(Business Lounge Journal – Present Your Service) Siapa bilang menyajikan pelayanan prima sangat bergantung pada teknologi? Saya baru saja mengurus dokumen kependudukan pada salah satu kantor kependudukan. Mengingat jadwal saya yang begitu padat, maka saya sengaja berangkat pagi-pagi benar dengan harapan tidak akan memakan waktu yang lama. Saya tiba kira-kira satu jam lebih awal, sebelum layanan dibuka. Dengan ramah seorang petugas keamanan menyambut kedatangan saya sambil menanyakan apa yang menjadi keperluan saya. Sejenak ia mengangguk-angguk sebagai tanda bahwa ia mengerti kebutuhan saya dan sesaat kemudian ia memencet tombol dan memberikan nomer antrian bertuliskan angka 13 kepada saya.
Hal pertama yang mampir di benak saya adalah bahwa saya menyesal tidak datang lebih pagi lagi untuk memperoleh nomer antrian yang lebih awal. Bayangkan saja, apabila satu orang mendapatkan layanan selama 5 menit maka saya harus menunggu sekitar 1 jam. Belum lagi kalau ada di antara mereka yang membutuhkan layanan lebih panjang.
Saya pun melangkahkan kaki memasuki ruang utama tempat semua orang yang mengantri duduk menunggu, sekaligus counter para petugas kependudukan berada. Setiap counter atau yang disebut loket itu sangat sederhana. Hanya berupa sebuah meja dengan tiga buah kursi. Kembali saya merasa menyesal tidak datang lebih pagi ketika saya mendapati ruang tunggu itu sudah ramai dengan masyarakat yang membutuhkan layanan kependudukan. Saya mencari tempat duduk yang strategis dan mulai mengeluarkan gadget yang sudah saya siapkan untuk menemani saya jika harus menunggu lama.
Sekitar 30 menit kemudian, seorang bapak keluar dari pintu petugas lalu meminta semua yang menunggu duduk sesuai dengan jenis loketnya untuk mendukung ketertiban. Kemudian ia juga mengingatkan apabila masih ada yang belum meng-copy dokumen kependudukan yang asli, untuk segera melakukannya, “mumpung masih pagi,” demikian mengutip komentarnya. Karena saya tidak duduk pada barisan yang seharusnya, saya pun kemudian berpindah tempat.
Lima menit sebelum jam layanan dimulai, sang bapak keluar kembali sambil membawa sebuah pengeras suara yang biasa kita sebut toa. Ia mengingatkan bahwa sebentar lagi layanan akan dimulai. Bersamaan dengan itu para petugas pun keluar dan menduduki loket demi loket. Satu hal lain yang ada di luar dugaan saya, para petugas wanita tampil dengan cantik. Tidak perduli betapa sederhananya ruang kantor itu, tidak perduli betapa sederhananya loket mereka, tetapi mereka berdandan tidak kalah dengan teller yang Anda jumpai di bank.
Tak lama kemudian sang bapak menduduki kursinya, mengucapkan salam, dan memberikan penjelasan bahwa ia akan memanggil tiga demi tiga orang untuk mempercepat layanan. Para petugas loket pun serta merta memulai tugas mereka dengan sigap dan cepat. Sesekali si bapak berjalan menyapa mereka yang masih menunggu sambil memastikan bahwa tidak ada nomer yang terlewat. Tidak sekali pun ia membiarkan kursi di loket kosong. Begitu satu orang selesai dilayani, ia akan segera memanggil nomer urutan selanjutnya.
Alhasil dalam 20 menit saya sudah mendapatkan layanan, walaupun kemudian saya masih perlu menunggu sesaat lagi untuk memperoleh dokumen asli. Saya cukup terperanjat mendapatkan layanan yang prima ini. Bahkan tidak sempat saya mengutak-utik gadget yang sudah saya siapkan sebelumnya.
Bukan Kecanggihan Teknologi Tetapi Visi
Kantor kependudukan ini tidak dapat disamakan dengan layanan jasa yang berada di kantor-kantor nan megah. Bagaikan bumi dan langit. Namun perlu digarisbawahi bahwa layanan prima bukanlah masalah ketersediaan teknologi canggih, namun masalah penyampaian sebuah visi.
Mungkin mereka tidak paham benar penjabaran sebuah visi dengan kalimat-kalimat yang ‘menjelimet’ (maaf untuk menggunakan kata ini). Tetapi mereka tahu persis apa yang pelanggan inginkan dan bagaimana mereka dapat memenuhinya. Pada sisi yang lain, bukankah mereka juga akan mendapatkan keuntungan bilamana mereka dapat menyelesaikan tugas mereka dengan cepat?
Adanya suatu keinginan untuk memberikan layanan yang terbaik, menyajikan keramahan, dan kemudahan telah menjadi sebuah visi yang mungkin tidak tertulis secara harafiah, namun telah diterjemahkan dalam bentuk sebuah budaya yang mereka kerjakan tiap-tiap hari.
Sebuah Transformasi yang Mengubah Budaya
Sejujurnya saya sudah lama sekali tidak berurusan dengan kantor kependudukan. Sehingga apa yang saya temui pada saat ini benar-benar berbeda dengan apa yang saya temui bertahun-tahun yang silam. Mungkin bisa saya katakan bagaikan bumi dan langit. Sehingga saya dapat mengatakan telah terjadi sebuah transformasi nilai-nilai di sini yang berdampak kepada budaya dan kebiasaan.
Tidak perlu menunggu kecanggihan teknologi, tidak perlu menunggu kemegahan gedung, Anda dapat memulai sebuah pelayanan prima kapan saja Anda mau.
Ruth Berliana/VMN/BL/Managing Partner Human Capital Development