Kuartal Ketiga, Pasar Paling Berisiko di Asia; Lalu?

(Business Lounge – Manage Risks) Bagi kita yang berinvestasi di pasar modal tentunya cukup memahami bahwa risiko dalam berinvestasi adalah sesuatu yang tidak bisa dihindarkan atau ditiadakan sama sekali. Risiko dan return adalah dua sisi mata uang dalam pasar investasi.

Ada beberapa risiko yang sering kali harus dihadapi investor dalam berinvestasi pasar modal, di antaranya adalah risiko pasar, risiko industri, risiko peraturan, serta risiko bisnis. Risiko pasar pada dasarnya mencakup semua risiko yang ada dalam investasi pasar modal. Sebagaimana kita ketahui, pasar saham dapat naik atau turun yang dipengaruhi oleh berbagai penyebab atau isu.

Pandangan secara kolektif dari para pelaku pasar atau investor, secara bersama-sama, akan membentuk perilaku pasar yang dapat mengangkat atau menurunkan pasar. Tidak jarang bila persepsi atau ekspektasi pasar begitu kuat maka pergerakan pasar juga akan begitu kuat dan signifikan. Satu emiten yang kondisi fundamentalnya sedang kurang sehat, dapat saja naik harga sahamnya karena sedang terjadi pasar yang bullish, misalnya. Sebaliknya juga, tidak jarang, satu perusahaan di bursa yang kondisi keuangannya sehat dan kuat mengalami pernurunan harga saham karena pasar saat itu sedang berada dalam tekanan besar dan panjang, atau bearish.

Asia Seperti Apa?

Bila ingin tahu seperti apa gambaran dari gejolak pasar yang termasuk paling berisiko, tengoklah kepada situasi kuartal ketiga tahun 2015 ini yang belum lama berlalu. Menurut The Wall Street Journal, bulan Juli, Agustus, dan September lalu disebutkan para pengamat dan pelaku pasar khususnya di Asia sebagai kuartal terburuk setidaknya sejak era krisis finansial global tahun 2008 yang lalu, dengan ancaman berganda dari kemungkinan kenaikan suku bunga di AS serta pelemahan ekonomi China yang nampaknya berlanjut terus memasuki Oktober ini (WSJ, 1 Oct 2015).

Bursa saham Tiongkok mencatatkan kuartal ketiga tahun ini sebagai yang terburuk sejak tahun 2008, bahkan indeks Shenzhen terpantau dalam kuartal terburuknya sejak setidaknya dalam dua dekade terakhir. Sementara itu, pasar di Singapura dan Indonesia juga mencatat rekor terburuknya sejak krisis keuangan global tujuh tahun yang lalu. IHSG dari level hampir 5000 tergerus sempat sampai hampir menyentuh level 4000, atau minus sekitar 19%.

Mata uang di kawasan benua Asia telah melewati kuartal pelemahan terbesarnya dalam kurun waktu beberapa tahun terakhir ini. Mata uanga yang terparah adalah ringgit Malaysia, yang terdepresiasi sebesar 14% di kuartal ketiga dan terpuruk anjlok 26% dalam setahun terakhir. Sementara itu, baht Thailand terperosok ke posisi lima tahun terendahnya.

Untuk rupiah, seperti yang kita alami sendiri, terpukul ke posisi rendah 17 tahun yang lalu dan merosot sekitar 9% di tahun ini. Dalam hal ini rupiah masih lebih baik dari ringgit Malaysia. Tetapi mata uang kita masih kalah dibandingkan, misalnya, baht Thailand yang tergerus 7%, dan won Korea yang melemah 5,2% di tahun ini.

Menambah suramnya situasi, harga sejumlah komoditas metal, termasuk tembaga dan seng telah terjungkal ke salah satu posisi terendahnya. Harga dari minyak, Brent crude oil, yang menjadi referensi harga komoditas internasional, telah terpangkas sampai separuhnya di tahun ini.

Pelajaran Risiko; Time to Buy?

Dari situasi pasar yang bergejolak ini, dapat kita pelajari bahwa pasar memang mengalami situasi pasang surut dan siklusnya. Pelemahan ekonomi global, ditambah dengan ancaman pelemahan berlanjut ekonomi China dan masih belum jelasnya kapan the Fed akan menaikkan suku bunganya telah menimbulkan kekuatiran dan ketidakjelasan pasar. Pada kondisi seperti ini, para investor, siapa pun mereka, baik lokal, regional, maupun global sering kali cenderung memilih untuk mengamankan investasi mereka. Kembali ke cash, atau cari produk investasi lain yang lebih pasti, kalau ada, ketimbang di pasar modal atau pasar uang yang diwarnai ketidakpastian.

Namun demikian, di balik ancaman tentulah ada peluang. Begitulah, karakteristik pasar investasi. Tergerusnya harga saham-saham, bisa jadi merupakan peluang untuk membeli kembali di harga diskon. Di IHSG Indonesia, lumayan, sempat diskon 20% di kuartal lalu, atau sekitar 27% dari posisi pasar tertingginya di level 5524 pada 1 April yang lalu. Prinsipnya, bukankah, buy at low?

Nyatanya, hari-hari ini –pada waktu tulisan dinaikkan– kelihatannya pasar sudah naik lagi sekitar 10%. Nah, time to buy? Keputusan di tangan Anda, setelah mempelajari peluang market risk and return.

Pak AlfredAlfred Pakasi/Deputy Chairman of Vibiz Consulting Group, CEO of Vibiz Consulting/VMN/BL