kita bisa melihat buktinya di mana-mana. Misalnya semasa krisis ekonomi pada tahun 1998, ketika banyak perusahaan besar di Indonesia mengurangi jumlah pegawainya, UMKM sebaliknya. Mereka justru menyerap banyak tenaga kerja yang menjadi korban PHK dan mencegah meledaknya krisis sosial di negeri ini.
Itu secara kualitatif. Secara kuantitatif, kita bisa melihatnya dari berbagai data berikut.
Menurut Badan Pusat Statistik serta Kantor Kementerian Koperasi dan UKM yang dirilis pada tahun 2010, kontribusi UMKM kita terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) mencapai US$274,2 miliar atau 62,48%. Sementara, kontribusi perusahaan besar hanya US$164,65 miliar (37,52%).
Sampai sekarang proporsi tersebut tak banyak beranjak. Kontribusi UMKM terhadap PDB masih tetap dominan.
Kalau kita pilah lebih detil lagi dari seluruh UMKM yang ada di sini, porsi terbesar adalah usaha-usaha pada skala mikro. Jumlahnya mencapai lebih dari 50 juta perusahaan, atau sekitar 98% dari seluruh unit usaha yang ada di Indonesia. Bandingkan dengan usaha skala menengah yang jumlahnya mencapai 39.000 unit atau usaha besar yang hanya 4.000-an unit.
Penyerapan Tenaga Kerja
Potret paling nyata UMKM adalah dari sisi penyerapan tenaga kerja. Menurut data Kantor Staf Kepresidenan, sekitar 99% tenaga kerja di Indonesia diserap oleh sektor UMKM. Selebihnya diserap oleh perusahaan-perusahaan skala besar.
Kalau dirinci lagi, dari seluruh penyerapan tenaga kerja di sektor UMKM, sebanyak lebih dari 90% diserap oleh usaha-usaha skala mikro. Merujuk data tahun 2008, jumlahnya mencapai 83 juta jiwa. Bandingkan dengan usaha skala kecil yang menyerap sekitar 4 juta tenaga kerja, atau 3 juta pada usaha skala menengah, dan kurang 3 juta oleh perusahaan-perusahaan skala besar.
Itulah potret peran UMKM, terutama usaha skala mikro, terhadap PDB, penciptaan kerja dan perekonomian nasional. Jadi boleh dibilang merekalah sesungguhnya yang selama ini menjadi mesin pertumbuhan dan sekaligus penyangga perekonomian.
Selain itu, saya ingin menggaris-bawahi peran dari UMKM kita, terutama untuk usaha-usaha skala mikro. Usaha skala itulah yang selama ini menjadi sumber pendapatan bagi keluarga-keluarga miskin di Indonesia. Selain itu, usaha skala mikro dan kecil juga merupakan sumber dari benih-benih kewirausahaan di Indonesia.
Membayangkan perannya yang begitu besar dan strategis, menjadi pertanyaan bagi kita semua, mengapa UMKM belum menjadi “anak emas” di negeri ini? Cobalah lihat, sampai sekarang UMKM kita masih menghadapi masalah klasik: kurangnya akses terhadap permodalan dan informasi bisnis. Mereka masih kesulitan memasarkan produk-produknya. Mereka juga masih perlu mengembangkan kompetensi teknisnya, tetapi dukungan untuk hal ini masih sangat kurang.
Lalu, meski UMKM adalah potensi dan sekaligus sebagai cikal bakal dari wirausahawan-wirausahawan di Indonesia, masih banyak perusahaan besar yang enggan bermitra dengan mereka. Alasan keenggannya beragam. Misalnya, perusahaan besar menilai UMKM kita masih miskin kemampuan dan pengetahuan untuk menyerap teknologi dan manajemen baru. Lalu, proses transfer teknologi dari perusahaan besar ke UMKM membutuhkan interaksi yang intensif dan berjangka panjang. Ini merepotkan perusahaan-perusahaan besar.
Sederet Masalah
Kajian lebih komprehensif mengenai UMKM di Indonesia, terutama menyangkut kesiapannya menghadapi era Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA), pernah dilakukan oleh Kamar Dagang dan Industri Indonesia (KADIN). KADIN mengidentifikasi sejumlah masalah yang masih menghadang UMKM di Indonesia. Apa saja?
Pertama, kurangnya fasilitas fisik (jalan, listrik, komunikasi, pelabuhan), dan infrastruktur non-fisik (lembaga keuangan, pusat informasi, pusat pendidikan/pelatihan, penelitian, dan laboratorium untuk produk UMKM). Ini terutama sangat dirasakan oleh UMKM yang berada di daerah-daerah terpencil di Indonesia.
Kedua, kurangnya cluster UMKM dan pusat pengembangan informasi. Pusat informasi tersebut sebetulnya pernah dikembangkan semasa Pemerintahan Soeharto, tapi sayangnya tidak dipelihara dan menjadi usang. Ini harus direvitalisasi.
Ketiga, kurangnya bantuan untuk UMKM, terutama dalam pengembangan kapasitas mereka sebagai pengusaha, serta pengembangan teknologi dan inovasi. Selain itu, pemerintah juga harus membantu UMKM untuk mendapatkan standar yang diperlukan di pasar nasional dan internasional.
Keempat, kurangnya keterkaitan (link and match) antara UMKM, universitas dan pusat-pusat penelitian. Ini terutama untuk membantu terjadinya transfer teknologi bagi UMKM.
Kelima, kurangnya fasilitasi pemerintah dalam membangun hubungan antara UMKM dengan perusahaan-perusahaan besar. Padahal, melalui hubungan ini, UMKM dapat berkembang menjadi pemasok dan bagian dari rantai pasok perusahaan besar.
Keenam, kurangnya harmonisasi dan keterpaduan peraturan pemerintah untuk membantu UMKM dalam memulai usaha dan mendidik UMKM untuk mematuhi peraturan yang relevan.
Memang UMKM kita masih belum menjadi “anak emas” dalam perekonomian nasional, namun bilamana kita dapat membantu menyelesaikan masalah klasik yang dihadapi oleh UMKM, maka berarti kita sudah menyelesaikan hampir seluruh masalah perekonomian di negeri ini.
Bersambung
Risa Bhinekawati/VMN/BL/Podomoro University